KOMPAS/ WAWAN H PRABOWO

Presiden Joko Widodo menerima kunjungan kehormatan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Zeid Raad Al Hussein (kedua kiri) di Istana Merdeka, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (6/2). Presiden Jokowi didampingi Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly (kedua kanan), Utusan Tetap RI untuk PBB di Geneva Hasan Kleib (ketiga kanan), dan Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Dicky Komar (keempat kanan).

Tentunya tak ada satu negara pun di dunia dengan kondisi hak asasi manusia yang sempurna. Setiap negara, besar atau kecil, maju atau berkembang, memiliki catatan tersendiri dalam isu HAM nasionalnya. Namun, hal yang membedakan adalah tingkat komitmen negara untuk mengatasi berbagai tantangan di bidang HAM yang ada. Sudut pandang inilah yang mendasari diplomasi HAM Indonesia bahwa upaya pemajuan dan perlindungan HAM merupakan suatu proses, bertahap, berkesinambungan, dan diabdikan sepenuhnya untuk kepentingan nasional.

Kiprah dan efektivitas diplomasi HAM Indonesia telah diakui komunitas internasional yang tecermin dari kenyataan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang terpilih menjadi anggota Dewan HAM (DHAM) PBB di Geneva, Swiss, yang dibentuk 2006. Indonesia bahkan telah empat kali terpilih menjadi anggota badan tertinggi HAM dunia tersebut, dan akan mencalonkan diri kembali untuk periode 2020-2022.

Komitmen dan tantangan HAM Indonesia

Salah satu faktor penting kemenangan demi kemenangan yang dituai Indonesia dalam pencalonan di Dewan HAM adalah pengakuan atas kuatnya komitmen Pemerintah RI dan besarnya kontribusi nyata dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang kondisi HAM-nya dikaji ulang secara sukarela melalui mekanisme universal periodic review pada Dewan HAM tahun 2008.

Kunjungan Komisaris Tinggi HAM Prince Zeid Ra'ad Al Hussein ke Indonesia pada Februari 2018 merupakan momen penting bagi Pemerintah RI untuk menunjukkan kuatnya komitmen HAM itu, sekaligus menjelaskan berbagai kebijakan Pemerintah RI yang sangat pro-HAM.

Dalam kunjungannya, Komisaris Tinggi HAM menegaskan, komitmen kuat suatu negara dalam pemajuan dan perlindungan HAM dapat diukur dari keberaniannya mengundang langsung Komisaris Tinggi HAM untuk melihat perkembangan HAM di lapangan. Pihaknya juga sangat mengapresiasi dapat berdiskusi secara langsung dengan Presiden RI dan beberapa menteri terkait mengenai kemajuan HAM Indonesia dan sejumlah tantangan yang masih dihadapi. Pandangannya tersebut ditegaskan kembali di hadapan negara-negara anggota PBB pada sidang Dewan HAM, Maret 2018.

Selain Komisaris Tinggi HAM, Pemerintah RI juga secara terbuka telah mengundang sejumlah special procedures mandate holders (SPMHs) selaku Pelapor Khusus HAM PBB ke Indonesia. Beberapa Pelapor Khusus PBB telah mengunjungi Indonesia, seperti pelapor khusus mengenai penyiksaan, pelapor khusus mengenai perumahan yang layak, pelapor khusus untuk hak atas kesehatan, dan pada April 2018 pelapor khusus untuk hak atas pangan. Mereka telah melihat langsung berbagai kemajuan HAM di Tanah Air yang terkait mandat mereka dan memberikan rekomendasi konstruktif bagi perbaikan HAM lebih lanjut.

Komitmen Pemerintah RI terhadap pemajuan dan perlindungan HAM juga diwujudkan dengan diterimanya 167 dari 225 rekomendasi perbaikan HAM (hampir 75 persen) yang diberikan seluruh negara PBB saat UPR Indonesia untuk siklus ketiga pada Mei 2017. Sebagian besar rekomendasi bahkan sejalan dengan yang telah dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional ke-IV 2015-2019.

Meskipun demikian, sebagaimana disampaikan Zeid Al Hussein, dalam kunjungannya ke Indonesia, luas wilayah Indonesia serta keanekaragaman etnis dan budaya, dengan ratusan suku dan bahasa asli, memang menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah RI untuk menjamin HAM penduduknya secara inklusif dan nondiskriminatif. Isu Papua, misalnya, masih menjadi tantangan meskipun pemerintah telah dan terus mengambil berbagai langkah untuk mengatasi tantangan HAM yang ada.

Pemerintah RI bahkan telah mengundang dua pelapor khusus PBB ke Papua, yaitu pelapor khusus untuk penyiksaan dan untuk hak atas kesehatan. Sejumlah isu HAM lain masih perlu penanganan lebih lanjut, seperti isu kebebasan beragama, LGBTI (lesbian, gay, bisexual, transgender, and intersex), dan pelanggaran HAM masa lalu.

Isu pelanggaran HAM masa lalu juga diakui Komisaris Tinggi HAM sebagai suatu proses yang akan memakan waktu dan cukup pelik terlebih jika kejadiannya berlangsung dalam tempo yang sudah cukup lama. Ditegaskan, hampir semua negara di dunia punya luka sejarah di bidang HAM, dan yang terpenting adalah komitmen untuk secara bertahap mengatasi, dan pihaknya melihat adanya komitmen kuat Pemerintah RI.

Peran Indonesia di Dewan HAM PBB

Di Dewan HAM PBB, Indonesia mengedepankan pendekatan konstruktif dan tak konfrontatif. Indonesia, misalnya, berada di garis terdepan dalam memperjuangkan hak sah rakyat Palestina dan hak kelompok minoritas Muslim Rohingya di Myanmar.

Saat ini, Indonesia tengah memainkan peran penting dalam proses efisiensi DHAM yang tak terpolitisasi. Indonesia bersama dengan negara-negara lain tengah mendiskusikan cara agar Dewan HAM dapat lebih efisien tanpa memengaruhi mandat utamanya.

Selain itu, sebagai consensus- builder, Indonesia selalu berupaya, baik sebagai negara anggota Dewan HAM, sebagai observer, maupun sebagai inisiator (core group) resolusi, agar setiap resolusi Dewan HAM dapat disetujui secara konsensus. Indonesia berpandangan bahwa resolusi yang disahkan secara konsensus cenderung akan lebih berimbang, melibatkan semua pihak untuk berdialog, dan dapat menumbuhkan rasa kepemilikan negara terkait isi resolusi sehingga akan lebih memungkinkan diimplementasikan.

Adapun sebagai bridge-builder, posisi Indonesia yang strategis di berbagai core group antara lain sebagai wakil dari kawasan Asia Pasific Group (APG), OKI, Non-aligned Movement (NAM), Like-Minded Group of States (LMG), dan ASEAN berperan penting dalam menjembatani kepentingan yang bervariasi antarnegara. Tidak hanya itu, Indonesia juga berperan aktif sebagai satu-satunya wakil Asia Pasifik yang tergabung dalam kelompok Convention Against Torture Initiative (CTI) bersama Denmark, Maroko, Chile, dan Ghana sejak 2014.

Berbagai kemajuan dalam kiprah positif diplomasi HAM Indonesia di dunia internasional ini tentunya karena didukung kuat oleh besarnya komitmen dan upaya pemerintah dalam rangka memajukan dan melindungi seluruh aspek dan kehidupan di bidang HAM bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali, dan mengatasi tantangan-tantangan HAM yang ada.