Siapa sangka pada 10 Oktober 2018, Asuransi Jiwasraya sebagai badan usaha milik negara sektor perasuransian jiwa pertama pada 1859 mengumumkan keterlambatan pembayaran Rp 802 miliar untuk produknya, JS Proteksi Plan, yang telah jatuh tempo.
Bagaimana mendorong perusahaan asuransi agar lebih profesional? Bukan kali ini terjadi kasus di industri perasuransian. Ada beberapa kasus serupa. Pada 18 Oktober 2013, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin operasional PT Bumi Asih Jaya lantaran gagal memenuhi ketentuan kesehatan keuangan (risk based capital/RBC) minimal 120 persen dan akhirnya pailit pada 28 Agustus 2015. Pada 18 Juni 2013, OJK mencabut izin usaha PT Asuransi Jiwa Nusantara karena kondisi keuangan tidak sehat.
Kemudian, pada 15 September 2016, OJK mencabut izin usaha PT Asuransi Jiwa Bakrie karena kondisi keuangan yang juga tidak sehat. Pada September 2016, PT Asuransi Syariah Mubarakah (ASM) diputus pailit oleh pemohon OJK mengingat perusahaan tak bisa menjaga kesehatan keuangan dalam menjalankan usahanya. Pada 5 Juli 2017, OJK mencabut izin usaha PT Asuransi Raya karena tak dapat memenuhi rasio pencapaian solvabilitas minimum (Koran Kontan, 15/10/2018).
Apa itu JS Proteksi Plan? JS Proteksi Plan merupakan produk bancassurance (produk perusahaan asuransi yang dipasarkan melalui bank) yang memberikan manfaat asuransi jiwa berupa santunan meninggal karena kecelakaan atau bukan atau cacat tetap total. Pengembalian pokok dan hasil investasi optimum dijamin oleh Asuransi Jiwasraya.
Produk yang laris manis ini untuk investor usia 18-65 tahun, masa asuransi lima tahun dengan premi sekaligus Rp 50 juta hingga Rp 5 miliar. Tujuh bank yang ikut memasarkan dan menjual produk tersebut adalah PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN, Bank ANZ, Bank QNB, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau Bank BRI, Bank KEB Hana, Bank Victoria, dan Standard Chartered Bank.
Aneka langkah strategis
Lagi-lagi, bagaimana mendorong perusahaan asuransi supaya lebih profesional? Pertama, menurut direksi baru yang terpilih pada rapat umum pemegang saham (RUPS) pada 18 Mei 2018 dan resmi menjabat mulai 27 Agustus 2018, laporan keuangan yang belum diaudit (unaudited) Asuransi Jiwasraya non-konsolidasian pada 2017 mencatat laba bersih Rp 2,4 triliun. Kemudian manajemen baru minta PricewaterhouseCoopers (PWC) mengaudit. Hasil audit menunjukkan laba bersih turun dari Rp 2,4 triliun menjadi Rp 360 miliar. Kantor Akuntan Publik (KAP) itu memberi opini "Dengan Modifikasian".
Tindakan yang diambil manajemen baru itu berada di jalur yang benar. Jika dianggap perlu, Kementerian Keuangan sebagai pemegang saham BUMN melalui Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) dapat memeriksa KAP sebelumnya. Mengapa? Karena mungkin ada sesuatu yang kurang patut sehingga laba bersih berubah drastis dari Rp 2,4 triliun menjadi Rp 360 miliar.
Ada implikasinya. Sebelumnya, majalah perbankan Infobank, September 2018, memuat laporan peringkat (rating) BUMN. Pemeringkatan itu berdasarkan penilaian sembilan kriteria, seperti tingkat kesehatan keuangan (RBC), likuiditas, aset yang diperkenankan/total aset, rasio kecukupan investasi, pertumbuhan (pendapatan premi bruto dan modal sendiri).
Kriteria lain adalah premi bruto (rata-rata modal sendiri), perimbangan investasi dengan pendapatan premi neto, beban iklan, beban usaha plus komisi dibagi pendapatan premi neto dan laba (rugi sebelum pajak dibagi rata-rata modal sendiri) serta laba (rugi komprehensif dibagi rata-rata modal sendiri). Dengan kriteria itu, Asuransi Jiwasraya memperoleh predikat "sangat bagus" masing-masing pada 2016 dan 2017 berdasarkan laporan keuangan 2016 dan 2017. Namun, dengan munculnya kasus ini, predikat "sangat bagus" itu menjadi pertanyaan besar.
Kedua, tentu saja kasus keterlambatan pembayaran produk asuransi itu akan memengaruhi produk yang sama di industri perasuransian. Paling tidak, calon investor produk investasi itu akan berpikir dua kali untuk mengantongi produk serupa. Penjualan produk itu bisa tertekan meski tak signifikan.
Ketiga, Asuransi Jiwasraya juga bisa terkena risiko reputasi. Risiko reputasi adalah risiko yang antara lain disebabkan oleh publikasi negatif terkait dengan kegiatan perusahaan atau persepsi negatif.
Pada awalnya, risiko reputasi hampir tidak ada kerugian finansial (financial loss). Namun, pada akhirnya, perusahaan terpaksa harus melakukan banyak pengeluaran untuk memperbaiki risiko reputasi. Sebut saja, mengubah struktur organisasi untuk menghadapi disrupsi teknologi, meningkatkan kompetensi SDM dan memperbaiki layanan.
Keempat, bukan hanya itu. Asuransi Jiwasraya juga harus mengerek penerapan tata kelola perusahaan yang baik dengan menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi, dan kewajaran. Tegasnya, praktik bisnis lama yang di luar prinsip-prinsip tersebut harus dibuang jauh-jauh.
Dengan demikian, Asuransi Jiwasraya menjadi BUMN sektor perasuransian yang profesional dan terdepan. Alhasil, Asuransi Jiwasraya nantinya mampu memberikan kontribusi tinggi berupa dividen kepada pemerintah.
Kelima, untuk mitigasi risiko, perusahaan asuransi seharusnya dapat melakukan reasuransi semua produk pada perusahaan reasuransi. Produk yang disebut saving plan itu tidak hanya memberikan manfaat proteksi, tetapi juga memberikan manfaat kepastian investasi sebesar pengembalian pokok dan hasil investasi yang dijamin. Namun, pada umumnya, untuk produk semacam itu, perusahaan asuransi hanya melakukan reasuransi untuk risiko meninggal atau
cacat tetap total karena kecelakaan (personal accident). Artinya, risiko investasi (investment risk) dan risiko jatuh tempo tidak direasuransikan sehingga menjadi risiko perusahaan asuransi sendiri.
Mengapa? Lantaran kemungkinan besar itu menjadi ladang bisnis bagi Divisi Investasi atau perusahaan manajemen aset. Dalam kasus ini, agaknya Asuransi Jiwasraya tidak melakukan reasuransi risiko investasi untuk produk JS Proteksi Plan. Akibatnya, ketika kondisi keuangan tampak kurang sehat, Asuransi Jiwasraya harus menanggung sendiri risiko investasi.
Untunglah, Asuransi Jiwasraya telah membayar bunga jatuh tempo kepada 1.286 polis yang jatuh tempo sebesar Rp 96,58 miliar per 15 Oktober 2018. Pemegang polis yang ingin melakukan perpanjangan (roll over) memperoleh bunga 7 persen setahun neto di bayar di muka atau setara 7,49 persen setahun efektif. Pemegang polis yang tak ingin melakukan perpanjangan akan memperoleh bunga pengembangan efektif 5,75 persen setahun neto (ibid). Sejatinya, inilah pelajaran berharga sekaligus peringatan keras bagi perusahaan asuransi jiwa yang tidak melakukan reasuransi risiko investasi untuk produk saving plan ke perusahaan reasuransi. Padahal, kondisi ekonomi yang sarat ketidakpastian ini justru menuntut semua perusahaan untuk melakukan mitigasi risiko dengan sigap.
Tantangan OJK
Keenam, kasus seperti itu sudah sepatutnya mendorong OJK untuk siap siaga meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan asuransi. Selama ini, OJK telah mengatur tata cara memeriksa lembaga jasa keuangan non bank melalui Peraturan OJK Nomor 11/POJK.05/2014, tanggal 27 Agustus 2014 tentang Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa Keuangan Non-bank. Lembaga jasa keuangan non-bank meliputi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan lembaga jasa penunjang industri keuangan non-bank.
Celakanya, frekuensi pemeriksaan OJK terhadap lembaga keuangan non-bank dilakukan paling sedikit satu kali dalam tiga tahun (Pasal 4). Karena itu, kini saatnya bagi OJK untuk melakukan revisi frekuensi pemeriksaan itu menjadi sekali dalam setahun. Coba bandingkan dengan pemeriksaan terhadap bank yang dilakukan secara berkala paling sedikit satu tahun sekali untuk setiap bank dan sewaktu-waktu (Pasal 4) pada Peraturan OJK Nomor 41/POJK.03/2017, tanggal 12 Juli 2017 tentang Persyaratan Tata Cara Pemeriksaan Bank.
Adalah penting dan mendesak bagi OJK untuk merevisi aturan itu mengingat kini semakin banyak produk asuransi yang bersinggungan dengan produk perbankan menjadi bancassurance. Ambil contoh, saving plan dan unit link
(produk perusahaan asuransi yang menawarkan baik proteksi maupun investasi). Sarinya, produk asuransi makin berwarna-warni dan lebih berisiko di masa mendatang.
Konsekuensi logisnya, OJK harus menambah SDM sebagai pengawas lembaga keuangan non-bank karena diperlukan semakin banyak SDM yang berkualitas tinggi. Tak berhenti di situ, SDM sudah seharusnya berwawasan jauh ke depan dan memiliki integritas tinggi. Butir terakhir itu bertujuan final untuk mencegah lahirnya main mata antara pihak pengawas dan pihak yang diawasi.
Ketujuh, sudah semestinya perlindungan konsumen menjadi prioritas utama bagi OJK. Selain itu, OJK pun wajib melakukan sosialisasi dan edukasi
mengenai berbagai investasi. Hal itu bertujuan untuk menggenjot tingkat melek (literasi) keuangan dan inklusi keuangan. Tingkat melek keuangan mencapai 29,66 persen pada 2016 mendaki dari 21,84 persen pada 2013. Intinya, dari 100 orang baru terdapat sekitar 30 orang yang telah melek keuangan. Tingkat inklusi keuangan mencapai 67,82 persen pada 2016 naik dari 59,74 persen pada 2013.
Dengan aneka langkah strategis demikian, Indonesia akan memiliki perusahaan asuransi jiwa yang tidak hanya profesional dan terkemuka, tetapi juga menguntungkan. Kepentingan konsumen pun kian terproteksi.
Paul Sutaryono Staf Ahli Pusat Studi BUMN; Pengamat Perbankan dan Mantan Assistant Vice President BNI
Kompas, 30 Oktober 2018
#asuransi #opinikompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar