Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 30 Oktober 2018

Tidak Mudah Jadi Pengusaha//Informatif dan Kritis//Senayan Itu Rumah Rakyat (Surat Pembaca Kompas)


Tidak Mudah Jadi Pengusaha

Pada 15 Oktober 2018 Komisi Pemberantasan Korupsi lagi-lagi melakukan operasi tangkap tangan dan berhasil menciduk Bupati Bekasi, beberapa kepala bidang Pemkab Bekasi, dan beberapa pengusaha. Barang bukti berupa uang senilai Rp 1 miliar dalam bentuk dollar Singapura disita.

Kasus ini berhubungan dengan pengurusan perizinan pembangunan properti di Cikarang, Bekasi. Perizinan dibutuhkan pengusaha untuk menjalankan usahanya. Kalau memungkinkan, lebih lekas lebih baik, karena ini sangat memengaruhi program perencanaan dan pengembangan usaha mereka.

Pihak birokrat yang berwenang memberikan izin tentu tahu betul hal ini. Di sinilah mereka bermanuver. Di sisi lain, para pengusaha di Indonesia juga sudah paham betul bahwa sebuah perizinan yang dikeluarkan birokrat di pusat ataupun di daerah—yang nantinya akan memberikan untung finansial kepada pengusaha setelah usahanya berjalan—tidak mungkin gratis.

Masalahnya adalah bahwa dulu pengusaha cukup bermanuver dengan birokrat yang mengeluarkan izin saja. Akan tetapi, sekarang, pengusaha harus pintar-pintar bermanuver di antara birokrat dan KPK. Kalau lagi sial, penjara menjadi risikonya.

Yang agak baru dari kasus Bekasi adalah keterlibatan kepala bidang dinas pemadam kebakaran. Luar biasa!

Fendi
Apartemen Laguna, Pluit,
Jakarta Barat

Informatif dan Kritis

Artikel Eko Yulianto, "Bola Panas Peringatan Dini" (Kompas, 23/10/2018) sungguh informatif bagi pembaca Kompas yang awam, sekaligus kritis terhadap Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Baguslah bahwa editor di Dewan Redaksi meloloskan artikel itu. Kalau nanti ada tanggapan dari BMKG ataupun pakar cuaca dan gempa di luar BMKG, biarkan polemiknya bergulir, demi mencerdaskan bangsa.

L Wilardjo
Klaseman, Salatiga

Senayan Itu Rumah Rakyat

Sungguh semakin gagal paham saya saat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) justru menjauh, bahkan terkesan, memusuhi rakyat. Wakil rakyat itu kian tak sadar bahwa mereka duduk di gedung mewah Senayan lantaran rakyat memilih. Jika memang mereka tak butuh rakyat lagi, untuk apa mereka berlama-lama di gedung parlemen?

Mengapa saya memersepsikan DPR kian jauh dengan rakyat? Sebab utama terbaru ialah pengesahan revisi Peraturan Tata Tertib yang mengandung pasal berpotensi bahwa siapa pun yang tak memenuhi "panggilan" DPR bisa "dipaksa" hadir melalui aparat kepolisian.

Sulit untuk tak menyatakan tata tertib yang tercantum dalam Pasal 173 Ayat (3) mengubah lembaga perwakilan ini menjadi penegak hukum. Sederhananya, siapa pun yang dianggap "mengganggu" DPR bisa diseret ke Mahkamah Kehormatan yang awalnya dibentuk sebagai "peradilan" internal wakil rakyat, bukan masyarakat.

Lebih dari itu, revisi Tata Tertib itu sesungguhnya telah mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PPU-XVI/2018 bahwa pemanggilan paksa oleh DPR dengan bantuan kepolisian itu inkonstitusional.

Saya tak ingin mendiskusikan revisi Tata Tertib DPR yang diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR pada 16 Oktober 2018 dengan Putusan MK pada 28 Juni 2018 itu, tetapi lebih pada sikap DPR yang semakin menjauhi rakyat. Ini pula membuktikan hasil survei bahwa lembaga negara yang paling tak dipercaya saat ini adalah DPR.

Bukan hanya dari segi aturan formal, melainkan juga secara faktual gedung DPR Senayan kini juga bukan lagi "rumah rakyat". Semakin sulit wakil kita ditemui di kantornya. Penjagaan berlapis, bahkan penggunaan lift pun, antara rakyat dan anggota parlemen, dibedakan.

Di ruang kerja DPR era sebelum Reformasi terpasang papan pemberitahuan "Silakan masuk jika berkepentingan"; DPR sekarang seolah-olah menyatakan "Dilarang masuk jika tidak berkepentingan".

Sikap ini amat bertolak belakang saat anggota DPR menemui konstituen bahwa kantornya terbuka bagi siapa pun yang ingin menemuinya. Dalam praktiknya, tidak hanya susah, tetapi di Gedung Senayan kita juga harus berhadapan dengan petugas pengamanan dalam yang terkadang bersikap seakan-akan "polisi" benaran.

Padahal, seharusnya keramahan perlu diperlihatkan karena kedatangan rakyat ke gedung DPR pada hakikatnya menyampaikan aspirasi kepada wakil yang sudah dipilihnya.

A RISTANTO
Jatimakmur, Pondokgede,

Bekasi, Jawa Barat

Kompas, 30 Oktober 2018
#suratpembacakompas
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger