Sudah menjadi wacana klasik bahwa kita kurang punya sikap bangga terhadap bahasa Indonesia. Padahal, kita—sebagai si pemilik dan penutur asli (native) bahasa Indonesia—mestinya jadi barisan terdepan dalam menggunakan dan mempromosikan bahasa Indonesia. Kita juga seharusnya yang paling bangga menggunakan bahasa Indonesia. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Kita ternyata lebih gandrung memakai kosakata bahasa asing meski padanan kosakatanya sudah ada dalam bahasa Indonesia. Mengapa terjadi seperti itu?

Bahasa Indonesia memiliki sejarah panjang yang sarat nilai nasionalisme. Sejarah kelahiran bahasa Indonesia seiring dengan sejarah perjuangan bangsa kita. Pada awal kelahirannya, bahasa Indonesia lahir sebagai bahasa nasional, menggantikan bahasa imperialisme Belanda dan Jepang. Bahasa Indonesia jadi pilihan sekaligus mampu menyatukan masyarakat kita yang niscaya beragam suku dan budaya lokal. Bahasa Indonesia mampu mengambil peran itu.

Kita tahu cikal bakal bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu (Riau), yang diperkaya secara dinamis dengan kosakata bahasa asing dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia mula-mula lahir dan tumbuh dari kesadaran kebangsaan sehingga pada 20 Mei 1908 bahasa Indonesia diakui sebagai bahasa persatuan yang sarat dengan nilai nasionalisme.

Bahasa Indonesia juga berperan sebagai bahasa perekat bangsa. Maka, ketika Sumpah Pemuda diikrarkan pada 28 Oktober 1928, salah satu ikrarnya menjunjung bahasa Indonesia, yang menjadi sumber hukum sebagai bahasa nasional. Kemudian, dalam Pasal 36 Bab XV UUD 1945, bahasa Indonesia dikukuhkan lagi sebagai bahasa negara. Itulah kedudukan penting bahasa Indonesia.

Jadi, bertolak dari sejarah panjang bahasa Indonesia, kita perlu bangga dengan keberadaan bahasa Indonesia. Terlebih lagi di tengah keragaman bangsa. Kita patut bersyukur memiliki satu bahasa persatuan yang mampu memediasi hubungan antardaerah dan antarsuku di Indonesia.

Kebanggaan itu semestinya diikuti ketaatan praksis berbahasa Indonesia, baik dalam komunikasi tulis maupun lisan. Sebab, hanya dengan kebanggaan dan ketaatan praksis berbahasa itulah kita secara nyata turut menghidupkan bahasa Indonesia dan memosisikannya sebagai bahasa yang sangat penting dalam bangsa dan negara.

Kurang perhatian

Sikap bangga terhadap bahasa Indonesia penting kita tumbuh-suburkan karena bahasa menandai jati diri bangsa. Bahasa menjadi salah satu penanda jati diri yang nyata. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, ternyata bahasa Indonesia belumlah kita sikapi seperti itu. Kita tampak kurang memperhatikan, memedulikan, dan menghargainya.

Uniknya, bahasa Indonesia justru sangat diminati oleh orang asing. Banyak orang asing yang antusias belajar bahasa Indonesia. Dalam berbagai pertemuan internasional,  bahasa Indonesia sering mereka katakan sebagai bahasa yang menarik. Kata-kata itu justru keluar dari orang asing sendiri. Dan orang asing justru mempertanyakan sikap kita: mengapa orang Indonesia kurang perhatian terhadap bahasanya?

Jika kita amati di tingkat dunia pun, bahasa Indonesia juga dipelajari dan dihargai di banyak negara. Terbukti dari banyaknya pendirian bidang bahasa Indonesia atau studi Indonesia (Indonesian Studies). Beberapa negara itu, di antaranya Korea, Jepang, Australia, Jerman, Polandia, Amerika, dan China. Dari bahasa Indonesia, mereka juga kemudian tertarik mempelajari budaya Indonesia. Tak heran jika sekarang banyak orang asing yang sangat mahir berbahasa Indonesia standar.

Namun, ironisnya, kita sebagai penutur asli justru kurang menghargai  bahasa kita sendiri. Dalam keseharian berbahasa, misalnya, kita terlalu silau dengan bahasa asing. Berbagai kosakata yang sudah jelas-jelas ada serapan atau padanannya dalam bahasa Indonesia justru kita ganti kembali dengan kosakata bahasa asing. Misalnya unggul menjadi excellence, rapat jadi meeting, ruang jadi room, siswa jadi student, perhatian jadi care, sarapan jadi breakfast, makan malam jadi dinner, tutup jadi close, bukajadi open, tempat tinggal diganti residence, jual menjadi sale, dan masih banyak lagi lainnya.

Melihat realitas berbahasa itu, boleh-boleh saja kita menggunakan kata bahasa asing, asalkan kata bahasa Indonesia ditulis terlebih dahulu—sebagaimana yang dilakukan Korea dan China.  Begitu pula halnya jika kita melihat bahasa di ruang publik yang tertera dalam papan nama, nama jalan, nama pertokoan, perumahan, promosi, dan seterusnya. Kata bahasa Indonesia tampak tenggelam dan yang lebih ditonjolkan justru kata bahasa asing.

Mengamati sikap dan praksis berbahasa Indonesia seperti itu, kita terasa tak tinggal di negara sendiri. Adanya realitas seperti itu tentu saja memprihatinkan. Kita seperti sama sekali tak bangga menggunakan  bahasa Indonesia di ruang publik. Padahal, ruang publik Indonesia seharusnya jelas-jelas menjadi tempat utama mempromosikan bahasa Indonesia. Melalui nasionalisme berbahasa Indonesia, kita mesti bisa menguatkan jati diri keindonesiaan kita.

Guna mengantisipasi krisis kebanggaan berbahasa Indonesia, kita mesti memiliki kesadaran akan pentingnya bahasa Indonesia. Untuk itu, kita perlu terus-menerus menumbuhkan kebanggaan berbahasa Indonesia. Perlu mengutamakan bahasa Indonesia dalam berbagai peristiwa guna meneguhkan jati diri berbangsa. Kita mesti bangga dan mau mendayagunakan bahasa Indonesia.