Sudah semaritim apakah Indonesia? Pertanyaan ini tepat diulang dalam setiap momentum reflektif kebangsaan, termasuk empat tahun Kabinet Indonesia Kerja.
Hasjim Djalal, diplomat senior yang juga pakar hukum laut internasional, mendefinisikan maritim berbeda dengan kelautan, berbeda pula dengan kepulauan. Maritim terkait langsung kemampuan sebuah negara dalam memanfaatkan laut, termasuk sumber daya alam dan ruangnya—sekalipun negara tersebut tidak memiliki kecukupan laut, seperti Singapura dan Belanda.
Sejalan dengan Djalal, Daniel Mohammad Rosyid—guru besar dari Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya—merinci salah satu ciri negara maritim adalah peran angkutan laut yang menjadi tulang punggung sistem logistik nasional. Rasio gini yang rendah menjadi salah satu indikator kuncinya.
Di negara kepulauan-tropis yang besar, seperti Indonesia, penyelenggaraan transportasi laut dan pemerataan ekonomi sewajarnya memiliki hubungan sebab-akibat (kausalitas). Tanpa konektivitas laut yang memadai mustahil warga di pulau-pulau kecil, di perbatasan, dan di timur Indonesia mendapatkan layanan: sama banyak dan sama rasa.
Laporan empat tahun pemerintahan Joko Widodo–Jusuf Kalla yang diluncurkan pertama kali melalui portal http://presidenri.go.id pada 20 Oktober lalu memperlihatkan adanya perbaikan infrastruktur konektivitas laut pada kurun empat tahun terakhir. Trayek kapal perintis terus bertambah, dari 84 trayek pada 2015 naik menjadi 113 trayek pada 2018. Tol laut yang dimaksudkan untuk memangkas biaya transportasi ke kawasan timur Indonesia juga bertambah. Jika sebelumnya hanya 3 trayek, sekarang menjadi 18 trayek.
Kapal khusus pengangkut ternak juga tersedia enam trayek tahun ini. Sarana dan prasarana pelabuhan komersial dan non- komersial di 19 lokasi juga terus dikembangkan guna mendukung peningkatan layanan transportasi laut nasional. Tentu, sederet pembangunan infrastruktur maritim tersebut belumlah cukup untuk mengatasi (berpuluh-puluh tahun) ketertinggalan Indonesia dalam memanfaatkan laut. Namun, kita patut bersyukur ada kemajuan di sana-sini.
Pertama, telah meningkatnya kapasitas pengangkutan barang melalui laut. Kapasitas kargo yang pada 2014 hanya 16,7 juta TEUs per tahun telah membesar menjadi 19,7 juta TEUs per tahun pada 2017. Berbagai program pemerintah tidak terbatas pada dana desa, program keluarga harapan, BBM satu harga, bank mikro nelayan, tol laut telah mempersempit jurang ketimpangan pendapatan di Kepulauan Indonesia. Badan Pusat Statistik melaporkan, per Maret 2018 angka rata-rata rasio gini nasional sudah berada pada 0,389 atau turun 0,025 dari posisi pada 2014.
Kerja selanjutnya
Presiden Joko Widodo telah menyiapkan fondasi kokoh untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Kerja besar selanjutnya menggunakan fondasi regulasi, infrastruktur, dan ketersediaan sumber daya laut untuk dimanfaatkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Masyarakat di pulau-pulau kecil, perbatasan, dan timur Indonesia harus semakin merasakan manfaat sosial-ekonomi dari bertambahnya infrastruktur konektivitas laut. Mobilisasi barang tak boleh berkutat hanya dari pulau besar ke kecil atau dari barat ke timur. Interaksi antarpulau harus saling menguntungkan dan memuliakan. Karena itu, kita perlu lebih memperkuat (lagi) strategi industrialisasi perikanan nasional ke depannya.
Secara lebih operasional, untuk mengimbangi derasnya arus barang dari barat, masyarakat di timur Indonesia dapat mengoptimalkan sumber daya laut yang kian melimpah. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan data terbaru yang menunjukkan potensi ikan nasional telah terkoreksi dari sebelumnya hanya sekitar 7 juta ton dan sekarang tercatat lebih dari 12,5 juta ton (Kepmen KP No 50/2017).
Kapal ikan Indonesia tak boleh lagi sekadar "jago kandang". Pergilah sampai ke zona ekonomi eksklusif Indonesia atau bahkan ke perairan laut internasional untuk memaksimalkan keanggotaan Indonesia di Otoritas Pengelolaan Perikanan Regional (RFMO). Paradigma lawas yang menempatkan kapal kecil selalu lemah dan kapal besar selalu jahat haruslah diubah. Peran nelayan kecil amat penting.
Karena itu, harus dilindungi akses nelayan kecil mendapatkan modal dan pasar. Termasuk dengan memudahkan kapal-kapal besar mendapatkan izin menangkap ikan lebih jauh sehingga tangkapan ikannya lebih banyak dan aktivitas kapal besar tidak mengganggu teritori nelayan kecil dan tradisional. Ibarat lari maraton sejauh 42,195 km—di empat tahun Kabinet Indonesia Kerja—proses menjadi negara maritim telah melewati seperempat perjalanan. Meski kerja ke depan tidak selalu mudah, tugas mulia ini harus dituntaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar