Kontroversi atas hukuman mati—memberi efek gentar atau tidak memberi efek gentar—terjadi di sejumlah wilayah, terutama di negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati. Namun, Malaysia, seperti banyak negara lain yang menghapus hukuman mati, telah melampaui kontroversi tersebut. Bagi Pemerintah Malaysia sekarang, hukuman mati sudah tak pantas diterapkan sehingga mereka sepakat menghapusnya. Diberitakan oleh harian ini pada Jumat (12/10/2018), perubahan undang-undang terkait hukuman mati rencananya diajukan oleh pemerintah ke sidang parlemen Malaysia pada pekan depan.

Menurut Menteri Komunikasi Malaysia Gobind Singh Deo, Kamis silam, penghapusan hukuman mati merupakan bagian dari janji kampanye. Selain itu, penghapusan hukuman mati juga selaras dengan upaya negara-negara lain di dunia untuk meninggalkan praktik hukuman mati.

Menurut Amnesty International, ada 23 negara di dunia yang melaksanakan hukuman mati tahun lalu, sama dengan tahun 2016. Lembaga ini juga mencatat, setidaknya ada 993 eksekusi di 23 negara itu pada 2017, turun 4 persen dari tahun 2016 (1.032 eksekusi), serta berkurang 39 persen dari tahun 2015 (1.634 eksekusi, tertinggi sejak 1989). Sebagian besar eksekusi terjadi di China, Iran, Arab Saudi, Irak, dan Pakistan. Adapun Amnesty International Indonesia menyebut, lebih dari dua pertiga negara di dunia telah menghapus hukuman mati dalam undang-undang atau dalam praktik. Malaysia akan bergabung dengan 106 negara yang menghapus hukuman mati untuk semua kejahatan.

Sekalipun metode yang dipilih adalah suntik, pegiat hak asasi menyebut hukuman mati bersifat kejam dan menyiksa. Argumen ini dibantah oleh pendukung hukuman mati, dengan menyatakan bahwa korban kejahatan telah menderita, termasuk mungkin orang-orang tercinta yang berada di sekitarnya. Dengan kata lain, dukungan terhadap hukuman mati sesungguhnya berdiri di atas argumen yang sangat tua: mata ganti mata, gigi ganti gigi.

Padahal, seiring dengan kemajuan pengetahuan manusia, hukuman dipahami bukan dalam konteks "balas-membalas". Lebih dari itu, hukuman harus bersifat melakukan "koreksi" agar pelaku menyadari kekeliruan, mengubah diri, dan dapat bergabung lagi dengan masyarakat setelah masa "koreksi" selesai. Maka, pemenjaraan disebut lembaga pemasyarakatan atau di beberapa negara lain disebut sebagai departemen koreksi.