Walaupun hasil hitungan terakhir BPS angka kemiskinan telah menyentuh satu digit pada Maret 2018, jalannya penurunan dari waktu ke waktu masih lamban. Permasalahan paling menonjol adalah disparitas antarprovinsi dan antarkabupaten/kota masih lebar. Pertanyaannya, masih mungkinkah penurunan angka kemiskinan dipercepat dan disparitasnya dipersempit?

Mengurangi angka kemiskinan adalah indikator utama keberhasilan pembangunan di suatu negara. Menurunnya kemiskinan akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Hasil-hasil penelitian sejauh ini membuktikan bahwa semakin miskin masyarakat, semakin rendah pula kualitas mutu modal manusia dan status sosialnya.

Menurunkan angka kemiskinan memang tidak mudah. Komitmen, sikap, pengetahuan, dan kebijakan pimpinan daerah masih sangat variatif. Ada jurang besar antara jajaran kabupaten/kota/provinsi yang mengenal realitas sosial, ekonomi, dan kultural daerahnya dengan mereka yang terasing dari realitas. Ini mengakibatkan disparitas kemiskinan antarwilayah juga tinggi.

Disparitas kemiskinan

Secara nasional, angka kemiskinan telah turun. Pada September 2017, persentasenya masih di atas satu digit (10,12) dan jadi  satu digit (9,82) pada Maret 2018. Turun 0,30 poin persen. Di  tingkat provinsi, beberapa daerah menunjukkan penurunan angka kemiskinan yang cukup tinggi, melebihi rata-rata kecepatan penurunan nasional. Sebut saja, misalnya,  Provinsi Jawa Tengah yang selama enam bulan angka kemiskinan turun dari 12,23 persen (September 2017) menjadi 11,32 persen (Maret 2018) atau turun 0,91 poin persen.

Namun, di beberapa provinsi, pada periode yang sama, angka kemiskinan relatif stabil, kalaupun turun sangat tipis. Misalnya, Sumatera Utara, hanya turun 0,06 poin. NTT turun 0,03 poin. Papua 0,02 poin. Di beberapa provinsi lain bahkan lebih mengenaskan. Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan provinsi kaya sumber daya alam, seperti Aceh, justru mengalami kenaikan. Artinya, program pembangunan yang dijalankan di daerah-daerah tersebut selama periode referensi bukan menurunkan, melainkan stagnan, bahkan menaikkan angka kemiskinan.

Mengkaji disparitas kemiskinan di tingkat kabupaten/kota lebih membuat kita terperangah. Sebagai catatan, angka kemiskinan nasional dan provinsi dihitung setiap semester (Maret dan September).  Angka kemiskinan kabupaten/kota, agar representasi sampelnya lebih terjamin, dihitung per tahun.

Dalam perjalanannya, banyak kabupaten/kota sangat berhasil  menurunkan angka kemiskinan pada level sangat rendah.  Kota Sawahlunto di Sumatera Barat, Kota Sungai Penuh di Jambi, Kabupaten Bangka Barat di Bangka Belitung, Kota Denpasar dan Kabupaten Badung di Bali, serta Kota Tangerang Selatan di Banten adalah di antara kabupaten/kota yang paling rendah angka kemiskinannya,  hanya di kisaran 2 persen dari total penduduk.

Sebaliknya, beberapa kabupaten di provinsi yang selama ini memperoleh dana alokasi dari pusat yang cukup besar, juga dengan kekayaan alamnya yang luar biasa, justru mengalami kenaikan angka kemiskinan antara tahun 2015 dan 2017.

Kabupaten Pidie dan Kabupaten Gayo Lues di Provinsi Aceh sebagai contoh kasus. Pada tahun 2015, Kabupaten Pidie menanggung angka kemiskinan 21,18 persen. Dalam dua tahun pembangunan dijalankan, angka tersebut bukan berkurang, malah bertambah menjadi 21,43 persen, atau terjadi penambahan sekitar 4.100 orang yang semula belum miskin tetapi dua tahun kemudian menjadi miskin.  Sementara di Kabupaten Gayo Lues, angka kemiskinan pada tahun 2015 mencapai  21,95 persen, naik menjadi 21,97 persen pada tahun 2017.

Di Provinsi Papua, angka kemiskinan di empat kabupaten meningkat. Antara 2015 dan 2017, di Kabupaten Nabire dari 24,37 persen menjadi 25,38 persen.  Di Kabupaten Mamberamo Tengah, kemiskinan naik dari 35,54 persen menjadi 36,38 persen. Di Kabupaten Dogiyai dari 29,10 persen menjadi 30,36 persen dan di Kabupaten Intan Jaya dari 41,34 persen menjadi 42,23 persen.

Banyak daerah yang gagal menurunkan angka kemiskinan dan disparitas tingkat kemiskinan antarkabupaten sangat lebar. Mengapa? Kata kunci terjadinya disparitas tersebut terletak pada kepemimpinan di daerah yang masih cenderung terbelenggu dengan rutinitas dan  pola kepemimpinan transaksional, serta terasing dari beberapa masalah mendasar yang melilit para warga.

Pertama, pembangunan di tingkat kabupaten/kota sekadar menindaklanjuti kebijakan-kebijakan dari pusat, seperti melaksanakan program perlindungan sosial, padat karya, pemberian kredit kepada petani, infrastruktur, dan mengatasi pertumbuhan ekonomi melalui investasi.  Ini semua penting, tetapi belum tentu efektif menurunkan angka kemiskinan. Sebab, masing-masing daerah memiliki kekhasan karakteristiknya yang melahirkan respons dan efektivitas berbeda dalam menangkap peluang terkait program yang datang dari atas. Karakteristik khas ini idealnya sangat dikenali jajaran pemerintah kabupaten/ kota, bukan malah terasing dari  masalah di daerahnya sendiri.

Kedua, bupati/wali kota, yang kemiskinan di wilayahnya  tinggi, senantiasa terjebak pada pemikiran ekonomi bahwa kekayaan daerah dan pertumbuhan ekonomi secara otomatis akan mendatangkan kesejahteraan bagi warganya. Padahal, banyak contoh, kemiskinan justru terjadi di daerah yang pertumbuhan ekonominya relatif tinggi dan kaya sumber daya alam. Pimpinan daerah terlena. Mereka cenderung berkutat dengan rutinitas "proyek", investasi, rekanan, dan rapat. Kemiskinan pun terabaikan.

Ketiga, sebagian bupati/wali kota—bahkan gubernur—kurang mengenal siapa orang miskin  di daerah masing-masing. Keinginan untuk mengenal seluk-beluk data sangat minimalis. Akibatnya, konsep, karakteristik, dan determinan yang memengaruhi kemiskinan juga kurang dipahami. Padahal, dari data—terutama determinan kemiskinan yang dikombinasikan dengan pengetahuan lokal (local knowledge)—akan memberikan gambaran realitas yang jernih terkait apa yang semestinya dilakukan.

Keempat, para bupati kadang lupa bahwa kemiskinan di perdesaan umumnya selain oleh faktor-faktor ekonomi, juga karena hilangnya daya motivasi internal mereka (desiring) yang tercerabut akibat pengalaman hidup keluarga turun-temurun yang telah membangun mental model medioker dalam diri mereka.  Orang miskin mengalami disorientasi yang tidak memungkinkan dapat berkompetisi merebut peluang dari proses pembangunan ekonomi, infrastruktur, dan paket-paket pembangunan lainnya yang tengah dilakukan.

Kelima, bupati/wali kota cenderung kurang peka terkait dengan tipologi struktur sosial, organisasi sosial, dan akar budaya masyarakatnya sendiri.  Mereka yang miskin tersebut sesungguhnya tengah  kehilangan rekognisi dari masyarakat. Akibatnya, mereka kehilangan daya juang untuk memperbaiki kualitas kehidupan. Dalam konteks ini, tugas seorang pemimpin daerah  yang tidak saja dituntut fasih membaca fenomena sosiologis kaum miskin di daerahnya, tetapi juga melakukan berbagai daya agar  kaum yang terpinggirkan secara sosial dapat terintegrasi ke dalam tatanan sosial masyarakat in situ (setempat).

Akhirnya…

Indonesia dapat menurunkan angka kemiskinan lebih cepat dari yang dicapai saat ini. Syaratnya, para pemimpin daerah, bupati/wali kota dan gubernur, tidak sekadar memiliki komitmen, tetapi juga memiliki inisiatif lokal yang didasarkan atas permasalahan dan potensi spesifik  daerah. Inisiatif tersebut dilaksanakan secara konkret dan langsung menyentuh ke persoalan khas yang tengah dihadapi orang miskin.

Kemiskinan tidak dapat diatasi dengan pendekatan ekonomi, alokasi dana pembagian dari pusat yang besar, dana desa, bantuan material secara langsung, dan atau dengan pembangunan sumber daya manusia (pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan) semata. Tujuan akhir pembangunan tidak sekadar menjadikan suatu wilayah berkelimpahan uang, tetapi  bagaimana menjadikan mereka yang miskin itu lebih efektif secara sosial dan diakui komunitasnya.

Beragam aktivitas sosial  dan kegiatan keagamaan setempat seyogianya melibatkan kaum miskin secara bermartabat agar dapat meraih kembali keberhargaan hidup, perasaan mampu dan sama dengan orang lain (memunculkan sense of efficacy dan thymos). Pada akhirnya mereka akan dapat berpartisipasi dan menangkap peluang dengan lebih produktif.

Tanpa inisiatif berdimensi lokal, peran daerah akan sangat minimalis. Kemiskinan mungkin dapat menurun, tetapi minimalis dan kurang berkelanjutan. Disparitas kemiskinan antardaerah akan tetap lebar dan semakin rumit. Dapat dipahami jika pada saat pembangunan terus berlangsung, masih
banyak kabupaten/kota yang cenderung stagnan, bahkan angka kemiskinannya bertambah.