Seperti yang sudah-sudah, bulan Oktober senantiasa diramaikan oleh beragam kegiatan yang bertema pemuda. Momentum Sumpah Pemuda kembali hadir menyapa kita. Kali ini, penting memaknainya secara lebih serius. Mari bertanya: "apakah generasi muda kita sudah siap untuk menghadapi zaman baru yang hadir dengan perubahan-perubahan yang cepat?"
Sebagaimana para pemuda yang kemudian menjadi para pendiri Republik, anak muda hari ini hidup dan tumbuh di tengah dunia yang berubah secara kilat. Generasi Bung Karno dan Bung Hatta menyaksikan gejala-gejala berakhirnya tatanan dunia lama yang menopang kolonialisme.
Seiring dengan interaksi mereka dengan sesama anak muda dari seluruh dunia, pemimpin-pemimpin muda itu menyadari bahwa ada semangat zaman yang tidak akan terbendung.
Zaman baru akan segera lahir. Menyadari hal tersebut, mereka kemudian menjadi dokter dan bidan yang merancang kelahiran zaman baru itu.
Generasi muda hari ini juga tumbuh di dunia yang tengah berubah. Gejala-gejalanya juga terlihat jelas. Negara-negara, pilar utama sistem dunia modern, mulai harus menerima kenyataan bahwa mereka bukan lagi menjadi satu-satunya otoritas yang menentukan berbagai persoalan.
Perusahaan-perusahaan besar yang sudah mapan mulai berjatuhan satu per satu karena kalah bersaing menghadapi perusahaan-perusahaan rintisan yang lincah dan inovatif. Cara kita kini mengelola kehidupan sehari-hari juga mungkin tidak akan bertahan lama.
Kehadiran mobil tanpa pengemuka (driverless car) atau rumah cerdas (smart home) hanyalah sedikit icip-icip kecil dari masa depan yang akan segera menghampiri kita.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita memiliki berbagai jawaban untuk membuat kita optimistis. Anak-anak muda hebat bermunculan dalam berbagai bidang. Di bidang ekonomi, generasi muda kita terus berinovasi dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi digital di Asia.
Dalam sektor pengetahuan dan teknologi, nama-nama anak muda Indonesia juga mulai dikenal dunia karena karya-karyanya. Dalam bidang politik, tokoh-tokoh muda mulai tampil menjadi juru bicara sejumlah partai dan kelompok.
Partai-partai bahkan berlomba-lomba menjadi "partainya milenial". Hal ini dapat dimengerti mengingat sekira 40 persen pemilih pada pemilu tahun depan adalah para milenial yang berusia 17-35 tahun.
Ekosistem belum mendukung
Sayangnya, saya khawatir ekosistem kita belum memberikan ruang yang optimal bagi generasi muda yang menjanjikan ini. Di banyak sektor, anak-anak muda brilian banyak yang tertahan semata-mata karena usianya belum sampai. Saya tidak ingin mengatakan bahwa tokoh-tokoh senior yang berpengalaman tidak layak memimpin di berbagai sektor dan mundur saja.
Namun, di dunia kita yang berubah dengan sangat cepat ini, anak-anak muda memiliki peluang dan kemampuan yang jauh lebih baik untuk membawa bangsa kita pada kemajuan yang diharapkan. Saat tokoh-tokoh berpengalaman kesulitan mempelajari disrupsi, anak-anak mudalah yang berselancar di atas berbagai gelombang disrupsi itu.
Dalam panel "Youth Dialogue: Youth at Work" pada Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia di Bali yang lalu, saya ditanya mengenai prospek anak muda di dunia yang berubah dengan cepat ini.
Saya justru menegaskan bahwa anak-anak muda tidak terbebani oleh cara berpikir lama yang telah membatu, yang menghambat kita melangkah di zaman baru. The younger the better. Kepalanya masih "kosong", tidak dikuasai oleh paradigma lama yang mungkin sudah usang di banyak situasi.
Sayangnya, paradigma-paradigma lama itu masih menguasai berbagai aspek kebijakan di Indonesia. Meski "Revolusi Industri 4.0" telah menjadi pembicaraan umum di berbagai generasi dan bahkan telah ditulis dalam berbagai dokumen resmi, saya tidak yakin jargon itu telah benar-benar dipahami.
Dalam banyak hal, birokrasi kita masih bergerak seperti dalam revolusi industri yang pertama atau bahkan sebelum masa industrialisasi, ditandai dengan beragam tumpang tindih peraturan dan proses yang bertele-tele.
Seperti dalam masa feodal pra-industrial, urusan lancar hanya jika kita punya koneksi. Sampai-sampai ada pemeo yang terus bertahan hingga hari ini: "Kalau bisa dibuat susah, mengapa dibuat mudah?" Tak mungkin kita unggul di dunia yang berubah dengan cepat jika kita terus seperti ini.
Beragam tantangan
Mari menengok beragam tantangan kita. Kita bicara Revolusi Industri 4.0, tetapi Trade Expo kita yang digenjot dalam diplomasi ekonomi didominasi oleh komoditas-komoditas mentah atau paling banter kerajinan-kerajinan dan produk minim nilai tambah.
Kita masih sibuk berdebat tentang banjirnya buruh asing saat dunia mulai menyiapkan diri untuk otomatisasi dengan kecerdasan buatan.
Kita memasuki era di mana mesin bisa berkomunikasi dengan mesin, tetapi peta lahan dan hutan kita saja masih tumpang tindih antarkementerian, antara pemerintah pusat dan daerah, antara pemerintah dan perusahaan, juga antara perusahaan dan penduduk setempat.
Sebagai orang yang percaya bahwa ekonomi digital dapat menjadi kunci bagi kebangkitan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kita dan terus bekerja untuk itu, kami harus menemui kenyataan bahwa sistem logistik kita masih dihinggapi banyak masalah.
Di ASEAN saja, peringkat Indeks Kinerja Logistik Indonesia (peringkat ke-46) berada di bawah Singapura (7), Thailand (32), Vietnam (39), dan Malaysia (41).
Jika hal ini terus dibiarkan, kita tidak akan mampu keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap). Bonus demografi yang digadang-gadang oleh Bank Dunia sebagai jendela kesempatan akan terlewat dengan sia-sia. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, peluang terbesar kita adalah dengan membuka sebesar-besarnya bagi generasi muda kita yang lebih akrab dan siap dengan berbagai perubahan dunia yang cepat itu untuk menjadi nakhoda bagi bangsa.
Kita tidak mungkin unggul jika tokoh-tokoh yang tertatih-tatih belajar Web 1.0 (web statis, internet satu arah, e-mail) dan Web 2.0 (internet sebagai platform, menekankan kolaborasi online dan berbagi antarpengguna, media sosial) menentukan kebijakan kita menghadapi era Web 3.0 (ditandai dengan keterlibatan kecerdasan buatan dan machine learning).
Sejarah menunjukkan bahwa ketika anak-anak muda benar-benar hadir di panggung kepemimpinan, terjadi lompatan inovasi yang menakjubkan. Pada 90 tahun lalu, di sebuah rumah bergaya Eropa di Kramat Raya, sekumpulan pemuda menawarkan inovasi yang luar biasa.
Dalam Sumpah Pemuda itu, mereka menawarkan sebuah visi politik inovatif yang berorientasi masa depan dengan mengatakan bahwa mereka yang berasal dari berbagai suku bangsa dan berbeda bahasa itu "Bertanah Air Satu, Berbangsa Satu, dan Menjunjung Tinggi Bahasa Persatuan". Visi politik yang berorientasi masa depan itu mungkin terdengar seperti mimpi di siang bolong pada tahun 1928, tetapi kepercayaan kepada visi tersebut kelak akan benar-benar mengantarkan bangsa-bangsa terjajah pada kemerdekaan.
Panggung generasi muda
Dalam semangat Sumpah Pemuda, marilah kita sebagai bangsa bersama-sama memberikan kepercayaan yang lebih luas kepada anak-anak muda. Berikan mereka kesempatan untuk membuktikan kemampuan di berbagai bidang kehidupan.
Jangan sampai anak muda hanya dipasang untuk menggaet konsumen atau menjaring suara. Bukalah ruang yang lebih luas bagi mereka untuk dapat terlibat dalam pembuatan kebijakan di perusahaan, partai politik, atau birokrasi. Niscaya mereka akan menghadirkan pembuktian.
Tentu saja, Sumpah Pemuda juga mengajarkan kepada generasi muda hari ini bahwa kepemimpinan tidak bisa diminta begitu saja untuk diserahkan. Mereka juga harus mengambilnya sendiri dengan kerja-kerja cerdas yang sebelumnya tak terpikirkan. Jika tidak, jangan-jangan kita hanyalah muda dalam usia, tetapi telah renta dalam pemikiran.
Selamat memperingati Sumpah Pemuda!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar