KOMPAS/ SAMUEL OKTORA

Tiga ronggeng membawakan tarian ketuk tilu sebelum masuk dalam sandiwara longser (sawer) bertema Seniman Sunda Peduli Bencana di Gedung Kesenian Sunan Ambu Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (17/3) malam. 

Bermula dari keprihatinan terhadap hilangnya program Pekan Penata Tari Muda yang digagas Dewan Kesenian Jakarta (1978-1984), pada 1992, Sal Murgiyanto, Maria Darmaningsih, Nungki Kusumastuti, dan Melina Surjadewi mulai merintis dan membentuk Indonesian Dance Festival.

Penamaan Indonesian Dance Festival sedikit banyak terinspirasi oleh American Dance Festival yang pernah dihadiri Sal Murgiyanto, di mana ia turut terlibat mengirim dan mempresentasikan karya seniman tari Indonesia ke ajang tersebut. Semangat regenerasi dan menciptakan ruang bagi kreativitas koreografer muda menjadi alasan mendasar mengapa IDF dibentuk.

Prakarsa tersebut didukung oleh Farida Oetoyo (yang saat itu menjabat Ketua Gedung Kesenian Jakarta), Sardono W Kusumo, Tom Ibnur, Julianti Parani, Deddy Luthan, dan Edi Sedyawati. Serangkaian nama-nama seniman tari yang dikenal hingga kini, seperti Indra Utama, Arief Rofq, Tom Ibnur, Deddy Luthan, Ida Wibowo, dan Sukarji Sriman, adalah para seniman yang terundang untuk tampil di Indonesian Dance Festival (IDF) pertama (1992).

Selain mengundang seniman tari Indonesia, pada 1993, pertama kalinya juga mengundang penampil dari mancanegara dan dimulainya prakarsa program showcase. Pada masa itu, cita-cita program showcase adalah menjadi ruang tampil bagi kreativitas koreografer muda di Indonesia. Jika dicermati kembali, showcase merupakan program yang lekat kaitannya dengan motivasi awal mula dirintisnya IDF, jadi dapat dikatakan showcase merupakan semangat IDF.

Tahun 2018 adalah kali ke-14 IDF diadakan dan posisi showcase sebagai semangat IDF masih dipertahankan dengan nama yang berganti menjadi Kampana. Tentu saja pergantian nama itu tidak semata-mata soal "ganti nama saja", tetapi juga diikuti dengan kesadaran bahwa Kampana ini bukan hanya ruang pamer, melainkan juga ruang proses dan ruang kritis.

Jadi, pergerakan Kampana dalam proses kurasinya bukan semata-mata memilih koreografer muda dan karyanya yang sudah jadi kemudian dipentaskan di IDF, melainkan sedang diuji coba sebagai satu platform yang memayungi keseluruhan proses laboratorium hingga presentasi akhir di festival.

Kampana sendiri diambil dari bahasa Sansekerta, memiliki arti 'vibrasi', yang menyebabkan getar. Nama tersebut dipilih dengan harapan platform ini akan menjadi titik getar dengan frekuensi yang dapat menjangkau praktik dan gagasan koreografi beserta dengan kekuatan konteks sosiokulturalnya. Seleksi seniman untuk platform Kampana oleh tim kuratorial IDF didasari pada adanya potensi getaran yang berkesinambungan antara praktik dan gagasan dengan karyanya.
Mancanegara

Tahun 2018 juga merupakan pertama kalinya IDF mengundang seniman dari mancanegara dalam showcase. Langkah awal ini sebagai bagian dari bagaimana IDF melihat kebutuhan platform semacam ini secara umum untuk koreografer muda di Asia Tenggara, bukan hanya di Indonesia.

Tujuh seniman Kampana yang telah terpilih menguji coba karyanya untuk presentasi di IDF 2018, antara lain Riyo Tulus Fernando (koreografer, Riau), Ayu Permatasari (koreografer, Lampung), I Putu Bagus Bang Sada Graha Saputra (koreografer, Bali) berkolaborasi dengan Natasha Tontey (perupa, Jakarta), Alisa Soelaeman (koreografer, Jakarta), Densiel Lebang (koreografer, Makassar), dan satu koreografer dari Singapura, Pat Toh.

Sejak akhir 2017 mereka dipilih kemudian mengikuti serangkaian seri lokakarya dan pendampingan di dalam platform Kampana. Proses dimulai dari Mei 2018 ketika mereka diundang ke Yogyakarta untuk saling mempresentasikan konsep dan gagasan karya.

Proses ini juga untuk melihat sejauh mana proses karya mereka. Ada sebagian yang memang telah memiliki karya yang sudah jadi, tetapi kebanyakan masih berupa gagasan dan konsep meskipun sebagian telah memulai proses riset dan eksplorasi. Kemudian, pada 27 Agustus hingga 2 September, seniman Kampana kembali diundang ke Yogyakarta untuk mengikuti rangkaian Lokakarya Riset Artistik.

Lokakarya ini lebih menyoroti bagaimana proses seniman setelah pertemuan awal pada Mei dan apa yang akan dilakukan dalam proses selanjutnya.

Lokakarya ini difasilitasi beberapa mentor dari berbagai disiplin ilmu, yaitu Arco Renz (koreografer, dramaturg-Belgia), Mella Jaarsma (perupa, Yogyakarta), dan Gunawan Maryanto (sutradara, aktor, penulis-Yogyakarta).

Selain para mentor, peserta juga bersentuhan dengan berbagai komunitas, kolektif, institusi, juga peneliti kesenian di Yogyakarta. Para mentor di sini berperan membantu seniman Kampana memperdalam gagasan dan bersama dengan seniman merencanakan praktik proses supaya karya dapat bertumbuh sesuai dengan arah gagasannya.

Tentu proses pertemuan dan lokakarya itu tidak cukup karena baru berada dalam ranah gagasan dan rencana praktik. Dari situ beberapa seniman, terutama yang karyanya masih berupa konsep dan gagasan, didorong melakukan presentasi awal di platform-platform yang telah tersedia di sekitar mereka.

Hal ini penting sebagai uji coba karya bertemu publik juga uji coba atas proses masing-masing seniman, yang kemudian memudahkan untuk membaca dan mengkritisi ulang gagasan dan proses selama beberapa waktu terakhir.

Beberapa platform yang menjadi titik-titik perhentian untuk presentasi awal seniman, antara lain, I Putu Bagus Bang Sada Graha Saputra x Natasha Tontey di platform Jalur Pinggir tidak Selalu Ada di Peta Kota (Yogyakarta) dan Jejak Tabi Festival (Yogyakarta dan Kuala Lumpur), Densiel Lebang di program showcase SIPfest Salihara (Jakarta), Ayu Permatasari di Dance Nucleus (Singapura) dan Jejak Tabi Festival (Yogyakarta dan Kuala Lumpur), Alisa Soelaeman di Paradance (Yogyakarta) dan program showcase SIPfest Salihara (Jakarta), serta Pat Toh di Dance Nucleus (Singapura), sedangkan Riyo Tulus Fernando sendiri sudah memiliki karya yang bisa dibilang telah jadi dan telah dipentaskan di beberapa panggung, salah satunya di Galeri Indonesia Kaya (Jakarta).

Titik-titik perhentian ini sebenarnya menarik dilihat sebagai sebuah kolaborasi informal antarplatform untuk saling mendukung demi terciptanya karya yang matang dari seorang seniman.

Tentu selama berada di setiap titik perhentian, seniman mendapatkan feedback dan pembacaan-pembacaan menarik yang kemudian dapat disimpan sebagai amunisi pengembangan karya untuk titik perhentian selanjutnya, termasuk ketika nanti melakukan presentasi karya di IDF. Bukan karya jadi yang dituntut, tetapi IDF sendiri memiliki porsi sebagai titik perhentian bagi seniman untuk mengumpulkan amunisi pengembangan karya untuk titik-titik selanjutnya.

Dari sini, dapat dilihat bahwa Kampana hadir bukan sebagai pengganti, tetapi sebagai pembacaan ulang atas program showcase IDF, sebagai ruang belajar, yang beroperasi di jaringan kerja artistik, juga memfasilitasi seniman melakukan penjelajahan lintas disiplin, baik seni maupun nonseni, serta seniman ditantang bersama-sama dengan IDF memperluas jangkauan resonansi atas pengetahuan koreografi.

Perluasan medan jelajah tersebut bukanlah sekadar upaya perluasan ladang pencarian sumber-sumber gagasan, melainkan juga untuk mengembangkan praktik koreografi yang kritis dan kontekstual dengan situasi medan seni dan keadaan sosiokultural saat ini.

Hal ini membuat Kampana memiliki arah dan tujuan yang jelas, tetapi secara praktik dapat dibilang fleksibel dan cair, menyesuaikan dengan kebutuhan seniman, perkembangan kesenian Indonesia dan global, juga konteks keadaan sosiokultural dari masa ke masa.

Pendekatan ini IDF anggap sangat penting sebagai investasi jangka panjang dalam membentuk praktik sekaligus ekosistem seni tari kontemporer Indonesia yang sehat, progresif, dan demokratis.