Hasil pertemuan para ahli pada Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) baru-baru ini menyimpulkan, suhu Bumi sudah di titik kritis.
Pertemuan itu berlangsung di Incheon, Korea Selatan, 1-8 Oktober lalu. Hasilnya kemudian dipublikasikan oleh Kerangka Kerja Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), Senin (8/10/2018). Intinya, toleransi kenaikan suhu Bumi maksimal hanya 1,5 derajat celsius. Lebih dari itu, sekalipun hanya 0,5 derajat celsius, akan berdampak buruk.
Dampak ekstrem bisa semakin sering terjadi: perubahan iklim, kekeringan, banjir, terganggunya pola tanam, rusaknya terumbu karang, dan tenggelamnya pulau-pulau. Kemiskinan berisiko meningkat dan penduduk dunia akan kekurangan pangan.
Sebenarnya kondisi suhu Bumi sudah lama menjadi perhatian para ahli. Tahun 1896, Svante Arrhenius, ilmuwan Swedia, mengaitkan pembakaran bahan bakar fosil dengan pemanasan global. Saat itu revolusi industri baru mulai dan bahan bakar fosil jadi sumber energi masif yang melepas karbon ke atmosfer.
Tahun 1955, Gilbert Plass mempresentasikan kemampuan gas karbon dioksida menyerap gelombang inframerah. Namun, baru 21 tahun kemudian, 1976, Guru Besar Biologi Lingkungan dari Stanford University Stephen Schneider memprediksi dampak pemanasan global akibat kehadiran gas rumah kaca. Terminologi efek rumah kaca akhirnya mengerucut tahun 1988.
Karbon dioksida disebut gas rumah kaca karena mekanisme kerjanya seperti rumah kaca di kawasan pertanian: memerangkap gelombang inframerah sehingga ruangan tetap hangat. Namun, pada kasus pemanasan global, pemerangkapan panas bisa membawa bencana. Gas-gas rumah kaca meliputi karbon dioksida, nitrogen oksida, metana, sulfurheksaflorida, perflorokarbon, dan hidroflorokarbon.
Kita tahu, pembangunan di Indonesia masih bergantung pada eksploitasi sumber daya yang tidak berkelanjutan dan belum memperhitungkan biaya kerusakan lingkungan dalam menghitung pertumbuhan ekonomi. Meski demikian, kita juga menghargai komitmen pemerintah menurunkan emisi gas rumah kaca 29 persen tahun 2030, yang mencakup sektor kehutanan, energi, pertanian, industri, dan limbah.
Oleh karena itu, yang perlu diingatkan adalah keharusan menggunakan pendekatan pembangunan yang mempertimbangkan faktor ekonomi, sosial, dan pelestarian lingkungan. Brundtland menyebutnya sebagai pendekatan pembangunan berkelanjutan, yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas tengah menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk mengintegrasikan lingkungan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Oleh karena itu, kita berharap KLHS bisa menyinergikan penurunan emisi gas rumah kaca dengan pertumbuhan ekonomi, penurunan tingkat kemiskinan, dan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar