ANTARA FOTO/ INDRIANTO EKO SUWARSO

Pengunjung di Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya No. 106, Jakarta Pusat, Minggu (28/10/2018). Memperingati Hari Sumpah Pemuda, pengunjung memadati Museum Sumpah Pemuda yang memiliki koleksi foto dan benda-benda bersejarah dalam pergerakan nasional kepemudaan dan menjadi tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

 

Sumpah Pemuda ke-90 diperingati Minggu kemarin. Namun, kita ingin terus menggaungkan semangat yang dibawanya untuk menjadi suluh bagi kejayaan bangsa.

Melalui artikelnya di harian ini, Sabtu (27/10/2018), pengurus Aliansi Kebangsaan, Yudi Latif, dengan eloquent (fasih) menarasikan kembali jejak Sumpah Pemuda.

Pada terbitan Minggu (28/10), harian ini juga mengangkat sosok dan tokoh yang pada masa mudanya menorehkan kontribusi besar yang historik, pertama untuk mendirikan bangsa Indonesia, mengawal perjalanannya, dan lalu—untuk generasi kontemporer—mengantar Indonesia pada kemajuan selanjutnya.

Kita terharu, berterima kasih, dan tunduk hormat kepada para tokoh pemuda baik di masa lalu maupun di era abad ke-21. Kita berutang untuk inspirasi, visi, energi, dan sumbangsih yang telah diberikan bagi bangsa dan negara. Satu hal yang harus terus kita hidup-hidupkan dalam sanubari dan kejiwaan kita adalah prinsip berkebangsaan dan kewargaan, juga seperti disinggung Yudi Latif, yakni konektivitas dan inklusivitas.

Generasi Sumpah Pemuda berhasil mencapai titik temu praktis dalam matriks moral nilai bersama yang menurut Yudi ada enam: peduli, adil, bebas, setia (pada institusi dan tradisi), menghormati otoritas, dan menghormati hal yang disucikan bersama.

Bagaimana dengan kondisi masa kini, khususnya untuk konektivitas dan inklusivitas? Diakui bahwa konektivitas fisik, baik melalui pembangunan infrastruktur perhubungan maupun pemanfaatan media sosial, maju pesat. Namun, konektivitas mental-kejiwaan justru mundur. Loyalitas terhadap institusi dan tradisi kebangsaan juga meluluh.

Dari situasi tersebut jelas bahwa dewasa ini yang harus digemakan kembali adalah penguatan rasa kebangsaan. Hal ini kita garis bawahi mengingat fenomena yang terjadi saat menyongsong pemilihan presiden bukan yang menguatkan persatuan kebangsaan, melainkan justru sebaliknya.

Masygul hati kita bahwa komponen pertama matriks moral, yakni kepedulian—antara lain terhadap bahaya yang mengancam negara dalam segala bentuknya—kurang dipedulikan. Padahal, jika kita simak dan renungkan, ancaman perang informasi, perang dagang, di tengah rapuhnya fundamental Indonesia saat ini, sungguh membutuhkan kohesivitas kita sebagai bangsa.

Yang kita butuhkan mendesak adalah kohesivitas seperti yang diperlihatkan para perintis berdirinya Republik, termasuk generasi Sumpah Pemuda.
Peringatan ke-90 Sumpah Pemuda sepantasnya menjadi basis bagi pemuda masa kini untuk menerawang masa 90 tahun ke depan.

Pemuda yang telah membuktikan energi dan pencerahan kiranya dapat melanjutkan secara estafet semangat kejuangan untuk meraih capaian yang tak kalah fenomenal dibandingkan dengan pemuda 90 tahun ke belakang.