Dalam pandangan sejarawan Asvi Warman Adam, Sumpah Pemuda yang digelorakan sekumpulan pemuda dari sejumlah daerah, seperti Jong Java, Jong Soematranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Roekoen, dan Pemoeda Kaoem Betawi, pada 28 Oktober 1928, sesungguhnya merupakan embrio lahirnya proklamasi kemerdekaan 1945 yang mampu menyatukan semua lintasan geografis dan lintasan ideologis di bawah naungan semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kala itu, kaum pemuda menggemakan aura kebangsaan dalam segenap jiwa raganya untuk melandasi setiap perjuangan memperoleh kemerdekaan. Dengan disertai lagu kebangsaan "Indonesia Raya" oleh WR Soepratman di Kramat Raya 106, impian para pemuda agar bisa berdaulat atas Bumi Pertiwi yang dipijak semakin membuncah dan ditindaklanjuti dengan konsolidasi gerakan melawan para penjajah.
Konsolidasi gerakan kepemudaan yang bersatu padu membesutkan semangat perjuangan dan penegakan kemerdekaan Indonesia meleburkan segala macam sentimen agama, ras, kesukuan, dan kedaerahan di bawah balutan kebangsaan.
Mereka terlibat dalam berbagai gerakan dan forum pertemuan secara sinergis dan kooperatif untuk merumuskan diktum adiluhung: "Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia".
Itulah gambaran etika kepemudaan yang ditunjukkan generasi awal revolusi kemerdekaan yang dilandasi spirit kemajemukan. Persenyawaan gerak antara yang satu dan yang lain tidak disekat oleh eksklusivitas identitas. Akan tetapi, antarpihak saling menapasi setiap celah perbedaan dengan jalinan imajinasi yang sama, yaitu menggelorakan persatuan nasional.
Etika dan spirit
Dari perjalinan keduanya terbentuklah kesadaran partisipatoris untuk membangun solidaritas dan integrasi nasional. Etika kepemudaan—yang bertitik pijak pada tanggung jawab mewujudkan persatuan agar bisa memperoleh kemerdekaan—dan spirit kemajemukan—yang bertumpu pada interelasi gerakan yang inklusif dan plural agar dapat menyatu-padukan konsolidasi perjuangan—menunjukkan adanya corak semipermeabilitas yang dikukuhkan oleh kaum pemuda.
Secara sosiologis, pengalaman semipermeabilitas, yaitu saling merembes dan memberikan wawasan transformasi kultural antara etika dan spirit, dapat dicermati pada pemikiran Max Weber. Dalam buku berjudul Protestan Ethic and Spirit of Capitalism dijelaskan lingkup perpaduan antara kapitalisme dan agama yang saling mewarnai untuk menuju keadaban interelasi di ruang publik.
Melalui konsep beruf, Weber menjelaskan ajaran transendental sebuah sistem kepercayaan (agama Protestan) yang tidak melulu menegaskan kesalehan individu yang bertitik sambung dengan wilayah asketik. Akan tetapi, konsep beruf diderivasi dalam dunia nyata agar serangkaian kesalehan beragama termanifestasi secara konkret untuk meningkatkan semangat utilitarian dalam menjalankan kehidupan.
Oleh karena itu, konsep beruf yang basis ontologisnya berhubungan dengan etika keagamaan diperluas kontekstualisasi ajaran transendentalnya agar berimplikasi positif terhadap tumbuhnya semangat bekerja guna mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.
Dalam kaitan ini, konsep beruf yang dalam tradisi masyarakat Jerman menjadi ruang interkoneksi antara etika Protestan dan spirit kapitalisme patut pula digunakan sebagai kerangka analisis untuk menjelaskan keterhubungan antar-etika kepemudaan yang menegaskan adanya keutamaan (virtue) yang melandasi setiap pergerakannya untuk menciptakan persatuan. Namun, untuk mewujudkan persatuan ini para pemuda membangkitkan spirit kemajemukan agar bisa mengonsolidasikan berbagai kalangan kaum muda yang secara geografis tersebar di beberapa daerah.
Keterpaduan etika kepemudaan dan spirit kemajemukan dalam menciptakan persatuan menjadi tiang pancang "beruf kebangsaan" yang membangkitkan adrenalin para pemuda untuk menyatukan rasa, emosi, keberpihakan, dan kesamaan persepsi guna mewujudkan cita-cita bersama, yaitu kemerdekaan dan kedaulatan bernegara. Beruf kebangsaan ini—meminjam cara pandang Benedict Anderson—menjadi sebuah penyerbukan identitas lintas batas dan menganggit imajinasi antarkomunitas untuk meneguhkan nasionalisme.
Agen pemersatu
Dalam konteks kekinian, apa yang telah dilakukan pemuda di era awal revolusi kemerdekaan perlu direaktualisasi dalam kehidupan kita, terutama yang terkait dengan etika kepemudaan dan spirit kemajemukan sebagai basis nilai berperadaban dan berkeadaban dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia.
Apalagi, di masa akan datang, terutama di era digital, Indonesia akan berhadapan dengan tantangan dunia global yang mensyaratkan adanya keberdayaan ekonomi, politik, hukum, agama, dan budaya sebagai landasan pacu progresivitas untuk menjadi bangsa yang bermartabat di kancah regional, nasional, dan internasional.
Di samping itu, salah satu peran strategis yang perlu juga dilakukan kaum muda masa kini adalah bagaimana memerankan diri sebagai agen pemersatu.
Di tengah komplikasi persoalan kehidupan yang serba tumpang tindih dan disertai dengan kecamuk politik identitas yang beririsan dengan bandul sentimen sosial, kaum muda harus bisa mengambil jarak dengan berbagai jebakan ajaran agama dan kepentingan kelompok tertentu yang dapat menggiringnya pada fait accompli yang menggaduhkan.
Itu karena, jika mencermati situasi dan kondisi sosial kemasyarakatan masa kini, banyak kaum muda yang mulai tergiring ke dalam gerakan yang berlawanan dengan spirit kebangsaan dan keindonesiaan. Berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan BIN, BNPT, Alvara, Wahid Insitute, dan riset berbagai perguruan tinggi dalam tiga tahun terakhir ini, banyak kaum muda yang terpapar radikalisme dan terorisme dan terlibat dalam aksi-aksi anti-Pancasila dan anti-nasionalisme yang berpotensi memecah persatuan nasional.
Bahkan, dalam kondisi yang sporadis dan sistemis, banyak kaum muda yang terlibat dalam beragam aksi pelintiran kebencian untuk memutarbalikkan fakta dan lepas dari jangkar keadaban wicaranya. Dampaknya, alih-alih ingin menjalin etika kepemudaan dan spirit kemajemukan sebagaimana ditunjukkan oleh para pemuda tempo dulu, justru yang masih marak terjadi adalah memanfaatkan logika post-truth untuk mereproduksi ujaran kebencian yang berdampak pada mata rantai permusuhan di kalangan masyarakat.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk yang dapat mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara, kaum muda harus menjadi penengah (intermediatory) yang arif dan bijaksana dalam menyikapi aneka macam persoalan yang ada. Terlebih di era digital, kaum muda harus mengambil inisiatif untuk membangkitkan sadar bineka dalam menjalin interaksi sosialnya agar bisa tampil sebagai penggerak persatuan dan perdamaian di republik ini.
Dengan demikian, keberadaan pemuda akan selalu diimpikan sebagai pilar kemajuan negara—sebagaimana diimajinasikan oleh Presiden Soekarno—dan pilar keadaban kepublikan yang meneguhkan adanya toleransi, ko-eksistensi, dan cara pandang inklusif dalam kehidupan berbangsa yang multikultural.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar