Setelah 17 hari publik disuguhi aneka spekulasi, Sabtu (20/10/2018) pagi Pemerintah Arab Saudi resmi menyatakan Jamal Khashoggi tewas dibunuh. Dinyatakan, Khashoggi tewas di gedung Konsulat Jenderal Arab Saudi di Istanbul karena perkelahian.
Sejumlah aparat intelijen Saudi dipecat dan ditahan akibat peristiwa itu. Sebagai wartawan Saudi yang tinggal di Virginia, Khashoggi dikenal kritis terhadap Pemerintah Saudi. Ia kolumnis The Washington Post.
Setelah kematian Khashoggi terkuak, muncul pertanyaan: bagaimana konfigurasi hubungan segi empat Amerika Serikat (AS)-Arab Saudi-Turki-Iran pasca-tragedi Khashoggi?
AS-Saudi-Iran
Menanggapi pengumuman resmi Pemerintah Saudi, Presiden AS Donald Trump menilai pernyataan Pemerintah Saudi kredibel. Ditambahkan, kerja sama dengan Saudi tetap akan dilanjutkan.
Selama ini Saudi merupakan aliansi AS dalam memerangi terorisme, meng- counter pengaruh Iran, menciptakan stabilitas Timur Tengah, dan mitra ekonomi yang menguntungkan. Tahun 2017 Saudi berkomitmen membeli perlengkapan militer dari AS senilai 110 miliar dollar AS. Sejauh ini, Saudi merupakan pembeli persenjataan terbesar dari AS.
Berbeda dengan pandangan Trump, sejumlah anggota Kongres AS mendesak agar Pemerintah AS memberi Saudi sanksi berat. Mereka menilai tewasnya Khashoggi sebagai tindakan brutal dan pelanggaran berat terhadap HAM.
Menurut mereka, AS dikenal dunia sebagai pelopor penghormatan HAM. Kubu ini skeptis terhadap alasan Saudi di balik tewasnya Khashoggi. Secara umum, pandangan pejabat dan publik AS terhadap tragedi ini terbelah.
Dari sisi Pemerintah AS jelas terdapat kekhawatiran jika AS memberikan sanksi berat kepada Saudi, bukan tak mungkin Rusia akan mengambil alih posisi AS. Rencana Saudi membeli pelengkapan militer mungkin berpindah ke Rusia.
Langkah itu dapat berakibat konfigurasi hubungan politik berubah, di mana Saudi beraliansi dengan Rusia untuk menghadapi AS. Namun, dalam konstelasi politik dewasa ini, tampaknya kemungkinan ini kecil terjadi. Alasan utamanya, AS butuh uang Saudi untuk membangun perekonomiannya.
Pertimbangan lain, AS perlu tetap mempertahankan hubungan dengan Saudi dalam kaitan rencana pengenaan sanksi ekonomi kepada Iran antara lain berupa penghentian ekspor minyak Iran oleh AS yang ditargetkan mulai 5 November 2018.
Sanksi ini sebagai upaya AS menekan Iran agar menghentikan program pengembangan nuklirnya. Besar kemungkinan sanksi AS terhadap Saudi tetap akan diberikan, tetapi tanpa mengubah komitmen Saudi untuk membeli perlengkapan militer AS.
Apabila AS benar melakukan sanksi keras terhadap Saudi, ada kekhawatiran lain Saudi akan memainkan harga komoditas minyaknya yang pada gilirannya dapat menciptakan instabilitas perekonomian dunia. Hal ini terutama menghadapi musim dingin di dunia belahan barat.
Menurut Richard N Hass, penulis buku A World in Disarray (2017), memang akan elok jika AS dapat memberikan sanksi berat kepada Saudi, tetapi dalam waktu bersamaan tetap mempertahankan sebagai mitra politik dan bisnis.
Apabila hal ini terwujud, bagi AS dan Saudi, Iran dianggap sebagai musuh bersama. Bagi kedua negara, sejauh ini Iran masih dipersepsikan sebagai ancaman.
Namun, perlu digarisbawahi, apabila pilihan ini yang diambil, Pemerintah AS harus siap mempertaruhkan kredibilitasnya. Hampir pasti tekanan politik masyarakat internasional yang pro-penghormatan HAM terhadap AS dan Saudi akan terus berlanjut.
Seperti diketahui, kasus Khashoggi juga telah menimbulkan protes dari pemimpin IMF, Menkeu AS, Menteri Perekonomian Perancis, dan sejumlah CEO perusahaan besar dengan rencana membatalkan kehadiran mereka pada Konferensi Investasi Saudi yang dibuka pada 24 Oktober 2018 di Riyadh.
Pertanyaannya, apakah keputusan ini tindakan simbolis dan sesaat atau permanen?
Posisi Turki
Turki yang selama ini memiliki kerenggangan hubungan dengan AS ataupun Saudi akan memanfaatkan momentum ini untuk memulihkan hubungan baik. Memburuknya hubungan Turki-AS antara lain akibat penahanan Pastor Andrew Brunson oleh Pemerintah Turki, tuduhan Turki atas dukungan AS terhadap Fethullah Gulen, dan kecaman Turki terhadap dukungan AS terhadap etnis Kurdi di Suriah. Adapun renggangnya hubungan Turki-Saudi lebih karena persaingan dalam mencari pengaruh di kawasan.
Pembebasan Brunson, warga negara AS yang dituduh berkolaborasi dengan teroris, oleh penguasa Turki pada 12 Oktober 2018, merupakan salah satu sinyal agar dibaca AS. Di samping untuk memberikan keleluasaan Turki dalam melaksanakan proses investigasi kasus Khashoggi, pembebasan Brunson dimaksudkan pula untuk menghindari kemungkinan sanksi ekonomi dari AS.
Seperti diketahui, Turki sedang menghadapi masalah ekonomi yang cukup berat karena utang luar negeri, merosotnya nilai mata uang lira, dan inflasi tinggi.
Masalah lain yang memperburuk hubungan Turki- AS adalah peristiwa kudeta di Turki pada 15 Juli 2016. Pemerintah Turki menuduh AS melindungi jaringan komunitas Fethullah Gulen, Himzet, yang diperkirakan berada di balik kudeta. Membaiknya hubungan Turki-AS diharapkan membuka ruang bagi kemungkinan penyelesaian masalah ini lewat perundingan.
Hubungan Turki-Saudi tahun 2011 memburuk setelah kejatuhan rezim di Tunisia, Mesir, dan Libya dalam pergolakan Musim Semi Arab. Saat itu Presiden Erdogan mendukung naiknya Mursi dan Muslim Brotherhood; sementara Saudi menentangnya.
Dan ketika kudeta militer terhadap Mursi terjadi pada 2013, Erdogan mengecamnya; sementara Saudi memberikan bantuan finansial kepada pemerintah baru. Begitu pula kedua negara berbeda dalam menyikapi krisis Qatar tahun 2017. Sebuah perebutan pengaruh di kawasan.
Tragedi Khashoggi ternyata membawa tiga implikasi politik. Pertama, munculnya polarisasi pendapat di dalam negeri AS terhadap langkah politik yang perlu diambil terhadap Arab Saudi. Kedua, mengangkat kembali arti penting penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Ketiga, memberi kesempatan pada pemulihan hubungan baik antarnegara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar