KOMPAS/ANITA YOSSIHARA

Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato pada pembukaan World Economic Forum on ASEAN di National Convention Center, Hanoi, Vietnam, Rabu (12/9/2018). Kesempatan itu dimanfaatkan Presiden Jokowi untuk menebar optimisme akan masa depan perekonomian dunia.

Ketika Presiden Joko Widodo bicara tentang ekonomi dunia di forum bergengsi World Economic Forum on ASEAN, Rabu (12/9/2018), di Hanoi, Vietnam, para hadirin terkesima mendengarnya. Menggunakan bahasa Inggris yang jelas dan mudah, bahkan Profesor Klaus Schwab, pendiri forum bergengsi yang mengadakan pertemuan tahunan di Davos, Swiss, menyimak secara saksama pidato Presiden Jokowi.

Yang menarik perhatian dari pidato Presiden Jokowi adalah acuannya tentang cerita layar lebar terbaru, Avengers: Infinity War. Dalam film ini, Thanos sebagai "Dark Lord" yang kuat, ekstrem, genosida, psikopat, keras, dan tiran ingin menguasai seluruh galaksi dan memerintahkan dua kekuatan tentara besar, Chitauri dan Outriders, dibantu unit elite yang dikenal sebagai Ordo Hitam. Karakter ciptaan dari 5.000 tokoh komik perusahaan Marvel yang dibeli oleh Walt Disney Company, dengan penjualan tiket bioskop mencapai 12 miliar dollar AS tahun lalu, adalah fiksi tentang "jagoan-jagoan" yang dikenal di negara-negara Barat.

Di satu sisi terasa ironis ketika ghost writer Jokowi mengacu pada narasi yang tidak berasal dari peradaban Asia, yang jauh lebih tua ketimbang antagonisme "baik versus jahat" di negara-negara Barat. Kita seolah-olah kehabisan narasi keindonesiaan dan Asianisasi yang menghadirkan kesejahteraan bersama, bukan melulu pada kekayaan sebagai referensi penting dalam globalisasi.

Di sisi lain, pesan yang ingin disampaikan Jokowi secara tegas mengingatkan kita bahwa Perang Dingin belum berakhir, tetapi tercerai-berai menjadi ribuan potongan yang sangat berbahaya bagi kelangsungan kemanusiaan. Kelemahan utama kebijakan luar negeri yang kita anut sekarang ini adalah ketidakmampuan kita secara tegas melakukan visualisasi kalau negara-negara Barat, khususnya AS, Uni Eropa, dan kebangkitan China, melemah pada berbagai spektrum kehidupan dan kemanusiaannya.

Globalisasi yang kita kenal sekarang ini tercerai karena perang dagang dirobek oleh kebencian antara ras dan kepercayaan, baik ideologi maupun agama. Konsepsi tentang ekstremisme, radikalisme, separatisme, dan terorisme menjadi acuan tindakan terhadap ancaman nasionalisme yang tumbuh bersamaan dengan semangat populis era awal abad ke-20. Migrasi manusia ke berbagai wilayah dunia dianggap mengganggu eksistensi negara. Hasilnya, dunia yang kita kenal kini berada dalam kekacauan berkepanjangan.

Seperangkat kondisi

Pertanyaannya, seberapa kuat sebenarnya Presiden Jokowi dan "kawan-kawan Avengers" mencegah perang tidak terbatas dalam lakon Avengers: Infinity War? Apakah "rekan Avengers" dalam pidato Presiden Jokowi bisa diartikulasikan sebagai perubahan kebijakan luar negeri Indonesia yang tidak  lagi bertumpu pada prinsip bebas-aktif, mulai melirik kebutuhan baru membangun aliansi, melupakan gagasan Nawacita. Memilih antara tumpuan pada neoliberalisme atau mengambil preposisi yang sama sekali baru, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia?

Ketika dasar-dasar ekonomi pasar global dan demokrasi liberal yang diprakarsai Presiden AS Ronald Reagan, PM Inggris Margareth Thatcher, dan PM Jepang Yasuhiro Nakasone, pada awal 1990-an, telah menciptakan marginalisasi yang sangat akut. Globalisasi yang dicita-citakan ketiga pemimpin dunia ini mengandung kegagalan dan terkungkung oleh keputusasaan, kehilangan semuanya, termasuk kekayaan yang memang tidak banyak. Ketimpangan ekonomi dan perdagangan jadi semakin nyata di abad ke-21 ini.

Mungkin benar apa yang ditulis Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Pieterszoon Coen, yang memegang kendali ekonomi dan perdagangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda, dalam surat kepada de Heren Zeventien (Dewan-17) pada 1612 tentang situasi Asia. Coen dalam surat kepada Dewan-17 menulis, "…is het niet mogelijk de handel zonder de oorlog, noch de oorlog zonder de handel vol te houden en voort te zetten…" (adalah tidak mungkin berdagang tanpa perang atau perang tanpa melanjutkan perdagangan).

Ini dilema yang dihadapi dunia sekarang. Perebutan hegemoni global yang sedang berlangsung terkonsentrasi pada masalah ekonomi dan perdagangan. Benar bahwa globalisasi telah mencapai titik di mana berbagai produksi sudah mampu memberi makanan, pakaian, transportasi, dan menghubungkan semua orang di dunia ini. Akan tetapi, sampai saat ini tidak ada yang tahu bagaimana berbagi produksi tersebut dilakukan secara adil, bahkan secara berkelanjutan.

Mantan anggota Dewan Eksekutif Bundesbank, bank sentral Jerman, Thilo Sarrazi, dalam bukunya Deutschland schafft sich ab: Wie wir unser Land aufs Spiel setzen (Jerman Singkirkan Dirinya Sendiri: Bagaimana Kita Membahayakan Negara) mengingatkan, formasi sosial dalam sejarah mana pun memiliki apa yang disebutnya ""einem Set von Bedingungen" (seperangkat kondisi), kalau diubah juga akan mengubah struktur masyarakat. Perangkat ini, menurut Sarrazin, adalah kondisi iklim, geografis, teknologi, budaya, kekuasaan politik, dan demografi yang ikut menentukan percepatan terjadinya perubahan berbagai bangsa.

Kesabaran revolusioner

Dalam kondisi ini, kita perlu menanyakan arah dan orientasi kebijakan luar negeri Indonesia paling tidak sampai 2028. Apakah kebijakan "Making Indonesia 4.0" seperti diutarakan Presiden Jokowi dalam pidatonya melawan Thanos sepaham dengan pola pikir kita tentang narasi Revolusi Industri 4.0? Di mana sinkronisasi kebijakan luar negeri Indonesia dalam revolusi abad ke-21 ini? Banyak pertanyaan yang perlu dirumuskan terkait soal ini.

Kenapa? Karena narasi Revolusi Industri 4.0 memiliki apa yang bisa kita sebut sebagai les defauts de ses qualites, suatu kecacatan kualitas yang tidak menjawab narasi dasar tentang pertumbuhan ekonomi, keseimbangan perdagangan, dan demokrasi beradab. Para pendiri Indonesia, 70 tahun lalu, selalu mengingatkan, "Geduld is het sterkste wapen van een revolutionair" (kesabaran adalah senjata yang paling  kuat bagi seorang revolusioner). Demikian juga dengan Revolusi Industri 4.0 dalam konteks keindonesiaan.

Dalam kerangka ini, pola pikir keindonesiaan kita mendekati tema besar abad ke-21 ini dengan pertanyaan apa itu revolusi industri? Kenapa revolusi industri di Indonesia, atau juga di China, tertunda selama lebih dari 200 tahun? Mengacu pada pengalaman China, bagaimana mungkin negara dengan penduduk terbanyak di dunia mengguncang revolusi industrinya, di tengah gelora revolusi kebudayaan selama 10 tahun, yang menghancurkan begitu banyak nyawa manusia sebagai modal pembangunan dan meleburkan warisan genetika bisnis dan budayanya?

Jika mengikuti logika Thilo Sarrazin, apa peranan geografi, hak milik, institusi, aturan hukum, budaya, agama, sumber daya alam, ilmu pengetahuan, teknologi, demokrasi, pendidikan, sumber daya manusia, perdagangan internasional, kebijakan industri, proteksionisme, merkantilisme, dan kekuasaan negara dalam industrialisasi? Apakah industrialisasi China memiliki resep untuk dipercepat dan direkayasa? Indonesia yang jadi kekuatan ekonomi dengan PDB di atas 1 triliun dollar AS bisa meniru keberhasilan China memicu revolusi industrinya sendiri di abad ke-21?

Kehadiran kecerdasan buatan (AI) dan otomatisasi ekonomi berarti akan lebih banyak mesin-mesin cerdas yang pada gilirannya menggantikan produksi yang selama ini dikerjakan manusia. Dan, ketika padat karya mulai tergantikan kembali dengan padat modal, pendapatan hanya akan mengalir ke mereka yang mengembangkan, memiliki, dan membiayai robot-robot dalam revolusi industri yang digerakkan oleh AI dan kedalaman belajar (deep learning) akan memunculkan ketimpangan baru.

Ini adalah bentuk baru Perang Dingin yang akan menghancurkan kesetaraan dan kemakmuran banyak negara bangsa di dunia. Moralitas keindonesiaan kita perlu mencari jalan lain, bukan sekadar menghadapi Thanos dalam kisah fiksi Avengers. Pengejawantahan kebijakan luar negeri, baik ekonomi, perdagangan, maupun pertahanan, menjadi elemen-elemen yang sangat erat terkait menghadapi ancaman masa depan.