Dalam intensitas "ketegangan" politik yang seperti "membelah" masyarakat Indonesia menje- lang pemilihan presiden-wakil presiden dan legislatif dewasa ini, dari manakah kita menemukan "kaca" untuk becermin dalam upaya mendinginkan diri?
Salah satu "cermin" itu saya temukan pada pengalaman Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie (1998-1999) meletakkan dasar demokrasi di Indonesia. Pengalaman ini terungkap dalam wawancara Habibie yang termuat dalam Sergio Bitar and Abraham F Lowenthal, (eds), Democratic Transitions: Conversation with World Leaders (2015).
Buku ini mengandung banyak pelajaran karena menguraikan pengalaman dan wawancara tokoh-tokoh utama tentang transisi demokrasi beberapa negara.
Selain Indonesia, negara-negara itu adalah Brasil, Chile, Ghana, Meksiko, Filipina, Polandia, Afrika Selatan, dan Spanyol. Untuk Indonesia, tak ada lagi tokoh yang diakui dunia sebagai peletak demokrasi selain Habibie.
Walau ringkas, kepemimpinan Habibie di Indonesia ini sangat menentukan nasib demokrasi. Mengapa? Sebab, seperti dinyatakan sarjana politik Indonesia Bahtiar Effendy dan Mutiara Pertiwi di dalam buku ini, ada skenario lain jika Habibie, yang naik menjadi presiden pada Mei 1998 itu, gagal berfungsi.
"General Wiranto as defense minister and commander of the armed forces, held Soeharto's undisclosed instruction to rescue the nation 'by all means necessary' if there were a political emergency" (Jenderal Wiranto sebagai Menteri Pertahanan dan Panglima ABRI memegang perintah diam-diam Soeharto untuk menyelamatkan bangsa dengan "segala cara" jika terdapat darurat politik). Dalam arti kata lain, ada kegentingan eksistensial pada masa itu yang bukan saja menunjukkan rapuhnya posisi Habibie sebagai presiden, melainkan juga nasib demokrasi dan bangsa secara keseluruhan.
Berjuang untuk demokrasi tanpa dukungan kuat
Dalam babak awal wawancara itu, Habibie menyatakan bahwa pada dasarnya ia tak berminat menjadi presiden Indonesia. "Bahkan, saya tidak berminat menjadi menteri." Yang diminati hanyalah bringing technology to Indonesia to make airplanes (membawa teknologi ke Indonesia membangun pesawat terbang).
Untuk itu, Habibie membuat kesepakatan dengan Soeharto. Pada 1974, lanjutnya, "Saya setuju bahwa saya akan pulang kampung dari Jerman untuk membangun pesawat terbang Indonesia melalui perusahaan yang dimiliki pemerintah dan dikelola seperti perusahaan swasta. Itu berhasil saya lakukan dan semua berlangsung sesuai rencana."
"Tidak berminat menjadi presiden" dan konsentrasi penuh Habibie pada pembangunan teknologi merupakan kunci memahami "kesendiriannya" dalam memperjuangkan demokrasi. Dalam buku Esai Politik tentang Habibie (2013 [1999]), saya mengajukan frasa knowledge is power (pengetahuan adalah kekuasaan) untuk memahami tampilnya Habibie ke puncak politik Indonesia.
Di situ saya sebutkan bahwa politik Indonesia telah mengalami transformasi sedemikian rupa dari mass-based politics menuju knowledge-based politics. Di sini, dengan melihat perjalanan Habibie, dukungan massa tak lagi sepenuhnya diperlukan dalam percaturan politik karena secara perlahan-lahan ilmu pengetahuan telah mulai menggantikannya.
Maka, pertarungan politik di masa depan, dalam rumusan saya kala itu, bukanlah "pertentangan massa", melainkan pertarungan gagasan. Jadi, mirip atau lebih mencerminkan the politics of meaning-nya Clifford Geertz.
Akan tetapi, saya keliru. Kejatuhan kekuasaan Presiden Soeharto (1967-1998) telah membawa dua hal pokok. Pertama, pembalikan arah politik di mana kekuatan massa kembali menjadi andalan utama kemenangan politik. Dengan demikian, sebesar atau sedalam apa pun seseorang atau sekelompok orang berpengetahuan, tidak punya arti politik.
Kedua, kejatuhan Soeharto telah membuat segala sesuatu yang berkaitan dengannya ditinggalkan. Dan ini, walau telah menjadi presiden, terkena kepada Habibie. Dalam arti kata lain, karena kedekatannya dengan Soeharto, telah menjadi rahasia umum bahwa Habibie dianggap publik bagian integral rezim lama.
Ini diakui Habibie dengan mengatakan that is correct, ketika ditanya pewawancara buku Democratic Transitions bahwa kepresidenannya berhadapan dengan absennya dukungan kaum oposisi, tak adanya kepercayaan ABRI dan tak adanya dukungan massa. Di sini, Habibie membedakan dirinya dengan Soeharto.
Yang terakhir ini, ujarnya, controlled and built a political network for 32 years (mengendalikan dan membangun jaringan politik selama 32 tahun). Sementara ia berkata: "I never commanded the military as Soeharto did" (saya tak pernah memegang komando atas kaum militer seperti Soeharto).
Ringkasnya, tanpa dukungan penuh kaum militer, terdesak kaum oposisi dan, karena pernah terlalu dekat dengan Soeharto, kepresidenan Habibie dianggap lemah di mata publik. Maka, ini cocok dengan kisahnya yang "tidak berminat menjadi presiden", kecuali membangun teknologi bagi bangsanya.
Bukankah tanpa minat berpolitik dan bergumul dengan teknologi seseorang tidak akan pernah mendapatkan dukungan massa? Inilah yang menjelaskan mengapa Habibie berdiri sendiri pasca-Soeharto.
Demokrasi sebagai pilihan terbaik
"Tiba-tiba," lanjut Habibie dalam wawancara itu, "begitu banyak informasi dan nasihat-nasihat bertentangan tumpah ruah." Kalimat ini adalah kesimpulan cerita Habibie sebelumnya, yaitu ketika menjadi presiden ia baru menyadari betapa berkuasanya seseorang dalam jabatan ini. Ia menerima laporan-laporan intelijen mulai dari Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, Polri, dan dari badan intelijen sendiri.
Hal itu termasuk di dalamnya laporan Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Partai Golkar. Tentang itu, Habibie berkomentar: "I read these very detailed reports, which did not match each other" (Saya baca semua laporan yang mendetail ini, yang tidak cocok satu sama lain). Ketidakcocokan satu sama lain laporan-laporan inilah yang melahirkan kalimat Habibie itu.
Maka, Habibie menyatakan: "Jika saya ikuti salah satu informasi dan nasihat itu, akan terjadi revolusi. Dan, tambahnya, "The people who would have been most adversely affected by such a revolution where the innocent people who just want a normal life, and I could not allow that to happen" (Rakyatlah yang paling dirugikan oleh revolusi itu di mana mereka yang tak tahu apa-apa hanya mengimpikan kehidupan normal, dan saya tak dapat membiarkan itu terjadi).
Guna mendapatkan informasi yang "benar" inilah, Habibie menerapkan sistem demokrasi. "Saya memutuskan, mencabut undang-undang yang menghalangi kebebasan pers." Mengapa? Habibie menjawab: "Dengan membiarkan kebebasan mengungkapkan diri, saya dapat menerima informasi yang benar melalui sikap rakyat terhadap pemerintahan saya.
" Alasan fundamentalnya adalah agar Habibie bisa "to give power back to the owner of the state power: people of Indonesia" (mengembalikan kekuasaan kepada pemilik negara: rakyat Indonesia). Jadi, lanjutnya, "Not to a family, to a man, not to me, to my children, but to the people" (Bukan kepada sebuah keluarga, kepada seseorang, kepada saya, kepada anak-anak saya, melainkan kepada rakyat).
Selain mencabut UU yang menghalangi kebebasan berpendapat, Habibie membebaskan tahanan politik. Dalam pikiran Habibie, mereka tak layak dipenjarakan simply because opposed to the president in power (hanya karena mereka menentang presiden yang berkuasa).
Setelah itu, Habibie bukan saja menyelenggarakan pemilu pada 1999, melainkan juga mengakui keabsahannya walau Golkar, partainya sendiri, kalah. Agar pemilu itu absah di mata dunia, Habibie mengundang berbagai organisasi non-pemerintah (NGO) dari Eropa dan Amerika Serikat untuk menyaksikan kontestasi politik ini, bahkan termasuk mantan Presiden AS, Jimmy Carter.
Warisan Habibie dan dialektika alternatif
Tekad tidak menjadikan kekuasaan milik seseorang, dirinya sendiri, dan anak-anaknya inilah yang menjadi legacy (warisan) Habibie kepada bangsa Indonesia. Ini sangat berharga. Andai kata skenario alternatif "menyelamatkan" Indonesia dengan menggunakan "berbagai cara" yang terjadi, mungkin kita tak hidup dalam alam demokrasi seperti dinikmati dewasa ini. Akan tetapi, seperti yang kita rasakan sejak 2014, cara kita menikmati demokrasi tak sekuat tekad Habibie dalam "menciptakan"-nya.
Kita tidak memperlakukan demokrasi dengan idealisme konstruktif dan membentenginya dengan narasi gagasan besar dan cerdas, tetapi dengan mereduksinya menjadi "bualan" tak cerdas. Maka, sensitivitas kita bukanlah pada ide-ide besar tentang Indonesia, melainkan pada hal remeh-temeh.
Adakah cara keluar dari reduksi demokrasi menjadi hal remeh-temeh ini? Dalam tulisannya, "Why Dialectic, Why Now?", Bertell Ollman mengungkapkan pepatah anonim Inggris abad ke-15: The law locks up the man or woman/who steals a goose from the common/But leaves the greater the greater villian loose/Who steals the common from the goose (Undang-undang menghukum orang/Yang mencuri angsa di lapangan penggembalaan/Tetapi, membiarkan penjahat besar/ Yang mencuri lapangan penggembalaan dari angsa).
Seperti termuat dalam buku suntingannya bersama dengan Tony Smith, Dialectic for the New Century (2008), Ollman menafsirkan pepatah itu sebagai gejala sistem tirani yang menimpa rakyat kecil di dalam sistem feodalisme Eropa. Akan tetapi, yang ditekankan Ollman adalah kekacauan pemahaman tentang realitas kapitalisme.
"Kapitalisme," tulisnya, "adalah struktur raksasa. Sistem yang berpengaruh besar atas segala sesuatu di dalamnya, tetapi sistem itu juga sangat besar dan hadir di mana-mana (omnipresent) sehingga sedikit kalangan memahaminya."
Sebagai akibatnya, "The people try to make sense of what is going on by viewing one part of society at a time, isolating and separating it from the rest" (orang berusaha memahami apa yang terjadi dengan melihat sebagian dari masyarakat pada saat tertentu, memisahkannya dari yang lain).
"Inilah yang terjadi," lanjutnya, "ketika bagian-bagian pengalaman hidup kita sehari- hari dianggap terpisah dari waktu dan konteks sejarah." Maka, untuk memahaminya dan mengatasi kekisruhan itu, to reclaim the common from those who stole it from us, ujar Ollman, kita harus bekerja secara cerdas.
Dalam konteks inilah, Ollman menawarkan dialectical alternative (dialektika alternatif). Enam langkah prosedur berpikir yang disodorkannya (ontologi, epistimologi, penelaahan [inquiry], konstruksi intelektual, eksposisi, dan praksis) dalam melaksanakan dialektika alternatif itu terlalu panjang diuraikan di sini.
Yang penting dilihat untuk konteks demokrasi di Indonesia adalah konstruksi intelektual dan praksis. Jika yang pertama adalah penghimpunan pengetahuan tentang ide pokok dan apa yang terjadi, yang kedua adalah tindakan-tindakan sadar yang diambil berdasarkan pengetahuan yang terhimpun itu.
Dengan prosedur berpikir ini, kita bisa mengumpamakan bahwa demokrasi warisan Habibie itu sebagai the common, "kekayaan" bersama pada tingkat bangsa. Pasca-Habibie, "kekayaan bersama" tersebut diambil alih kekuatan-kekuatan dan aktor-aktor yang kurang berbagi idealisme dan intelektualisme dengan pencetusnya.
Maka, yang terjadi adalah "deintelektualisasi" perlakuan terhadap demokrasi. Inilah yang menjelaskan mengapa praktik demokrasi mengalami reduksi besar-besaran dan tak memberikan inspirasi perpolitikan cerdas bagi anak negeri. Bukankah terjadi reproduksi kecurigaan besar-besaran terhadap lontaran pendapat berbau intelektualisme terhadap perikehidupan politik dewasa ini?
Guna menghindari kekecewaan masif terhadap sistem demokrasi, elite nasional di dalam partai-partai politik dan pemerintahan harus mencerdaskan diri melalui pendalaman pengetahuan tentang sejarah, sosiologi, dan ekonomi-politik serta hal-hal lain yang berkaitan dengan hal itu.
Hanya dengan cara ini, usul Ollman tentang dialektika alternatif bisa dilaksanakan demi menyelamatkan demokrasi itu sendiri. Konstruksi intelektual dan praksis yang berlangsung di kalangan elite akan mereproduksi ucapan-ucapan dan gagasan-gagasan cerdas yang kemudian menjadi landasan rakyat berpartisipasi di dalamnya.
Tanpa penerapan dialektika alternatif, demokrasi warisan Habibie ini tak memberikan gairah intelektual dan tak menyodorkan nilai didaktis kepada rakyat. Dan bagi generasi muda milenial, praktik demokrasi yang tereduksi dari intelektualisme berpotensi dianggap membuang waktu tanpa produktivitas. Jika begini, bukankah nasib bangsa ikut terancam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar