Akhir-akhir ini impor minyak dan gas yang tinggi sering disorot sebagai biang keladi defisit berkelanjutan dan pelemahan nilai tukar rupiah.
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, Indonesia mengalami defisit 1,07 miliar dollar AS di neraca migas pada bulan September. Beruntung, walaupun defisitnya besar, di sisi neraca nonmigas atau neraca yang mencakup komoditas ekspor-impor utama Indonesia, ada surplus 1,29 miliar dollar AS. Dengan demikian, secara keseluruhan neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus 227 juta dollar AS.
Akibat dari tingginya defisit migas Indonesia ini, dalam beberapa bulan terakhir pergerakan nilai tukar rupiah seperti berdansa kompak dengan harga minyak dunia. Rupiah melemah ketika harga minyak naik dan sebaliknya menguat saat harga emas hitam itu turun.
Pada September, referensi minyak lokal Indonesian Crude Price (ICP) sudah bertengger di 74,8 dollar AS per barel atau meningkat 14,1 persen dibandingkan dengan Januari. Seiring dengan naiknya harga minyak, tahun ini mata uang rupiah sudah terdepresiasi sekitar 11 persen di level Rp 15.250 per dollar AS.
Kenaikan harga BBM
Akhir-akhir ini muncul wacana bahwa harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi harus dinaikkan untuk menyelamatkan nilai tukar. Harapannya adalah jika harga BBM dinaikkan, impor minyak turun dan neraca perdagangan Indonesia menjadi sehat kembali.
Ternyata, kenyataannya tidak selalu seperti itu. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia menaikkan harga BBM bersubsidi tiga kali pada Mei 2008, Juni 2013, dan November 2014. Ternyata, impor minyak dan defisit migas kembali meroket beberapa bulan setelah harga BBM dinaikkan.
Pada tahun 2013, impor migas bahkan tidak turun sama sekali setelah kenaikan harga BBM. Satu tahun setelah penyesuaian harga, rata-rata defisit migas bulanan adalah 1 miliar dollar AS, lebih besar dibandingkan rata-rata 842 juta dollar AS setahun sebelumnya. Padahal, harga minyak dunia tidak berubah banyak pada periode 2013-2014.
Lalu, mengapa pemerintah merasa perlu menempuh kebijakan tersebut? Jawabannya adalah sustainabilitas fiskal. Tahun 2008 dan tahun 2013, pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), subsidi energi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) membengkak dan defisit anggaran terancam melebihi batas aman 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) jika harga BBM tidak dinaikkan.
Pada tahun 2014, pemerintahan Presiden Joko Widodo menurunkan subsidi energi untuk menyehatkan ruang fiskal agar dananya dapat dialihkan untuk pembangunan infrastruktur.
Situasinya kini jelas berbeda karena sebenarnya kondisi fiskal Indonesia masih cukup sehat untuk menahan naiknya subsidi energi atau menyokong Pertamina yang menanggung beban finansial dari kebijakan BBM. Defisit anggaran Indonesia diprediksi hanya mencapai 2,1 persen dari PDB tahun ini dan 1,8 persen tahun depan. Subsidi energi sempat mencapai Rp 355 triliun tahun 2013 dan Rp 392 triliun tahun 2014, tetapi kini sudah turun jauh dan diperkirakan hanya mencapai Rp 166 triliun tahun ini dan Rp 157 triliun tahun depan.
Perjudian pemerintah
Penyesuaian harga BBM adalah solusi penyelesaian masalah defisit fiskal (selisih antara penerimaan dan belanja pemerintah), tetapi belum tentu menyelesaikan masalah defisit neraca perdagangan (selisih antara ekspor dan impor). Faktanya, pendukung kenaikan harga BBM kesulitan mencari korelasi antara kebijakan tersebut dan penurunan impor migas.
Satu-satunya argumen adalah penyesuaian harga BBM mungkin bisa mengurangi penyelundupan minyak yang terjadi karena tingginya disparitas harga minyak di Indonesia dan di luar negeri. Namun, belum ada data empiris dan bukti kuat yang mendukung teori tersebut. Setelah harga BBM dinaikkan pada 2013, impor migas sudah terbukti tidak turun.
Secara teori, defisit neraca transaksi berjalan memang bisa menurun dalam jangka menengah karena rumus ekonomi mengatakan bahwa menurunnya pengeluaran pemerintah atau investasi dapat menurunkan defisit transaksi berjalan. Namun, transmisinya cukup panjang dan akan terjadi saat kenaikan BBM sudah telanjur mencekik daya beli dan mengurangi konsumsi, lalu kemudian impor dengan sendirinya turun seiring melambatnya kegiatan ekonomi.
Jika harga BBM dinaikkan, stabilitas politik bisa terganggu, ekspektasi inflasi bisa terkerek naik, dan pertumbuhan ekonomi bisa terdorong turun. Padahal, momentumnya sedang baik karena inflasi trennya sedang rendah (2,8 persen pada Agustus merupakan terendah dalam dua tahun), sedangkan komponen konsumsi pada pertumbuhan ekonomi sedang kuat-kuatnya (5,1 persen pada kuartal II juga merupakan tertinggi dalam dua tahun).
Selain menaikkan harga BBM bersubsidi, apa lagi yang dapat dilakukan? Pacu produksi minyak dengan memberikan insentif bagi perusahaan migas. Ciptakan iklim investasi kondusif di sektor energi dengan merangkul perusahaan-perusahaan asing dan mengajak mereka duduk bersama. Tak kalah pentingnya adalah reformasi internal di Pertamina karena perusahaan energi pelat merah tersebut kini banyak mengendalikan blok-blok migas strategis.
Produksi minyak ini penting untuk diperhatikan karena volume ekspor migas Indonesia justru menurun selama tiga bulan berturut-turut pada Juli, Agustus, dan September, padahal harga minyak sedang tinggi-tingginya. Jika produksi dan ekspor minyak sukses digenjot, defisit migas akan menyempit dan rupiah bisa menguat.
Solusi di atas tidaklah mudah. Namun, jika tidak dilakukan sekarang, debat yang sama akan berulang di tahun-tahun ke depan. Menaikkan harga BBM hanyalah suatu solusi tambal sulam yang tidak memperbaiki permasalahan utama yang fundamental. Selama ini masyarakat Indonesia ingin semuanya bersifat instan. Stabilitas pasar keuangan terganggu? Naikkan saja BI rate. Impor migas melonjak? Naikkan saja harga BBM.
Sikap bimbang Presiden Joko Widodo, yang pada akhirnya memutuskan untuk menunda kenaikan harga BBM bersubsidi hanya satu jam setelah rencananya diumumkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, seharusnya dapat dipahami. Terakhir kali Presiden menaikkan harga BBM di November 2014, harga kembali diturunkan dua bulan setelahnya, seiring dengan tren harga minyak yang menurun.
Bukan tidak mungkin hal yang sama terjadi juga kali ini. Minyak mentah jenis Brent, yang dijadikan referensi perdagangan global, harganya sudah turun 6 persen sejak awal bulan Oktober ini. Padahal, menaikkan harga bahan bakar minyak merupakan kebijakan publik yang penting sehingga tidak ada ruang untuk eror. Tidak bisa tebak-tebakan. Jika salah dan impor minyak ternyata tidak turun serta neraca migas tidak membaik, kelompok miskin telanjur terkena dampak harga-harga yang telanjur naik. Pertanggungjawaban publiknya sangat besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar