KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH (DRI)

Murid-murid sedang mengikuti simulasi mitigasi bencana gempa di SD Muhammadiyah 1, Banda Aceh, Senin (15/12). Aceh menjadi daerah rawan bencana, seperti gempa, tsunami, banjir, dan longsor. 

Belum kering air mata menangisi korban bencana gempa Lombok (5-19 Agustus 2018), Palu dan Donggala menyusul diguncang gempa pada 28 September 2018. Gempa itu diikuti tsunami dan likuefaksi yang menelan ratusan korban jiwa. BNPB melaporkan setidaknya sudah jatuh 832 korban jiwa. Jumlah ini masih akan bertambah karena proses pencarian korban yang tertimbun reruntuhan bangunan belum intensif, menunggu datangnya peralatan.

Gempa Donggala termasuk gempa kuat, bermagnitudo 7,4, dengan pusat gempa cukup dangkal, lebih kurang 10 km. Gempa juga diikuti tsunami, melanda Kota Palu yang terletak di tepi pantai. Gempa Donggala-Palu juga diwarnai dengan likuefaksi, yaitu fenomena hilangnya daya dukung tanah.

Tanah yang rentan likuefaksi umumnya yang berbutir kasar, semisal pasir, dengan kepadatan rendah dan muka air tanah tinggi. Akibat gesekan-gesekan gempa, daya dukung tanah berkurang drastis, berubah sifatnya menjadi seperti cairan, karenanya disebut liquefaction (likuefaksi). Tanah yang mengalami likuefaksi bisa "mengalir", membawa serta bangunan-bangunan di atasnya atau karena tiba-tiba kehilangan daya dukung, fondasi bangunan bisa tiba-tiba ambles.

Hampir semua korban meninggal karena tertimpa runtuhan bangunan yang ambruk, sama halnya dengan gempa Yogyakarta (2006), Lombok (2018), dan gempa-gempa lain di Tanah Air. Dalam hal gempa Donggala-Palu, korban juga meninggal karena tersapu gelombang tsunami, sama halnya dengan gempa di Flores (1992), Aceh (2004), dan Mentawai (2010). Sangat jarang terjadi korban jiwa akibat terbelahnya tanah.

Mencegah jatuh korban

Gempa adalah fenomena alam yang belum dapat diprediksi. Meski demikian, jatuhnya korban jiwa akibat gempa dapat dihindari, setidaknya dapat ditekan seminimal mungkin. Hal ini disebut mitigasi gempa.

Gempa-gempa kuat di negaranegara maju, semisal Jepang, Amerika Serikat, dan Selandia Baru, korban jiwa hanya sedikit. Padahal, sama seperti di Indonesia, negara-negara ini juga berada di area ring of fire.

Pertanyaannya, mengapa gempa di Indonesia diikuti dengan tingginya jumlah korban jiwa dan luka-luka, porak-porandanya bangunan fasilitas umum, rumah, dan infrastruktur lainnya? Bahkan, dalam musibah gempa Donggala-Palu, pertolongan pertama dan penyaluran bantuan untuk para korban terkendala rusaknya jaringan listrik, transportasi, dan telekomunikasi. Semua itu akibat minimnya mitigasi gempa di Indonesia, baik fisik maupun sosial.

Sebenarnya, berbagai bentuk mitigasi gempa—upaya menekan jumlah kerugian/korban akibat gempa—banyak tersedia. Demikian pula pengalaman baik (best practices) dari pelbagai gempa yang pernah terjadi baik di Tanah Air maupun negara lain, untuk penerapan mitigasi gempa ini. Namun, pemanfaatan minimal perlu kemauan dan kerelaan untuk belajar dan berubah dalam perilaku dan kebiasaan, termasuk kemauan politik (political will) para pengambil keputusan.

Darurat mitigasi gempa

Dalam kejadian gempa Donggala-Palu, nyata benar bahwa upaya mitigasi gempa belum semestinya. Tingginya jumlah korban akibat tertimpa reruntuhan bangunan menggambarkan bahwa bangunan-bangunan yang ada tidak dibangun sesuai dengan kaidah-kaidah membangun di daerah risiko gempa tinggi. Bangunan-bangunan atau sarana infrastruktur vital juga banyak rusak. Akibatnya, listrik padam di daerah terdampak gempa. Menara-menara jaringan telekomunikasi juga hancur, termasuk menara pengawas di bandar udara. Korban gempa tak dapat ditangani semestinya karena peralatan medis tidak berfungsi tanpa aliran listrik.

Komunikasi dengan dunia luar juga terputus. Akibatnya aliran bantuan terhambat. Apalagi berbagai sarana transportasi darat juga rusak berat.

Gempa Donggala-Palu diikuti tsunami. Ditengarai banyak perangkat deteksi dini tsunami tidak berfungsi karena rusak atau bahkan hilang. Akibatnya peringatan deteksi dini tsunami hanya dilakukan berdasarkan pemodelan, bukan atas dasar informasi real time.

Wilayah Donggala dan Palu sudah lama diketahui merupakan daerah dengan frekuensi tsunami tinggi. Sepanjang 200 tahun terakhir, setidaknya sudah terjadi 19 kali tsunami. Harian Kompas pernah menurunkan beberapa tulisan peringatan, misalnya artikel berjudul "Waspadai Gempa Besar di Sulawesi" (Kompas, 31 Mei 2017), terutama akibat aktivitas sesar Palu-Koro yang tinggi. Namun, upaya mitigasi signifikan belum tercatat dilakukan.

Buat zonasi aman

Adanya bangunan-bangunan di area terdampak likuefaksi mengindikasikan bahwa ada zona-zona tidak aman yang harus dihindari. Namun, hal ini belum bisa dilakukan karena zona ini belum terpetakan atau mungkin sudah terpetakan, tetapi law enforcement atau penerapan regulasinya rendah.

Masyarakat penduduk Donggala dan Palu banyak yang belum menyadari bahwa tempat tinggalnya merupakan daerah yang rawan gempa dan tsunami sehingga belum terlatih menyiapkan diri menghadapi gempa. Maka, reaksi yang muncul adalah panik dan kalang kabut.

Semua situasi ini memberikan gambaran bahwa Indonesia sudah berada pada masa kritis kondisi gawat-darurat mitigasi gempa. Kita tidak bisa menunggu berjatuhannya korban-korban lain akibat gempa, belum lagi kerugian rusaknya fasilitas infrastruktur yang berdampak pada roda ekonomi dan kondisi sosial-psikologis masyarakat. Kita butuh perubahan radikal untuk menyadarkan pemerintah dan masyarakat (Kompas, 30/9).

Berbagai metode mitigasi gempa, baik dalam aspek fisik maupun sosial, sudah tersedia, tinggal menunggu kemauan kuat untuk implementasinya. Dalam aspek fisik, teknik-teknik membangun yang menghasilkan bangunan tidak mudah roboh akibat gempa sudah lama tersedia, baik untuk bangunan yang direncanakan dan dibangun oleh ahli bangunan (engineered structures) maupun bangunan yang dibangun langsung oleh masyarakat tanpa melibatkan ahli bangunan (non-engineered structures). Rumah-rumah tinggal penduduk jenis kedua inilah yang banyak hancur.

Kurang pengetahuan

Pemilik bangunan dan tukang yang mengerjakan dapat dipastikan tidak memiliki pengetahuan cukup tentang perilaku material dinding bata dan pengaku beton bertulang, juga tidak pernah mendapatkan informasi dan pelatihan memadai.

Akibatnya, bangunan yang dihasilkan hanya kuat memikul beban gravitasi, tetapi sangat rentan beban gempa. Teknologi untuk membuatnya "berperilaku" baik ketika menerima beban gempa sebenarnya sudah tersedia dan tidak terlalu perlu tambahan biaya. Yang penting adalah ada penyadaran dan pelatihan untuk masyarakat dan tukangtukang bangunan agar dapat menghasilkan rumah-rumah tinggal tahan gempa.

Pemerintah juga perlu lebih ketat dalam pemberian izin membangun dan pengawasan bangunan dalam proses bangun sehingga sesuai dengan kaidah rumah tahan gempa.

Zona-zona rentan likuefaksi seyogianya dijadikan daerah terbuka hijau, sama sekali tidak boleh jadi area hunian. Sistem peringatan dini tsunami sudah berkembang pesat, hanya saja pemeliharaannya personal. Ke depan, sistem dan fasilitas harus dilakukan dengan cermat. Bukan gempa yang membunuh, melainkan kelalaian manusia.

Dari aspek sosial, masyarakat dan khususnya anak-anak sekolah, perlu terus-menerus dipersiapkan dengan pemahaman dan pelatihan agar dapat bersikap tenang dan tepat ketika gempa terjadi. Sebaliknya, pemerintah daerah juga memiliki kesiapan terkait manajemen bencana.

Sudah banyak metode dan teknologi mitigasi yang tersedia, tetapi yang sangat diperlukan adanya political will untuk mengimplementasikannya di kehidupan sehari-hari. Proses ini bisa jadi merupakan proses perubahan yang radikal.