Masa kampanye masih diwarnai saling serang atas frase yang dimainkan kedua kandidat presiden ataupun tim sukses mereka. Ada diksi "politik kebohongan", ada juga "politik sontoloyo". Klaim pemerintah bahwa angka kemiskinan menurun ditanggapi dengan ungkapan "hidup rakyat masih pas-pasan". Ada pula kandidat yang mencoba menyamakan diri dengan tokoh besar masa lalu. Kandidat seakan tidak percaya diri, harus nebeng popularitas atau karisma negarawan pendiri bangsa.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Dari kiri, Cawapres Nomor Urut 01, KH Ma'ruf Amin, Capres Nomor Urut 01, Joko Widodo, Capres Nomor Urut 02, Prabowo Subianto, Cawapres Nomor Urut 02, Sandiaga Uno sebelum dimulainya Deklarasi Kampanye Damai Pemilu Serentak 2019 di Lapangan Monumen NAsional, Jakarta, Minggu (23/9/2018). Dalam acara yang juga dihadiri perwakilan partai politik, dan sejumlah caleg tersebut mendeklarasikan kampanye anti politisasi sara, anti politik uang, dan anti hoax.

Kampanye "bercerita soal mereka" sepertinya meniru kampanye Donald Trump saat berkontestasi dengan Hillary Clinton di pemilu Amerika Serikat. Pokoknya menjadi berita, pokoknya tetap dalam top of minds. Hoaks dan fitnah yang mengancam integrasi bangsa telah menjadi alat kampanye yang sebenarnya membahayakan. Model kampanye itu hanyalah membangkitkan emosi, membangkitkan militansi para pendukung dan hanya kian mempertajam polarisasi di tengah masyarakat.

Bagaimana publik melihat kampanye model demikian? Jajak pendapat Kompas 15 Oktober 2018 merekam kerinduan masyarakat akan hadirnya kampanye bermutu. Mayoritas responden (di atas 80 persen) tidak mengenal dan tidak pernah membaca visi-misi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Bahkan, 80 persen responden juga tidak tahu apa program utama setiap kandidat dan apa yang akan dilakukannya.

Bersamaan dengan Peringatan 90 Tahun Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2018, kita mau mendorong kandidat dan tim sukses mempunyai narasi besar soal keindonesiaan. Narasi yang bisa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, bukan malah memainkan isu yang berpotensi menciptakan disintegrasi bangsa.

Masyarakat mengharapkan kandidat presiden menawarkan kebijakan atau kebijakan alternatif dari pihak oposisi yang akan diambil untuk mengatasi masalah bangsa yang demikian akut, sebut saja korupsi sebagai salah satu masalah yang harus diselesaikan. Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menawarkan visi-misi penegakan hukum tanpa tebang pilih dan menawarkan kenaikan gaji penegak hukum. Presiden Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin menawarkan perbaikan sistem. Keduanya juga ingin memperkuat KPK.

Pertanyaannya, apakah visi dan misi itu cukup untuk memberantas korupsi di negeri ini? Jelas tidak mencukupi karena tidak ada langkah terobosan yang berarti. Tidakkah ada pikiran misalnya menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang memastikan pencabutan hak politik bagi siapa pun penyelenggara negara yang korupsi, memastikan diberlakukannya perampasan aset pribadi serta memberlakukan kerja sosial bagi pelaku korupsi, dan memberlakukan keharusan transaksi melalui perbankan dalam jumlah tertentu.