Hari Minggu dua pekan lalu, saya kesal sekali dengan seorang sopir taksi. Saya kesal karena sebagai sopir taksi ia tak mengetahui bahwa hari Minggu pagi itu selalu ada yang namanya car free day. CFD itu sudah berlangsung sejak lama dan saya berpikir bahwa sebagai seorang sopir taksi ia seyogianya mengetahui hal itu dan segala tetek bengek mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaannya.
"Saya enggak pakai peta"
Akibat dari ketidaktahuannya, saya harus berputar jauh dan berhadapan dengan kemacetan di hari Minggu yang kadang lebih parah dari hari biasa. Selain saya tiba terlambat di tempat tujuan, ongkos yang harus saya bayar menjadi lebih dari yang biasanya saya bayar untuk tujuan yang sama.
Kemudian saya masih merasa bersalah karena seyogianya saya juga mengingatkan. Namun, saya kemudian menepis rasa bersalah itu. Karena, sebagai seorang pekerja, sejatinya setiap orang mengetahui apa yang harus ia lakukan dan bukan membuat saya sebagai penumpang menjadi merasa bersalah.
Dua hari sebelum itu, saya memesan taksi melalui aplikasi. Di dalam aplikasi ada kolom untuk menulis instruksi penjemputan. Saya menulis bahwa saya berdiri di depan pintu yang menghadap salah satu gedung. Tak lama setelah itu sopir taksi menghubungi saya untuk menanyakan keberadaan saya. Saya langsung berpikir, apa gunanya kolom instruksi itu kalau tidak untuk dibaca?
Di hari yang sama setelah makan siang di sebuah rumah makan Indonesia, saya memesan taksi kembali melalui aplikasi, dan berakhir dengan cerita seperti di atas. Saya katakan kepada pak sopir untuk mengikuti saja arah penjemputan sesuai yang tergambar di dalam peta.
Ini adalah jawaban yang saya dapatkan, "Saya enggak pakai peta, Pak." Bagaimana bisa ia tak menggunakan peta, sementara ia bisa mengambil pesanan saya? Setelah kejadian itu saya mengunggah peristiwa itu di sebuah media sosial. Beberapa orang kemudian merespons keluhan saya dengan jawaban. "Emanggitu, Mas. Kebiasaan."
Beberapa hari setelah kejadian itu seorang teman wanita menghubungi saya untuk meminta pendapatnya mengenai temannya yang berselingkuh. Saya tak akan menceritakan apa isi dari percakapan itu, tetapi setelah percakapan itu berakhir, saya bergumam.
"Orang itu kalau berselingkuh mungkin uda persis seperti sopir taksi. Gak baca peta, gak tahu medan, gak baca instruksi dan mau gampangnya aja."
Gumaman itu merambat ke mana-mana, termasuk kepada diri sendiri. Di saat seperti ini, nurani saya menyambar dengan gesit dan tajam.
Tanggung jawab
"Emang elo sendiri tahu, elo tu dilahirin untuk tujuan apa? Emang elo baca peta selama menjalani kehidupan ini? Bukannya hidup elo dulu begitu berantakannya? Emang peta apa yang elo pakai?"
"Elo merasa kehidupan ini gak adil. Kalau saja elo tahu tanggung jawab elo sebagai anak, sebagai pimpinan, sebagai manusia, dan elo tahu sejak awal ke mana tujuan hidup elo dan membaca peta yang benar, mungkin elo gak akan ngomong kayak gitu."
"Elo tu plek kayak sopir taksi. Ia tahu tujuan yang hendak dituju, tetapi ia tak tahu jalan tepat yang harus ditempuh. Ia tidak bertanggung jawab dengan profesinya. Kenapa hidup elo pernah amburadul, itu karena elo tahu tujuan hidup elo,tetapi jalan ke tempat tujuannya tidak tepat. Elo ngegampangin. Persis kayak sopir taksi itu."
Setelah saya dimarahi nurani bawel itu, saya ingin bertanya kepada bapak, ibu, saudara, saudari sekalian. Apakah Anda benar tahu tujuan hidup Anda, tujuan pernikahan Anda, tujuan pekerjaan Anda?
Kalau Anda tahu, apakah Anda telah mengambil jalan yang tepat dan menggunakan peta yang benar untuk mencapai tujuan itu dan tidak berputar-putar sehingga harga pengorbanan Anda menjadi lebih mahal?
Kalau Anda tahu tujuan pernikahan Anda, perselingkuhan tak perlu sampai terjadi. Kalau Anda tahu tujuan Anda bekerja, Anda tak perlu menjadi pimpinan yang memecah belah, dan tak perlu menjadi karyawan yang menjilat atau yang berbicara: "saya enggak tahu apa tugas saya sebagai satpam", sementara Anda menggunakan seragam yang mencerminkan tanggung jawab Anda.
Kalau Anda sudah tahu tujuan, apakah Anda juga mengetahui tanggung jawab Anda dalam mencapai tujuan itu sebagai pasangan, sebagai direktur utama, sebagai anak, sebagai dokter, sebagai pendeta, sebagai polisi, sebagai tukang sampah, sebagai karyawan, sebagai sekretaris, sebagai sopir?
Apakah Anda menggunakan peta dalam menjalankan tanggung jawab dan mencapai tujuan itu? Maka, dengan membaca peta yang benar, Anda tahu di mana ada kemacetan dalam sebuah komunikasi dengan pasangan, atasan, dan bawahan.
Apakah sejujurnya Anda tak pernah membawa peta, tak pernah mau membaca instruksi, sama seperti sopir taksi yang dengan ringan berkata, "Saya gak baca peta, Mas." Atau Anda membawanya, tetapi tak pernah Anda baca?
Dengan demikian, data dan instruksi yang tidak pernah Anda baca itu malah mengorbankan anak, pasangan, murid, nasabah, perusahaan, dan bukan malah membuat mereka merasa memiliki kehidupan yang lebih baik bersama Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar