Temuan bahwa masih ada sekitar 31,9 juta data pemilih yang belum sinkron sungguh mengejutkan. Angka itu muncul setelah menyandingkan data 196 juta pemilih dalam daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) dengan data daftar pemilih tetap hasil perbaikan (DPTHP) tahap I yang mencatat 185 juta pemilih dalam negeri.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Sosialisasi salinan daftar pemilih tetap Pemilu 2019 dapat diakses hingga seluruh kantor kelurahan Kota/kabupaten seperti di Kantor Kelurahan Kaliwiru, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (16/10/2018). Selain datang langsung ke kantor desa/keluarahan warga juga dapat mengecek daftar pemilih dari laman yang berjaringan internet.

Mengapa terkejut? Jadi teringat bahwa bangsa ini pernah memiliki pengalaman sangat buruk soal DPT pada Pemilu 2009. Saat itu, warga negara yang berhak memilih tetapi tidak terdaftar dalam DPT jumlahnya diperkirakan mencapai 10 persen hingga 15 persen.

Selain ketidaksinkronan data, diperkirakan juga masih ada jutaan warga yang belum masuk DPT karena persoalan administrasi kependudukan. Indikasinya, jumlah pemilih di DPTHP masih jauh di bawah DP4.

Ada 5 juta lebih pemilih pemula yang pada 1 Januari hingga 17 April 2019 akan berusia 17 tahun tetapi belum bisa mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik. Ada sekitar 6 juta pemilih yang belum memiliki nomor induk kependudukan (NIK) atau KTP elektronik; belum lagi warga negara yang menempati lingkungan hutan atau lahan sengketa yang tidak dilayani memiliki KTP elektronik.

Keluhan tentang buruknya DPT dari pemilu ke pemilu juga pernah dikeluhkan warga melalui surat pembaca harian ini (Kompas, 8/10/2018). Keluarganya tidak tercantum dalam DPT Pilpres dan Pileg 2009 hingga DPT Pilkada 2018. Bolak-balik menanyakan hal ini ke kantor desa pun tak membawa hasil.

Hak memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu warga negara. Wajib bagi negara untuk menjamin untuk memenuhinya.

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan India, Indonesia tentunya harus memastikan bahwa semua warga negaranya yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur tujuh belas tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin dapat menggunakan hak memilihnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilu.

Melalui penggunaan hak pilih itulah, semua pemilih, tidak peduli pintar atau bodoh, kaya atau miskin, berada di perkotaan atau daerah terpencil, profesor atau tidak bersekolah, dapat berperan serta secara luas dalam pemerintahan dengan menentukan Presiden, Wakil Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Meniadakan hak pilih mereka karena buruknya administrasi kependudukan dan kepemiluan berarti memasung keterlibatan mereka.