Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2018 tentang Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri, yang selanjutnya disebut Tim Nasional P3DN, guna mempercepat implementasi tingkat komponen dalam negeri dalam semua sektor industri.

Keberadaan tim sesuai dengan amanat Pasal 73 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri  yang sudah dikeluarkan pemerintah pada 17 September 2018.

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian juga menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian No 5/2018 tentang Perubahan atas Permenperin No 34/ M-IND/ PER/2017 tentang Industri Kendaraan Bermotor Roda Empat atau Lebih. Peraturan mengenai payung hukum bagi implementasi pemenuhan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) ini menjadi berita yang cukup menggembirakan demi kebangkitan industri nasional.

Revisi yang tertuang dalam Permenperin No 5/2018 itu di antaranya mengenai perubahan pada Pasal 4 Ayat 1. Aturan ini menegaskan, dalam melaksanakan proses manufaktur, perusahaan industri kendaraan bermotor roda empat atau lebih dapat melakukan sendiri dengan sarana dan prasarana yang dimiliki. Namun, perusahaan juga dapat menyerahkan sebagian atau seluruh proses manufaktur kepada perusahaan lain di dalam negeri untuk dikembalikan hasil proses manufaktur kepada industri yang bersangkutan.

Sementara dalam Pasal 24 Huruf A dinyatakan bahwa perusahaan industri kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang melakukan importasi kendaraan bermotor IKD harus memiliki surat penetapan. Surat penetapan ini harus mendapatkan persetujuan dari Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin RI dengan syarat menyertakan rencana impor kendaraan bermotor IKD dalam satu tahun dan harus menggunakan komponen kendaraan bermotor dalam negeri.

Sebagaimana diketahui, penerapan kewajiban TKDN, khususnya untuk barang jadi, bukan hanya pada sektor industri otomotif, melainkan pada barang-barang yang lain, seperti telepon pintar 4G, sebagaimana yang tertuang dalam Permenperin No 65/2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Produk Telepon Seluler, Komputer Genggam, dan Komputer Tablet, yang kemudian direvisi menjadi Permenperin No 29/2017.

Adapun untuk industri lainnya, seperti makanan dan minuman serta tekstil dan pakaian, mengacu pada Permenperin No 16/2011 tentang Ketentuan Tata Cara Perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri.

Dalam konteks makroekonomi, TKDN dilakukan dalam rangka mengurangi ketergantungan akan produk-produk impor. Sementara bagi industri, kebijakan TKDN tentunya dalam rangka meningkatkan dan mendorong tumbuhnya industri lokal nasional untuk memenuhi pasar dalam negeri di tengah membanjirnya impor barang jadi.

Dalam terminologi yang demikian, maka kebijakan TKDN harus dilihat dalam potret keberpihakan pemerintah terhadap industri dalam negeri melalui kebijakan industri yang bernilai strategis dari aspek nilai tambah teknologi dan ekonomi.

TKDN adalah proteksi

Diakui bahwa Indonesia adalah salah satu pasar yang cukup besar bagi dunia. Dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, Indonesia adalah pasar paling potensial, ditambah dengan masih kuatnya budaya hedonisme masyarakat, khususnya terhadap produk-produk impor.

Implementasi China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA), Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang segera disusul pasar bebas Asia, adalah sebuah ancaman sekaligus tantangan bagi industri-industri lokal untuk dapat berkompetisi dengan industri asing lainnya. Oleh sebab itu, proteksi menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kapabilitas dan kompetensi industri lokal untuk dapat bersaing, khususnya untuk menghadapi persaingan di dalam negeri sendiri.

Secara garis besar, ada dua bentuk proteksi terhadap industri dalam negeri. Pertama, tariff barrier,  yaitu pengenaan bea masuk dan pajak-pajak impor. Kedua, nontariff barrier,  yaitu penerapan kuota sampai pelarangan terhadap produk impor untuk barang-barang tertentu. Namun, dengan fenomena "budaya hedonisme", dua bentuk proteksi itu kurang berpengaruh signifikan terhadap berkurangnya impor. Oleh sebab itu, skema proteksi melalui ADP (appreciation of domestic products) dan preferensi terhadap TKDN menjadi sangat strategis.

Implementasi TKDN

Implementasi kebijakan TKDN bagi industri dapat dilakukan melalui proses internal, yakni menggabungkan manufaktur yang berbahan baku impor dan dalam negeri, serta melalui kerja sama atau keterkaitan industri asing (pemilik merek) dengan menggandeng industri lokal dalam negeri sebagai mitra. Dengan konsep seperti ini, maka diharapkan kapitalisasi pasarnya menjadi besar.

Dalam implementasinya penerapan TKDN di berbagai sektor, baik barang jadi, bahan setengah jadi, maupun jasa, ternyata banyak juga menemui kendala. Sebut saja mengenai teknis perhitungan TKDN, sertifikasi TKDN yang dianggap masih terlalu lama, dan lain sebagainya. Namun, terlepas dari beberapa kendala sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kebijakan TKDN adalah kebijakan strategis pemerintah untuk melindungi dan mendorong pertumbuhan industri lokal adalah final dan mengikat.

Oleh sebab itu, beberapa regulasi yang perlu dipertimbangkan pemerintah dalam rangka memperkuat implementasi TKDN adalah menyangkut skema keterkaitan industri. Pemilik-pemilik merek internasional menggunakan skema menggandeng industri lokal untuk melakukan manufaktur, seperti perakitan di Indonesia dengan menggandeng industri lokal.

Dalam skema yang seperti ini, maka pemilik sertifikat TKDN adalah pemilik merek, bukan industri lokal yang menjadi mitra manufaktur untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi. Hal yang demikian sering kali menjadi "praktik kecurangan" karena banyak kejadian di mana industri lokal "hanya" dimanfaatkan untuk mendapatkan sertifikat TKDN, sementara proses produksinya justru dilakukan di tempat lain atau dengan industri yang lain.

Dalam rangka menghindari dan meminimalisasi praktik-praktik kecurangan seperti ini, alangkah baiknya jika pemerintah melakukan revisi atau perbaikan peraturan mengenai TKDN dengan mensyaratkan aset tetap (fixed asset)dengan besaran atau nilai investasi tertentu sebagai bagian dari persyaratan dan perhitungan dalam TKDN. Dengan demikian, penekanannya adalah pada keadaan sesungguhnya dari investasi, yakni fixed asset, serta memberikan hak pemegang dan pemilik sertifikat TKDN adalah pabrikan lokal, bukan pemilik merek.

Penekanan pada investasi yang nyata (terlihat) menjadi sangat penting. Sebab, skema TKDN yang berjalan selama ini, pemilik merek sebagian besar hanya memiliki aset distribusi, sementara fixed asset,  seperti mesin dan pabrik, dimiliki oleh mitra industri yang notabene adalah industri lokal. Namun, sertifikat TKDN adalah atas nama pemilik merek (brand owner) selaku pemilik sertifikat. Oleh sebab itu, seharusnya pemilik dan pemegang sertifikat TKDN adalah pabrikan yang melakukan perakitan (yang notabene adalah pemilik fixed asset), bukan pemilik merek.

Penerapan persyaratan fixed asset dalam jumlah tertentu sebagai basis perhitungan TKDN, dan memberikan kepemilikan sertifikat kepada pabrikan yang merakit selaku pemilik fixed assets, tentunya memberikan beberapa asas manfaat. Sebutlah seperti: (a) mendorong peningkatan investasi sekaligus dapat mendorong percepatan tumbuhnya industri dalam negeri secara masif; (b) pemegang dan pemilik sertifikat TKDN dapat benar-benar mempertanggungjawabkan sertifikasinya; dan (c) mempermudah bagi pemerintah untuk melakukan kontrol kesesuaian TKDN yang tertuang dalam sertifikat dengan praktik implementasinya di lapangan. Apabila hal yang demikian dapat dilakukan, maka sejalan dengan peran pemerintah melalui Kemenperin, khususnya untuk menjalankan tupoksinya baik fungsi pengaturan, pembinaan, maupun pengembangan industri.