Sejarah terbentuknya suatu negara-bangsa tak lepas dari faktor rekayasa bahasa (linguistic engineering). Kekuatan bahasa merupakan kunci dalam proses penyatuan maupun kehancuran suatu masyarakat dan unsur-unsur di dalamnya.
Sebagaimana dikatakan filsuf dan sejarawan yang mengkaji perkara bahasa, misalnya Ferdinand de Saussure, Jacques Lacan, Michel Foucault, dan Benedict Anderson, bahasa adalah pencipta realitas sekaligus realitas itu sendiri secara par excellence.
Bahasa menjadi representasi ide yang mengusung proses negosiasi politik, khususnya untuk mewadahi keragaman realitas sosial. Lewat bahasa, gagasan untuk menyatukan keragaman mewujud dalam konsep yang selanjutnya dipakai oleh institusi kekuasaan negara untuk mengikat individu warga dalam perilaku sehari-hari.
Indonesia adalah sebuah negara-bangsa yang dibangun dan terus berlangsung karena rekayasa bahasa. Pada ranah kekuasaan praktis dalam sejarah Indonesia, kita menemukan tokoh-tokoh yang tidak pernah lepas dari faktor rekayasa bahasa sepanjang kiprahnya. Soekarno adalah salah satu pemanfaat dan perekayasa bahasa ulung dalam menyampaikan apa yang dia pikirkan.
Mohammad Hatta bersiasat kata ketika menghidupkan kembali "Partai Nasional Indonesia" yang telah dibekukan pemerintah kolonial dengan cara mengubah nama-diri organisasi politik itu menjadi "Pendidikan Nasional Indonesia", hanya demi mendapatkan singkatan yang sama, yaitu "PNI".
Sutan Sjahrir memilih menghadapi "musuh" pada periode Revolusi Kemerdekaan, yaitu pihak Belanda, melalui perundingan demi menghentikan pertempuran antara tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Perundingan adalah siasat kata, yaitu jalan untuk menegosiasikan gagasan melalui kekuatan bahasa.
Maka, benarlah kata Foucault, bahwa lebih dari sekadar alat komunikasi, bahasa menyimpan potensi kuasa untuk membentuk pola pikir dan keyakinan masyarakat yang pada akhirnya mewujud dalam perilaku dan struktur kehidupan sehari-hari.
Politik kuasa dan pasang-surut kata
Bangun politik negara-bangsa Indonesia dicirikan antara lain oleh struktur-konseptual bahasa sebagai fondasi ideologi yang mengikat warganya. Paradigma dan formulasi sejumlah elemen kunci, misalnya dasar negara, memuat banyak aspek rekayasa bahasa. Dapat dikatakan, timbulnya wujud resmi kekuasaan negara yang bernama "Indonesia" bertumpu pada keberhasilan rekayasa bahasa.
Peristiwa Kongres Pemuda 1928 secara khusus dan sangat spesifik merupakan bukti tentang penggunaan bahasa sebagai medium untuk membayangkan "kesatuan" suatu kumpulan bangsa-bangsa. Sumpah Pemuda merupakan peristiwa rekayasa bahasa bukan karena pernyataan sikap yang eksplisit sebagai "Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa", tetapi karena di balik penetapan pernyataan itu termuat paradigma, ide, dan keinginan akan kesatuan suatu entitas bangsa-bangsa yang de facto secara historis berbeda-beda.
Menurut Benedict Anderson, bagaimana "apa yang berbeda-beda" itu dibayangkan dan dikonsepkan sebagai satu-kesatuan adalah proses penciptaan paradigma kebahasaan (Anderson, Imagined Communities, 1983).
Namun, kuasa politik selalu membungkus konsep yang dirumuskan bahasa. Akibatnya, timbul atau tenggelamnya makna sebuah kata sangat ditentukan oleh konteks politik kepentingan yang melingkupinya. Makna
kata diciptakan dan "dimatikan" seiring kepentingan kekuasaan itu.
Dalam sejarah Indonesia, kita melihat sejumlah kata timbul, hilang, atau mengalami perubahan makna karena perubahan
rezim politik. Rezim politik
yang berbeda membawa garis ideologi tertentu yang implikasinya pada pemaknaan dan kekuatan makna kata tertentu berbeda-beda pula.
Kata kemerdekaan, misalnya, mengalami penyempitan makna secara drastis. Tahun 1930-an, pemakaian kata merdeka ataupun kemerdekaan di ruang-ruang publik, seperti media massa, merujuk pada lingkup makna yang luas, dari "kemandirian individu" hingga "kebebasan kolektif secara politik". Akibat propaganda masif istilah proklamasi kemerdekaan pada masa-masa selanjutnya, makna kata merdeka atau kemerdekaan berubah menjadi 'kebebasan politik dari penindasan oleh bangsa lain'. Makna yang lebih luas seperti 'kemandirian', 'kedewasaan', dan 'kebebasan' tidak lagi terasosiasikan dengan kata kemerdekaan.
Rekayasa bahasa dalam sejarah terbentuknya negara-bangsa Indonesia juga dapat dilihat pada kasus penciptaan kata gotong royong. Kata ini tidak ditemukan dalam khazanah dan praktik kewargaan sampai dengan Perang Dunia II. Muncul di zaman pendudukan Jepang, kata gotong royong "diresmikan" dalam pidato Soekarno tentang dasar negara di depan Sidang Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan 1 Juni 1945. "Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong. Alangkah hebatnya! Negara gotong royong!" kata Soekarno (Soekarno, Lahirnya Pancasila, 1947).
Deklarasi Soekarno bahwa gotong royong merupakan dasar negara dan identitas bangsa Indonesia adalah deklarasi bahasa. Bukan karena deklarasi itu dilakukan dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, melainkan karena rumusan verbal apa yang disampaikannya memuat paradigma dan konsep yang kuat atas realitas sosial, yang ditujukan untuk membentuk realitas baru, yaitu keyakinan, sikap, dan perilaku orang-orang lain tentang nilai kerja bahu-membahu dalam mengatasi suatu masalah.
Pernyataan Soekarno sangat jelas mengandung unsur rekayasa bahasa yang didesakkan kepada alam pikir siapa pun yang mendengarnya.
Kata rakyat merupakan kata yang mengalami penyurutan makna, mungkin yang paling tragis prosesnya. Setidaknya dalam periode 1930-an hingga 1950-an, kata rakyat berkembang pesat dalam makna. Makna kata itu bertransformasi, dari awalnya sebagai kumpulan "orang-orang kecil" sebagai obyek kekuasaan menjadi simbol kekuatan nyata pergerakan politik. Dengan kategori makna yang kedua itu, "rakyat" mewujud sebagai wacana inti dalam jagat politik dan kemasyarakatan.
Namun, di tahun 1950-an dan 1960-an Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai organisasi politik memakai label "rakyat" dalam banyak sekali kegiatan dan organisasinya. Organisasi ini menempatkan "sekolah rakyat", "dewan rakyat", dan "gerakan rakyat" yang telah ada sejak era kolonial sebagai bagian inti perjuangan ideologisnya. Apa yang disebut "Universitas Rakyat", "Lembaga Kebudayaan Rakyat", dan "Harian Rakyat" adalah entitas-entitas organisasi sosial-politik yang terhubungkan dengan kiprah PKI sebagai partai politik.
Karena itu, ketika dan setelah PKI kalah dalam "pertempuran" ideologi-politik dan dinyatakan terlarang oleh pihak yang memenangi "pertempuran" itu, yaitu pemerintahan militer Orde Baru di bawah komando Jenderal Soeharto, kata rakyat yang selama itu melekat pada berbagai aktivitas dan organisasi PKI juga tenggelam dari pemakaian publik yang luas.
Kata rakyat berubah menjadi kata penyifat "atributif" yang mengandung asosiasi makna ideologis "komunistis". Nama-diri (proper name) dengan kata rakyat pada sejumlah entitas organisasi dan kelompok dilarang keras oleh pemerintahan Soeharto terutama karena kata tersebut pernah melekat pada sejumlah organisasi afiliasi PKI.
Sekarang, makna kata rakyat telah kembali ke cakupan asal- usulnya sebelum tahun 1930-an, yaitu suatu kelompok "masyarakat kecil" yang terus-menerus menjadi obyek kebijakan pemerintah.
Kata rakyat tetap tersemat pada dua lembaga tinggi negara, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, dua lembaga negara ini—dulu pada masa Orde Baru maupun kini pada periode Reformasi—menunjukkan citra dan kinerja pejabat negara yang secara umum justru terkesan tidak pro-rakyat, entah karena produk kerjanya ataupun karena kecenderungan perilaku sebagian anggotanya yang korup.
Di masa kini, seperti dikatakan sejumlah pihak, kata rakyat menjadi sebutan banyak orang hanya ketika musim kampanye politik. Sesudah itu, kata rakyat segera kembali pada maknanya yang awal, yaitu obyek kekuasaan. Kata rakyat merupakan contoh konkret meredupnya makna bahasa akibat perubahan iklim politik—baik yang mendukung maupun tidak lagi mendukung.
"Persatuan" dan "Persatean"
Dalam diskursus sosial-politik terbentuknya "Negara Kesatuan Republik Indonesia", kata persatuan dan kesatuan merupakan kasus historis tentang sebuah mantra linguistik. Sayangnya, kemunculan dan berkembangnya kata kesatuan sebagai paradigma pembentukan negara-bangsa Indonesia luput dari kajian para sejarawan dan juga para ahli bahasa.
Kata kesatuan terdapat dalam sebutan nomenklatur bentuk negara, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Akan tetapi, sebagaimana dikatakan Anthony Reid, pilihan "kesatuan" sebagai bentuk negara merupakan bagian logis tak-terpisahkan dari proses revolusi Indonesia yang berdarah-darah (Reid, To Nation by Revolution, 2011).
Peneliti Riwanto Tirtosudarmo berpendapat bahwa dipertahankannya bentuk negara "kesatuan" pada era pasca-Orde Baru adalah sebuah proses mistifikasi yang terus berlanjut tentang konstruksi kebangsa-negaraan Indonesia ("The mystification of the unitary state of Indonesia", The Jakarta Post, 2005). Sepanjang pemerintahan Orde Baru, kata kesatuan diformat ke dalam satu paket wacana dengan kata persatuan, yang membawa konsekuensi hukum bagi siapa pun yang melawannya.
Akhir-akhir ini, kata kesatuan didesakkan untuk diterima dan direngkuh dalam kesadaran wacana publik khususnya dalam ungkapan "NKRI harga mati". Dalam ungkapan "NKRI harga mati" terkandung bulatnya tekad untuk mempertahankan bentuk negara "kesatuan". Meskipun demikian, ungkapan itu juga menunjukkan paradigma totaliter dan hilangnya rasionalitas untuk memahami keberterimaan (ataupun ketidakberterimaan) atas kehadiran negara.
Hatta pernah menyebut persatuan sebagai "per-sate-an" jika berujung pada penyeragaman perlakuan atas individu-individu yang de facto beragam. "Apa yang dikatakan persatuan, sebenarnya tidak lain dari persatean" (Hatta 1932, terbit ulang 2015).
Dalam Sidang BPUPKI tahun 1945, Hatta menekankan pentingnya persatuan didasarkan pada prinsip pengakuan atas hak-hak individu. Pernyataan tentang "persatuan" dan "persatean" menunjukkan bahwa rekayasa-bahasa berpotensi menguburkan realitas sosial historis dari kesadaran publik.
Kajian-kajian yang telah dirujuk mengulas ringkas makna dan transformasi sejumlah kata dalam periode sejarah yang berbeda-beda. Meskipun demikian, masih ada jurang keilmuan (scholarly gap) antara makna kata dalam konteks sejarah pembentukan "negara-bangsa" dan posisi kata tersebut sebagai hasil rekayasa dan kesepakatan politik. Karena itu, sangat penting untuk mengkaji kembali sejarah kebangsaan kita dari aspek kebahasaan, dan mendekonstruksi bahasa politik negara dengan pendekatan kajian sejarah. Sesungguhnya kajian sejarah dan kajian bahasa merupakan dua bidang yang sangat dekat, tetapi selama ini tersekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar