Sembilan puluh tahun selepas Sumpah Pemuda, pemuda menjadi penanda yang tak pernah jauh-jauh dari gelanggang politik Indonesia.

Pada kurun perjuangan kemerdekaan Indonesia, pemuda identik dengan brigade revolusi. Selepas kemerdekaan, pemuda dan Sumpah Pemuda digadang Soekarno dari podium ke podium sebagai simbol kesatuan nasional.

Lantas, pada kurun Orde Baru, watak revolusionernya diredam. Ia menjadi subyek yang didisiplinkan dan mesti menyimbolkan stabilitas pembangunan nasional. Hari-hari ini? Pada kurun di mana mereka dilekatkan dengan identitas milenial dan mobilisasi politik terjadi di mana-mana? Tentu saja kita masih terus mendengar ia dilibatkan dalam ekspresi-ekspresi politik.

Beberapa tahun silam, kita mendengar wacana urgensi partisipasi kaum muda dalam gelanggang politik. Hari-hari ini, kita mendengar para capres, cawapres, dan tentu saja calon anggota legislatif (caleg), serta partai beradu memperlihatkan keberpihakan mereka kepada generasi milenial.

Ada para politisi yang merangkul kelompok pengusaha belia. Ada yang mengorganisasi kampanye-kampanye guna menunjukkan kedekatan calon dengan kaum milenial, terlepas usia calon. Ada yang menonjolkan kebeliaan sang calon sendiri. Tak lupa, ada yang mengadopsi ekspresi-ekspresi gaul kelompok muda kendati malah membuat calon bersangkutan terlihat seperti lelucon. Ada yang menitikberatkan kampanye di media yang banyak dipergunakan milenial.

Sayangnya, dalam kesibukan politisi mengumbar kedekatannya dengan pemuda, perkara nyata yang mencekik mereka justru tak pernah mengemuka dan disambangi. Kian disayangkan tentu jika kelompok muda melahap kail yang disiapkan oleh para politisi begitu saja.

Perkara nyata

Perkara yang jelas membelit generasi muda hari ini, contohnya saja, perkara tempat tinggal. Kemelut ini tengah mencekik milenial di berbagai belahan dunia. Kajian yang dihelat oleh Yayasan Resolusi di antara para milenial Inggris menunjukkan mereka harus menghabiskan 25 persen dari pendapatannya untuk menyewa atau mencicil hunian, lebih dari semua generasi sebelumnya.

Di Indonesia, di mana harga properti melonjak tak terkendali beberapa tahun terakhir, situasinya dengan sendirinya tidak lebih baik. Dengan patokan upah minimum regional (UMR) saja, para milenial harus merelakan sebagian besar pendapatannya untuk memiliki rumah di daerah yang jauh dari tempat kerjanya. Selanjutnya, jika mereka memutuskan tinggal jauh dari pusat kota, dengan sistem transportasi umum yang belum tertata, mereka harus menghamburkan waktu dalam perjalanan pergi-pulang kerja setiap harinya. Waktu yang sangat banyak, semua tahu.

Kondisi ini sendiri saja bukan kondisi yang benar-benar manusiawi. Namun, persoalan kaum muda belum berhenti di sini. Mereka hidup di tengah iklim kerja yang mengutamakan fleksibilitas lebih dari apa pun. Mereka harus menyambung hidup dengan beralih dari kerja kontrak satu ke kerja kontrak selanjutnya di mana mereka bukan hanya tak terjamin kehidupannya. Mereka juga tak memiliki kepastian dan ketenangan batin bagaimana menyambung kehidupannya di keesokan hari.

Dan di antaranya yang menjadi pekerja lepas sudah hafal dengan kesemenamenaan pemberi kerja. Sebagaimana yang dilaporkan Sindikasi, Serikat Pekerja Media, dan Industri Kreatif, pekerja lepas tak jarang kesulitan mendapatkan bayarannya meski mereka harus berhadapan dengan beban kerja yang berat. Banyak di antara apa yang mereka kerjakan bahkan tak dihitung sebagai kerja.

Belum lagi kondisi kerja kaum milenial kini diperkeruh dengan keberadaan teknologi informasi. Keterhubungan yang difasilitasi inovasi termutakhir memungkinkan manajemen untuk memantau kerja para buruhnya setiap saat. Akibatnya, salah satu beban yang menggentayangi milenial di mana-mana adalah perasaan harus bekerja setiap saat. Saya kenal orang-orang yang ketika bangun harus membalas surel kantor dan mengirimkan laporan yang diminta atasannya sebelum tidur. Mereka yang di hari libur sekalipun harus berkutat di depan perangkat elektroniknya dan memuaskan permintaan-permintaan atasannya. Jumlah mereka tidak sedikit.

Bukan representasi belaka

Konsekuensi lebih lanjut dari segenap persoalan ini? Kualitas kehidupan milenial memburuk tentu saja. Waktu paling intimnya sekalipun terkuras habis. Ketenangan hidup selalu terganggu. Pertumbuhan perekonomian yang langgeng dan dipuji lembaga-lembaga perekonomian tidak selalu sejalan dengan kemelut yang mereka hadapi.

Ironisnya, persoalan-persoalan barusan tidak pernah identik dengan pemuda, generasi muda, atau milenial. Perhatian kita kepada kelompok muda selalu adalah potensinya, baik itu potensi politik maupun ekonominya. Membeludaknya generasi muda suatu negara berarti negara bersangkutan akan mengalami pertumbuhan dan kemajuan ekonomi yang pesat. Para politisi harus membidik kelompok ini sebagai kantong suara yang menentukan.

Cara pandang yang mendominasi pembicaraan tentang kepemudaan adalah cara pandang yang teknokratis dan elitis. Jujur saja, hal ini tak terjadi baru-baru ini. Sejak lama pemuda dijadikan komoditas politik. Sumpah Pemuda dipolitisasi untuk menggiring kaum muda agar mereka menjalani hidup yang diinginkan oleh para elite.

Menjelang pergelaran-pergelaran politik, karena itu, milenial seyogianya mempunyai pendirian terhadap upaya-upaya memalukan menggaet suaranya. Sedari lama kita terobsesi dengan pengakuan dan pemenangan identitas. Politik identitas acap punya daya pikat yang nyaris magis bukan karena ia memberdayakan mereka yang terlibat di dalamnya. Momen diakui atau menangnya sebuah identitas itu sendiri adalah segalanya, terlepas selanjutnya mereka yang berpartisipasi dalam perjuangannya tak mengalami perbaikan nasib dan yang diuntungkan tak lebih dari segelintir elite.

Apakah milenial ingin terjeblos di lubang yang sama? Terisap di antara elite-elite yang menawarkan dirinya akan mewakilkan mereka tetapi tak lebih dari mengumbar kedekatan-kedekatan simbolis belaka? Saya harap, tidak. Pada titik ini, menjadi penting bagi kelompok ini untuk mengidentifikasi apa persoalan obyektif kehidupan mereka bersama, meretas strategi-strategi pemecahannya yang tidak mengandalkan iming-iming politik elektoral belaka.

Mimpi para pemuda, dengan tantangan-tantangan hidupnya yang berat, saya percaya, tak tuntas dengan sekadar direpresentasikan.