Sebulan terakhir masyarakat menyaksikan silang pendapat pejabat tinggi di ruang publik, khususnya tentang kontroversi impor beras dan bahan pangan lain.

Persoalannya masih seputar kinerja produksi dan produktivitas pangan pokok dan penting. Tidak banyak hal produktif yang dapat dipetik dari sengketa pendapat seperti itu, kecuali pertanyaan krusial tentang arah pembangunan pertanian masa depan. Jika basis argumen hanya menyandarkan pada kepastian tentang estimasi data produksi, yang belum selesai dihitung dengan metode baru, debat publik itu tak akan berujung. Artikel ini membahas upaya peningkatan kapasitas inovasi pertanian karena kapasitas sumber daya manusia pertanian cukup rendah dan kinerja penelitian dan pengembangan (R&D) belum memadai. Pada era disrupsi sekarang, pembangunan pertanian yang terlalu mengandalkan fisik peningkatan luas panen atau luas tambah tanam tentu sulit untuk berkontribusi signifikan pada pembangunan ekonom.

Pada konsep lama ekonomi produksi pertanian, peningkatan fisik luas panen sering disebut perubahan efisiensi teknis karena angka produksi hanya bergerak naik turun pada kurva yang sama. Peningkatan produksi yang didorong inovasi baru sering disebut perubahan teknologi karena terjadi pergeseran atau lompatan kurva produksi ke atas. Produktivitas per satuan lahan atau tenaga kerja melompat berlipat-lipat, seiring adanya temuan baru hasil penelitian pertanian yang diadopsi, disebarluaskan, atau dikomersialisasi.

Bukti sejarah peningkatan total factor productivity tercatat pada dekade 1980-an ketika pertanian Indonesia mencatat pertumbuhan hampir 6 persen dan berkontribusi pada kinerja pertumbuhan ekonomi nasional di atas 7 persen. Indonesia berutang pada Revolusi Hijau, varietas benih baru, kombinasi pupuk kimia, pestisida, dukungan R&D penyuluhan door-to-door atau metode latihan, dan kunjungan (laku) yang cukup efektif.  Tidak kebetulan jika sentra produksi padi dan palawija di Jawa, Bali, Sumatera, dan sebagian Sulawesi pada saat itu identik dengan tingkat kemakmuran masyarakat.

Tahun 2017, sektor pertanian tumbuh 3,81 persen yang sebenarnya tidak terlalu buruk mengingat ekonomi Indonesia tumbuh 5,06 persen. Jika kinerja pertanian belum mampu berkontribusi pada perbaikan ketahanan pangan, pengentasan rakyat miskin, dan penciptaan lapangan kerja baru, strategi pembangunan pertanian ke depan perlu diperbaiki.  Pertanian menyerap tenaga kerja 29,68 persen dari total angkatan kerja 121,02 juta orang, menurun signifikan dari 31,90 persen dari total angkatan kerja 118,41 juta orang pada 2016. Para ekonom juga paham sektor pertanian tidak akan tumbuh sendirian, apalagi jika sektor industri dan jasa tidak berkembang. Pembangunan pertanian perlu terintegrasi dengan strategi transformasi struktural perekonomian Indonesia.

Kenneth Morse (2014) meyakini, inovasi adalah kombinasi (penjumlahan) invensi (temuan baru) dengan komersialisasi invensi tersebut. Jadi, perubahan teknologi adalah peningkatan kapasitas inovasi yang meningkatan kualitas SDM, memacu R&D,  mengembangkan ekosistem inovasi, dan lain-lain.  Pada era disrupsi sekarang, para ahli mempertajam konsep Morse bahwa inovasi adalah interaksi (perkalian) invensi dengan komersialisasi. Peningkatan kapasitas inovasi bukan berupa deret hitung, melainkan deret ukur, mengikuti manfaat atau fungsi R&D, dan kebijakan yang melingkupi.

Peningkatan kapasitas

Apakah kondisi saat ini memungkinkan?  Mari mendalami proses transformasi struktural perekonomian Indonesia selama empat dasa warsa terakhir.

Pangsa sektor pertanian pada produk domestik bruto (PDB) telah menurun dari 30 persen pada 1975 menjadi  23 persen pada 1985, terus menurun sampai 15,3 persen pada 2010 dan 13,1 persen pada 2017. Pangsa sektor industri meningkat dari 33,5 persen pada 1975 menjadi 35 persen pada 1985 dan 41,8 persen pada 1995. Namun, pangsa sektor industri menurun sampai 38,5 persen pada 2005 sebagai dampak krisis ekonomi dan turun ke 36 persen pada 2010, dan 27,7 persen pada 2017.  Pangsa sektor jasa meningkat secara signifikan dari 36,3 persen pada 1975, menjadi 41 persen pada 1995,  48 persen pada 2005, dan terakhir 59,2 persen dari total PDB pada 2017.

Namun, pangsa penurunan PDB pertanian itu jauh lebih cepat dibandingkan pangsa penurunan tenaga kerja. Tenaga kerja pertanian tercatat 62 persen dari total tenaga kerja pada 1975, menurun jadi 42,5 persen pada 1995, lalu 39 persen pada 2010, dan hanya 29,7 persen pada 2017.

Besarnya tenaga kerja pertanian masih jadi beban, bukan potensi yang dapat digerakkan. Tenaga kerja industri naik dari 6,0 persen pada 1975, jadi 12,8 persen pada 1995, menjadi 14,5 persen pada 2010, dan 14,5 persen pada 2017. Tenaga kerja sektor jasa meningkat lebih pesat, dari 32 persen pada 1975 jadi 43,2 persen pada 1995, meningkat lagi menjadi 47,5 persen pada 2010, dan 55,8 persen pada 2017.

Transformasi struktural itu menggambarkan  bahwa proses deindustrialisasi di Indonesia terjadi terlalu dini, yaitu tahun 2000.  Hantaman krisis ekonomi pada industri manufaktur tampak terlalu besar untuk dapat ditanggulangi oleh kebijakan pembangunan industri.

Sementara tingkat pendidikan petani yang rendah (7,5 tahun formal) dan usianya yang menua (61 persen berumur lebih dari 45 tahun) merupakan kendala serius dalam upaya peningkatan kapasitas inovasi pertanian.  Kelebihan tenaga kerja pertanian tidak secara fleksibel bergeser ke sektor lain atau mengisi lapangan kerja sektor industri dan jasa.

Opsi perubahan kebijakan berikut perlu dipertimbangkan untuk inovasi pertanian. Pertama, investasi modal manusia jadi prasyarat wajib yang mampu berkontribusi pada peningkatan nilai tambah produk pertanian, mendorong diversifikasi usaha, pengindustrian produk pangan lokal, dan pembangunan perdesaan. Tak akan ada pembangunan pertanian tanpa pembangunan pedesaan yang efektif.

Kedua, perbaikan ekosistem inovasi, anggaran R&D, penyempurnaan kemitraan ABGC (academics, business, government, and civil society) atau quadruple helix yang mampu mempercepat realisasi inovasi. Indonesia perlu perbaikan aransemen institusionalisasi inovasi dan perubahan teknologi, rewards and punishments untuk para inventor dan dukungan pemasyarakatan atau komersialisasi invensi.

Ketiga, fokus regenerasi petani dengan strategi besar peningkatan kapasitas SDM pertanian secara umum, melalui:  (1) pendidikan vokasi pertanian, pelatihan guru, tokoh agama, dosen, pengelola pendidikan, dan lain-lain; (2) pelatihan wirausaha muda pertanian, misalnya dalam konteks pengembangan lahan pertanian dan infrastruktur untuk komoditas unggulan atau yang memiliki nilai ekonomi tinggi; (3) penyuluhan khusus dengan teknologi data dan informasi, langkah tailor-made yang dikaitkan dengan target tertentu, misalnya pengembangan ekonomi hortikultura bernilai tambah tinggi.