KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Murid SD anggota Pramuka tingkat Siaga mengerjakan soal-soal tentang pengetahuan umum saat mengikuti lomba Cepat Tepat tingkat kwartir ranting Sidorejo di SD Negeri 3 Salatiga, Kota Salatiga, Jawa Tengah, Sabtu (27/10/2018). Kegiatan kepramukaan menjadi andalan bagi sekolah dalam meningkatkan pengetahuan, kemandirian, serta semangat kepedulian sosial anak didik mereka.

Karya pendidikan layaknya menanam benih padi. Apa jadinya jika pada ladang pendidikan yang telah diolah dan ditaburi benih padi itu juga ada yang nakal dengan menaburinya benih ilalang?

Ada kisah bijak! Pemilik ladang dan para pekerjanya menabur benih padi di ladang yang telah diolah pada pagi hari. Malam harinya, dalam kegelapan, segerombolan orang berpakaian gelap menabur benih ilalang di ladang itu juga tanpa sepengetahuan pemilik ladang.

Setelah beberapa minggu tampaklah begitu banyak ilalang tumbuh bersama tanaman padi. Para pekerja ladang melapor kepada tuannya dan minta pertimbangan: apa yang sebaiknya dibuat terhadap ilalang itu.

Sang tuan berkata, "Benar, pada malam hari ada segerombolan orang dalam kegelapan menaburi ladang kita dengan benih ilalang. Biarlah ilalang itu tumbuh bersama padi kita.

Kalau kita cabuti sekarang ilalang-ilalang itu, jangan-jangan tanaman padi kita pun ikut tercabut lalu mati. Tetaplah fokus pada tanaman padi. Kita tunggu saja sampai bulir padi kita masak. Pada saat itulah kita sabit padi bersama ilalang itu. Lalu, kita pisahkan antara padi dan ilalang. Itulah saatnya ilalang dihancurkan."

Rasanya kondisi dunia pendidikan kita seperti pada kisah itu juga. Bertahun-tahun bangsa ini berjerih payah mengupayakan terselenggaranya pendidikan yang baik, tetapi selalu ada saja yang bermain-main dengan dunia pendidikan kita. Permainan mereka kotor dan berbahaya. Akhir-akhir ini permainan itu terasa masif.

Permainan kotor yang masif dan berbahaya itulah wujud ilalang pada ladang pendidikan kita. Masygulnya, pemainnya adalah para pejabat negeri ini. Permainan itu telah dimulai sejak mereka masih merayu masyarakat untuk memilihnya dalam pemilu ataupun pilkada.

Hari ini telinga nurani kita masih terasa pekak oleh gelegar kebohongan di awal perhelatan kampanye capres-cawapres. Bersama dengan itu, berita bohong terus menggenangi jagat informasi dan pengetahuan kita. Makin terasa pilu karena kebohongan demi kebohongan itu terus-menerus dibela dengan massa dan drama atraktif para pelakon politis serta para pakar.

Bukan mustahil yang terjadi saat ini sesungguhnya hanya tontonan berbalas kebohongan. Juga termasuk rajukan dan klaim pembelaan terhadap wong cilik. Sepertinya kita harus bersiap bahwa presentasi adu program yang meyakinkan, termasuk program pendidikan dari para calon, hanya ritual untuk mendulang suara masyarakat.

Kecurigaan ini tak berlebihan jika kita sadar bahwa hingga hari ini nyaris tak ada hari tanpa berita penangkapan para pejabat koruptif oleh KPK. Bahkan, ada pejabat dan sosok terhormat negeri ini yang diduga mengorupsi dana bagi proyek pendidikan.

Ilalang pendidikan lain ditabur ketika para calon wakil rakyat dan pejabat mengumbar janji ngawur saat kampanye. Beberapa tahun lalu, saat kampanye pilkada, seorang calon menjanjikan akan menambah jumlah pelajaran dan kegiatan keagamaan dalam dunia pendidikan.

Bukan mustahil jika selanjutnya barter kepentingan primordial akhirnya mewarnai dunia politik dan pemerintahan kita.

Inilah salah satu potensi pola penetrasi radikalisme dalam dunia pendidikan kita secara sistematis. Pendidikan kita telah dikorupsi saat masih dalam rancangan kebijakan.

Fokus pada benih pendidikan

Penulis sering memimpikan pendidikan yang baik di Nusantara ini seperti pernah penulis lihat dan dengar dari para sahabat yang lama tinggal di negara maju Eropa. Gemes rasanya melihat para pelajar di negara maju itu begitu bergairah dan ceria saat pergi dan pulang sekolah.

Faktanya di negara yang mampu menyelenggarakan pendidikan berkualitas dan menyenangkan itu nyaris nihil korupsi dan dusta. Prinsip keadilan dan transparansi dalam penyelenggaraan pendidikan juga telah menjadi prinsip hidup bermasyarakat yang natural.

Sementara di negeri kita, sejak sebelum menjadi pejabat pun sudah menebar benih dusta, koruptif, dan tidak berkeadilan.

Kembali pada kisah inspiratif di atas, bagaimanapun, kita harus tetap fokus pada benih pendidikan. Masifnya laku koruptif menggoda mewujudkan ambisi egois secara instan dan pada banyak kasus bahkan mengancam penyelenggaraan pendidikan. Misalnya dengan ancaman perumitan urusan administratif dan kemudahan mendapat bantuan dari negara.

Wujud sikap tetap fokus pada benih pendidikan adalah konsisten berjerih payah untuk tetap menyelenggarakan bentuk pendampingan peserta didik, yang targetnya: merawat karakter pluralisme, sikap inklusif, ketajaman hati nurani, dan kebermartabatan sebagai manusia.

Inilah laku kenabian pendidikan di bumi Nusantara hari-hari ini. Pasti tidak mudah karena laku koruptif dan tindak tidak berkeadilan itu ternyata juga sudah banyak terjadi di unit sekolah-sekolah kita.

Bagaimanapun setiap pendidik perlu tetap fokus pada merawat benih pendidikan. Yakinlah, padi tak pernah menjadi ilalang.