KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH

Pekerja mengelupas kulit ari mete di Koperasi Mete Puna Liput, Desa Ile Padung, Kecamatan Lewolema, Flores Timur, NTT, Rabu (2/8/2017). Sejak 2003, Koperasi Mete Puna Liput berupaya mengembangkan potensi kacang mete Flores yang sangat besar. Lewat mete itu pula, koperasi tersebut membuka lapangan usaha dan bisa menekan atau menahan warga di sekitarnya untuk menjadi buruh migran ilegal di luar negeri.

Nusa Tenggara Timur, dalam setiap bulan sejak Januari 2018, menerima sedikitnya sembilan peti mati pekerja migran asal provinsi tersebut. Kasus kematian terbaru menimpa Erny Ledoh (22), pekerja migran asal Desa Seubela, Kecamatan Rote Tengah, Kabupaten Rote Ndao. Dia dilaporkan meninggal di Ladang Buni, Sarawak, Malaysia, Sabtu (3/11/2018).

Serangan kanker disebut-sebut sebagai penyebab kematiannya. Namun, yang menjadi pertanyaan, jenazahnya tidak bisa dipulangkan untuk diotopsi oleh aparat Indonesia sehingga almarhumah terpaksa dikuburkan di Sarawak, Minggu, 4 November. Banyak pihak di Sarawak mengintimidasi suami Erny agar tidak ngotot memulangkan jenazah istrinya itu.

Kabar duka itu disampaikan Darius Boling dari Paguyuban Flobamora NTT di Jakarta, Minggu malam. Kabar yang sama sebelumnya disampaikan Ketua Satgas Anti Human Trafficking Golkar NTT Gabriel Goa yang juga Direktur Pelayanan Advokasi untuk Keadilan Perdamaian (Padma) Indonesia di Jakarta.

Darius Boling mengetahui kematian Erny Ledoh dari sejumlah pekerja migran NTT di Sarawak. Darius menyebutkan, suami almarhumah, Derven Muskanfola, yang juga pekerja migran di Sarawak, awalnya berniat memulangkan jenazah istrinya ke Rote Ndao. Namun, hal itu terpaksa dibatalkan setelah ia mendapat intimidasi dari agen gelap mereka melalui mandor di tempat Erny bekerja.

NTT setiap bulan menerima rata-rata sembilan peti mati warganya yang meninggal di luar negeri selama Januari-Oktober 2018.

Kematian Erny menambah panjang perkabungan NTT seiring kematian yang terjadi secara beruntun dialami warganya yang mengadu nasib di luar negeri.  Umumnya mereka adalah pekerja migran ilegal, yang pergi meninggalkan daerahnya yang miskin tanpa dilengkapi dokumen resmi. NTT selalu akrab dengan banyak cap miring, termasuk maraknya kasus perdagangan manusia (human trafficking).

Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI Kupang  merilis, selama Januari-Mei 2018 ada 32 pekerja migran NTT meninggal di tempat kerjanya di luar negeri. Sembilan belas orang meninggal karena sakit, dua tenggelam, dan masing masing satu tewas karena dibunuh, kecelakaan kerja, akibat penyiksaan, dan digigit ular. Tujuh lainnya meninggal karena kasus yang tidak pernah jelas.

Dana Serikat Buruh Migran Indonesia NTT menyebutkan, sejak awal 2018 hingga September, NTT menerima 83 peti jenazah pekerja migran NTT  yang bekerja di luar negeri. Dalam pertemuan konsultasi internasional kelompok antiperdagangan manusia di Labuan Bajo, Manggarai Barat, akhir Oktober 2018, terungkap, jumlah pekerja migran NTT yang meninggal di luar negeri terus bertambah. Pastor Paul Rahmat SVD dalam pertemuan itu menyampaikan, selama Januari –Oktober ada 90 TKI asal NTT yang dipulangkan dalam keadaan tak bernyawa. Jumlah itu menunjukkan, NTT setiap bulannya dalam kurun waktu tersebut menerima rata-rata sembilan peti mati warganya yang meninggal di luar negeri.

DHANANG DAVID UNTUK KOMPAS

Konferensi pers terkait kematian buruh migran asal NTT di Kantor LBH, Jakarta, Senin (26/3/2018)

Gambaran lain disampaikan Satuan Tugas Pengamanan Bandara El Tari Kupang. Satgas ini mengakui, setiap hari setidaknya 5-10 calon TKI yang memilih berangkat melalui Bandara El Tari. Selama September-Oktober 2018, satgas menggagalkan keberangkatan 661 calon TKI yang tak dilengkapi dokumen resmi.

Rangkaian gambaran tersebut hanya sederet contoh maraknya kasus perdagangan manusia di NTT. Gabriel Goa bahkan menegaskan, NTT kini layaknya sebagai provinsi darurat perdagangan manusia (human trafficking). "Situasi itu menuntut solusi jitu untuk mengatasinya,"  tegasnya.

NTT sejak awal September 2018 dipimpin Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat dan Wakil Gubernur Josep Nae Soi, Pasangan ini menggantikan pasangan Frans Lebu Raya dan Benny Litelnoni. Karena begitu seriusnya kasus perdagangan manusia, menjadi alasan bagi Viktor menancapkan kebijakan moratorium pengiriman TKI. Kebijakan itu dilontarkan hanya sesaat setelah ia bersama Josep Nae Soi dilantik oleh Presiden Joko Widodo di Jakarta, Rabu, 5 September 2018.

Kebijakan moratorium itu memancing polemik seru di NTT karena terkesan menabrak regulasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor  18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Klimaksnya ditandai sikap tegas Viktor memecat Bruno Kupok dari jabatannya sebagai Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTT, Senin (22/10/2018). Bruno diketahui tetap mengizinkan keberangkatan TKI ke luar negeri, yang berarti tidak mengamankan kebijakan moratorium.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat dan wakilnya Josef Nae Soi

Berkah atau apes?

Sejauh ini pengiriman TKI dilakukan oleh perusahaan jasa pengerah TKI. Berbagai kajian menyimpulkan tidak ada yang salah dari upaya itu sejauh prosesnya berjalan sesuai aturan dan hukum. Seperti ditegaskan anggota DPD RI asal NTT, Paul Liyanto, upaya itu justru harus didukung karena telah mengambil sebagian peran negara memberikan pekerjaan layak kepada warga negara.  Kata dia, upaya itu sejatinya adalah berkah kalau dilakukan sesuai prosedur. Sebaliknya, menjadi apes akibat ulah segelintir calo.

Gabriel Goa dan berbagai pihak lainnya tidak berlebihan ketika mengatakan bahwa kemiskinan adalah pemicu utama maraknya kasus TKI ilegal di NTT. Rilis Biro Pusat Statistik NTT menyebutkan, provinsi ini termiskin ketiga di Indonesia, setelah Papua dan Papua Barat. Dari sekitar 5,3 jiwa penduduknya, tercatat 22 persen di antaranya adalah penduduk miskin (Pos Kupang, 4 Januari 2018).

KOMPAS/PASCAL S BIN SAJU

Provinsi NTT masih tergolong miskin di Indonesia. Potret kemiskinan itu antara lain ditunjukkan selain oleh rendahnya tingkat pendidikan, juga oleh kondisi rumah tinggal yang jauh dari syarat minimal.

Kemiskinan menjadi lahan subur bagi calo perdagangan manusia. Mereka selalu gencar dan royal membujuk warga bekerja di luar negeri. Operasi para calo relatif tidak sulit. Mereka memiliki dana cukup memodali calon TKI berbagai dokumen yang diperlukan, transport apalagi dengan pesawat terbang, serta iming iming gaji tinggi di luar negeri. Padahal, rata rata warga hanya berpendidikan sekolah dasar (SD) bahkan tidak tamat. Mereka juga tidak memiliki ketrampilan khusus sehingga sangat rentan menjadi korban penipuan oleh para calo atau majikan di luar negeri.

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA

Bocah-bocah usia sekolah tidak menikmati pendidikan dan tinggal bersama orangtua di rumah gubuk. Kemiskinan terus melilit kehidupan sebagian besar warga pedesaan di NTT, meski pemerintah mengklaim telah berhasil menurunkan angka kemiskinan di daerah itu.

Menghadapi situasi seperti ini, kebijakan moratorium Viktor layak diapresiasi. Apalagi moratorium yang ia maksudkan semata mata untuk membenahi kembali  sistem pengiriman TKI. Harapannya, pekerja migran NTT yang nantinya dikirim ke luar negeri dipastikan sesuai dengan ketentuan dan benar benar memiliki kompetensi.

Harapan itu adalah mimpi besar dan tentu saja menantang. Fokus perhatiannya adalah menyiapkan sumber daya manusia NTT menjadi pekerja migran yang benar memiliki kompetensi. Namun langkah konkrit yang ditunggu – mengutip Kepala Dinas Nakertrans Sumba Barat, Dedy Saba Ora – adalah ketersediaan balai latihan kerja setidaknya di seluruh kabupaten/kota di NTT. Kehadiran balai itu sekaligus diharapkan berperan meredam pengiriman TKI secara ilegal.