Umur atau usia menjadi faktor menarik dalam Pemilihan Presiden 2019 dibandingkan dengan pilpres-pilpres kita sebelumnya.
Dua pasang calon presiden dan wakil presiden mempunyai rentang usia yang diutak-atik dalam perbincangan politik. Joko Widodo (Jokowi) berusia 57 tahun (lahir 21 Juni 1961) berpasangan dengan Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto 66 tahun (lahir 17 Oktober 1951) menggandeng Sandiaga Salahuddin Uno. Sementara saat ini diketahui ada lapisan tebal generasi milenial yang diyakini bisa menentukan arah pilpres dengan jumlah lebih dari 40 persen pemilih.
Generasi milenial menjadi rebutan bagi kedua kubu sekalipun dalam kalkulasi keduanya menggunakan strategi berlawanan. Jokowi memilih Ma'ruf yang berusia 75 tahun (lahir 11 Maret 1943) dan Prabowo mengajak Sandiaga dengan usia yang jauh lebih muda, 49 tahun (lahir 28 Juni 1969). Perbedaan umur yang kontras ini bisa berdampak pada persepsi calon pemilih. Setidaknya ada dan persepsi umur yang muncul, yaitu soal umur kronologis dan umur fisiologis. Termasuk persepsi pada calon pemilih generasi milenial. Jokowi, selain sering tampil "bergaya muda", mengompensasi kesenjangan (gap)umur cawapres melalui penunjukan ketua tim sukses Erick Thohir untuk mengimbangi karakter milenial lewat figur Sandiaga di kubu Prabowo.
Umur kronologis dan fisiologis
Sebagaimana diketahui, usia tidak hanya angka kronologis. Namun, lebih dari itu, menyangkut setidaknya seperangkat atribut atau karakter. Karakter umur pada kelompok dewasa pemula berbeda dengan kelompok lainnya. Pada mereka terdapat cadangan homeostasis yang prima yang juga berbeda dengan kelompok lainnya sehingga kelompok muda dianggap sangat bersemangat, kuat bekerja tetapi kadang sangat reaktif.
Homeostasis dikaitkan dengan proses mekanisme pengaturan lingkungan keseimbangan (bersifat konstan) dalam tubuh organisme, termasuk tubuh seseorang. Semakin ke kelompok manula, cadangan homeostasis terhadap proses adaptasinya semakin menipis atau yang dikenal dengan istilah homeostenosis atau kemampuan homeostasis yang menurun dalam beradaptasi dengan lingkungan.
Homeostenosis ini dimulai pada dekade ketiga dan jalannya bersifat progresif bertahap. Ini lebih diarahkan pada kelompok manula yang dianggap loyo, berisiko sakit, tak bisa mengikuti teknologi informasi (TI) sekalipun kebanyakan sangat bijak dan tak reaktif. Kecepatan pengurangan dari cadangan homeostasis ini sangat bervariasi antarindividu karena tubuh selalu dilengkapi mesin fisiologi. Usia fisiologi dikaitkan dengan perubahan kondisi fisik tubuh. Dengan demikian, ketika seseorang terlihat awet muda atau malah sebaliknya tampak lebih cepat menua, kejadian ini diperankan oleh mesin fisiologi sehingga muncullah istilah umur fisiologi yang berbeda dengan umur kronologis.
Pengurangan kapasitas sistem organ dalam konteks proses perubahan fisiologi alamiah sesungguhnya tidak bisa kita mungkiri dan terus berjalan sesuai siklus kehidupan dalam kodrat proses penuaan. Namun, ada ruang faktor cepat lambatnya tergantung dari faktor genetik, dietary, lingkungan, dan kebiasaan nutrisi. Inilah mengapa kesehatan seseorang bisa sangat bervariasi ketika menua. Maka, cukup fair apabila dalam mempersepsikan usia seseorang juga difokuskan pada produktivitas kerja karena bisa mengelola ciri biologi dan status fisik. Istilahnya, ada cadangan homeostasis yang menjadikan kehidupan nyata sangat dinamis. Katakanlah menjadi tua itu berbeda dengan merasa tua.
Sebuah penelitian di negara maju yang harapan hidupnya panjang (Isla Rippon, Andrew Steptoe, The University College London, 2014) membuktikan bahwa orang yang melaporkan merasa lebih muda dari usia kronologisnya mempunyai harapan hidup lebih lama daripada mereka yang merasa lebih tua. Katakanlah berusia 70 tahun bisa saja mengelola semangat tubuhnya seperti usia 50 tahun akan punya lebih lama harapan hidup, tetapi bukan kebalikannya.
Menua di Istana
Persepsi usia sudah lama dikaitkan dengan politik demokratis. Untuk kasus Amerika Serikat, negara ini pernah memilih presiden muda atau tua dari kelompok usia kronologis. Ronald Reagan yang terpilih pada usia 69 tahun bahkan ada yang lebih tua, yaitu Donald Trump, 71 tahun. Sementara contoh presiden muda adalah John F Kennedy saat dilantik saat berusia 43 tahun. Bahkan, Theodore Roosevelt lebih muda lagi, 42 tahun, menjadi presiden setelah pembunuhan Presiden William McKinley pada 1901.
Semua itu melewati isu-isu terkait usia meskipun tak meninggalkan faktor penguasaan isu-isu riil, seperti tawaran penyelesaian masalah (problem solving) di bidang ekonomi, pajak, kesejahteraan, keamanan, hubungan internasional, serta Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) lainnya.
Dengan demikian, banyak pemilih yang sudah mempersepsikan usia fisiologis dibandingkan dengan usia kronologis. Memang, pertimbangan tertentu, misal perhitungan risiko tinggi terhadap suatu penyakit terkait usia adalah cara berpikir logis. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut bahwa usia dari parameter kesehatan sesungguhnya sangat relatif dan hendaknya jangan fokus pada masalah peluang penyakit, tetapi lebih pada daya tahan dan bagaimana menjaga kesehatan ketika menghadapi proses adaptasi pada suatu fase kehidupan.
Sekalipun biasanya makin tua makin tinggi risiko sakit atau loyo, tetapi orang muda tetap bisa saja sakit dan yang manula tetap prima. Pemilih bisa saja tertarik dengan citra penuh semangat hidup atau pemimpin yang lebih bijaksana sekalipun keduanya bisa ditemukan pada saat yang bersamaan di usia dewasa mana pun.
Contoh fenomena dunia adalah saat Barack Obama terpilih menjadi presiden karena Obama muda (47 tahun pada saat terpilih) bisa menangkap keinginan pemilih untuk sesuatu yang baru (change/yes we can). Kebanyakan pemilih mungkin berpikir jika kandidat muda, si calon tidak akan terjebak dalam pemikiran fixed idea (masalah "yang lebih tua") dan akan bergerak melampaui status quo.
Ini terjadi juga terkait pemilihan Justin Trudeau sebagai Perdana Menteri Kanada (terpilih saat usia 44 tahun) atau juga Alexis Tsipras yang naik menjadi perdana menteri saat negerinya krisis ekonomi di usia 41 tahun. Bahkan, Emmanuel Macron terpilih sebagai presiden Perancis di usia 40 tahun.
Namun, dalam kasus Reagan, Trump, dan Mahathir Mohamad (93) bisa saja si calon manula akan tetap menarik lebih banyak perhatian suara pemilih. Walaupun tergolong tua, nyatanya si calon masih memiliki stamina prima, baik secara fisik maupun intelektual.
Dalam konteks ini, usia kronologis disisihkan oleh kualitas usia fisiologis. Menua memang proses alami sunatullah, tetapi fakta kecepatan menua satu sama lain bervariasi tergantung dari keadaan. Dengan banyak pekerjaan berat di istana, ada tulisan Ben Tinker, "How Old is too Old to be President", yang memuat wawancara Dr Michael Roizen dari Cleveland Clinic dengan Paul Terry bahwa para presiden secara efektif dinilai menua dua tahun untuk setiap satu tahun.
Namun, hal ini dibantah oleh peneliti lain (Eileen Crimmins, University of Southern California's Davis School of Gerontology). Dengan menghadapi banyak tekanan, para presiden yang bekerja keras dilaporkan justru banyak mendapatkan keuntungan untuk kematangan usia fisiologis, tidak seperti yang dibayangkan banyak orang. Mereka cenderung menjadi orang yang berkembang ketika taruhannya tinggi dan memiliki bawahan hebat dalam membantu mereka menavigasi masa-masa sulit. Sepintas presiden hanya terlihat lebih cepat menua daripada populasi umum, tetapi suatu studi (oleh S Jay Olshansky, 2011) tidak menemukan bukti bahwa presiden AS meninggal lebih cepat daripada rata-rata pria AS. Bahkan, sebaliknya, ada 23 dari 34 presiden yang meninggal (penyebabnya karena sebab alami) itu hidupnya di atas harapan hidup rata-rata untuk pria pada usia yang sama ketika mereka dilantik.
Produktivitas
Jelas bahwa usia fisiologis berbeda dengan usia kronologis. Yang penting sejauh manakah produktivitas dan kemampuan mengelola isu-isu permasalahan bangsa dari kedua kubu. Generasi milenial bisa saja terpesona pada suatu persepsi kemudaan, tetapi jangan lupa bahwa banyak di antara mereka juga berpikir substantif. Dari kedua kubu bisa ikut mencerdaskan apabila lebih banyak mengeksplorasi problem solving yang terukur (dan bisa dipenuhi) untuk masalah konkret bangsa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar