Begitu ramainya permainan (game of) bahkan perang (war of) kata-kata di belakangan tahun, baik dalam isu-isu yang menjadi trending topic maupun gambar-gambar viral, terlebih yang bersangkutan dengan kontestasi dua pasang calon presiden, sebenarnya tetap meninggalkan satu lubang besar dalam rasionalitas hingga mental (imajinasi) dalam diri kita, pribadi, juga sebagai sebuah bangsa.

Lubang besar itu tercipta ketika kita gagal melihat dan memahami secara utuh gambaran atau himpunan besar dari himpunan kecil atau soal-soal lokal yang memenuhi ruang akal, mental, hingga batin kita. Padahal, sesungguhnya itu bukanlah sesuatu yang asing, atau jauh dari hidup kita sehari-hari. Ia ada, nyata.

Basis logika dari itu semua pun sederhana: tak ada satu peristiwa atau fenomena apa pun di atas muka bumi ini, sekecil atau seterpencil apa pun adanya, dapat dilepaskan dari konteks besarnya dengan peristiwa atau fenomena di bagian lain dunia ini.

Dalam kenyataan mutakhir di mana kemajuan teknologi transportasi, komunikasi dan informasi kian mudah diakses siapa pun, kondisi global di semua dimensinya membuat kita terikat-lekat dengan pihak mana pun di atas muka bumi. Globalitas memainkan peran sebagai denominator yang signifikan pada apa pun yang terjadi di tingkat lokal.

Dari realitas denominator global itulah kesadaran dan imajinasi kita dapat siuman, apa pun yang kita ributkan sebagai—yang kita rasa—fundamental bagi kehidupan bangsa ini menjadi kosong bila kekuatan gigantik dunia global menyerbu kita sebagai bencana-tsunamik.

Menjadi ancaman yang bahkan tidak hanya membuat negara, tapi juga bangsa lenyap ditelan zaman. Ancaman dahsyat yang pernah Presiden Jokowi memetaforkannya sebagai "winter", istilah yang dipinjamnya dari serial saga Game of Thrones (GoT).

Lima fenomena global

Namun sayang, pemahaman atau makna dari metafora di atas hanya berkisar pada persoalan ekonomi. Lalu apa sebenarnya makna "winter is coming" dalam realitas kita masa kini, yang bukan hanya memiliki dimensi ekonomi-pragmatis belaka itu? Siapa evils sesungguhnya?

Berdasarkan ungkapan, kisah, atau peran dari metafora "Takhta Besi" dalam film serial epik GoT di atas, sekurangnya kita bisa mengidentifikasi lima realitas dunia mutakhir yang saat ini menjadi ancaman (terbesar) umat manusia, yang sebagian tak ada presedennya di sepanjang sejarah.

Walau mungkin tidak seimajinatif gambaran evil winter dalam "The Throne", ancaman ini memberi imperasi mutlak kepada seluruh umat manusia untuk bekerja sama menghadapinya, dengan pertama mengubah diri: cara berpikir, sikap, hingga perilaku hidup sehari-harinya.

Beberapa dari fenomena dahsyat-global ini mungkin sudah cukup umum diketahui. Namun, seperti mengajari anak kecil, kita wajib mengulanginya terus lantaran jangankan rakyat biasa, elite juga para pemimpinnya ternyata banyak tak peduli, tak mengambil tindakan cepat dan tegas sebagaimana dibutuhkan.

Ketika, misalnya, dalam realitas fenomenal pertama, bumi bergerak pelan dan pasti menciptakan neraka pertamanya. Akan tetapi, para elite dan para pemimpinnya sibuk mencereweti hal-hal yang remeh-temeh, atau menggunakan seluruh kecerdasan hanya untuk melihat celah kesalahan pihak lain secara picik dan licik, atau malah ada yang menciptakan keculasan luar biasa untuk merampok uang rakyat/negara demi fasilitas mewah sebagai pejabat publik.

Seperti dilaporkan Panel Perubahan Iklim PBB (IPCC), suhu bumi akan mencapai titik maksimum di mana seluruh isinya mengalami kesulitan puncaknya hanya untuk dapat bertahan hidup.

Tambahan angka 0,1 dari 1,5 derajat celsius puncak suhu bumi yang akan tercapai pada 2030 bukan hanya menciptakan kekeringan luar biasa dan kelaparan masif, banjir dan kebakaran menggila, juga meningkatkan permukaan air laut yang membuat beberapa negara tenggelam, puluhan hingga ratusan juta manusia tak memiliki tanah untuk dipijak, ditinggali, apalagi jadi sebuah bangsa/negara.

Bisa terbayangkan dampak sosial, ekonomi, politik, keamanan, hingga kebudayaannya. Satu hal yang tentu tak ada dalam benak pemimpin "sibuk" kita di atas yang memang miskin bahkan kadang tuna-imajinasi.

Dalam realitas fenomenal-global kedua, kita dihadapkan pada kenyataan tanpa preseden, ketika kekayaan umat manusia (dalam pelbagai bentuknya) lewat skema-skema global dan internasional seperti pasir yang menggeser perlahan terisap ke dalam pusaran pasir-hidup, yang tidak banyak jumlahnya! Berdasar teori-teori ekonomi dasar hingga praktiknya yang paling kasar, sumber daya hingga penghasilan masyarakat (PDB) dunia ternyata hanya menumpuk di kalangan yang jumlahnya tidak lebih dari 1 persen saja.

Tidak mengherankan jika banyak negara, termasuk mayoritas negara maju, memiliki koefisien gini yang tidak jauh dari titik kritisnya: 4,0. Ini bukan lagi kenyataan tradisional di mana semua bangsa memiliki raja-raja dan tuan-tanah super-kaya yang tak terhitung jumlahnya di seluruh dunia.

Tetapi, penumpukan kekayaan di segelintir orang, yang sebagaimana para raja di masa lalu, tentu memiliki hasrat dan ambisi menciptakan kuasa untuk menundukkan seluruh negeri dan penduduk dunia ini. Anda ingin melawan mereka? Maaf, saya kira itu hanya bisa terjadi dalam fiksi.

Untuk itu berterima kasihlah mereka, para Thanos itu, pada perkembangan revolusioner teknologi (terutama) informasi dan komputasi yang mengiringinya, sebagai realitas fenomenal kita ketiga.

Dengan kekuatan dunia virtual dan artifisial inilah para Thanos sebenarnya menciptakan gurita kekuatan dan kekuasaan tanpa bergeser dari kursi di mana ia menikmati steak placenta Rusa yang membuat tubuhnya senantiasa mengalami rejuvenasi di gedung megahnya di Swiss.

Revolusi yang juga tiada presedennya ini tentu saja bukan hanya mempermudah komunikasi antar-manusia dan antar-bangsa hingga ke sudut terkecilnya.

Namun, dalam praktiknya, teknologi hingga maha-data (big data) yang—ternyata, memang—dimiliki "lubang pusaran pasir" itu bekerja lebih jauh, seperti menentukan bukan saja sarapan tiap pagi kita, juga jenis mobil, tontonan, ilmu akademik, bahkan pasangan hidup yang kita pilih.

Teknologi robot, kecerdasan buatan hingga algoritma yang jadi software atau "jiwa"-nya bukan saja segera menggantikan peran manusia, juga mengubah manusia dari seluruh identitas tradisional-primordialnya.

Disrupsi dalam kita

Dimensi keempat dari fenomena global kita adalah kenyataan yang sesungguhnya terjadi berulang kali dalam sejarah, ketika apa yang dibayangkan dan diharapkan ternyata tidak berjalan secara linier, acak, tapi bisa juga negatif dan destruktif. Inilah saya kira inti makna dari kata disrupsi dalam pelbagai bidang atau dimensi pemanfaatannya.

Secara positif, dalam teori juga terminologinya, kata itu adalah sebuah perbuatan untuk menciptakan suasana, alternatif, pikiran atau jalan "baru" dari apa yang (perusahaan, teknologi, organisasi) lakukan sebelumnya.

Namun, itu hanya sebagian. Disrupsi bisa terjadi sebagai konsekuensi atau bagian inheren dari sebuah tradisi, proses, budaya, teknologi itu sendiri. Hancurnya beberapa peradaban besar dunia, sebagaimana ditulis A Toynbee dalam kitab-babonnya, A Study of History, sesungguhnya eksplanasi kuat akan disrupsi yang terjadi dalam sejarah manusia.

Apa pun akan rusak, hancur, bahkan punah bila ia terkena dan tak mampu mengatasi disrupsi yang ia ciptakan sendiri, sengaja atau tidak. Karena tidak ada ilmu yang disiapkan untuk menghadapinya.

Saat ini kita sesungguhnya tengah menghadapi momen disruptif itu di pelbagai bidang, juga dimensinya. Apa yang terpapar di atas sesungguhnya adalah beberapa indikasi untuk itu.

Yang belum dan akan memberi dampak tak terbayangkan, mungkin, adalah disrupsi teknologi. Disrupsi yang terjadi ketika semua hitungan matematis dan seterusnya tak bisa memprediksi bahkan mencegah kerusakan luar biasa yang diakibatkan oleh disrupsi tersebut.

Jauh melampaui ironi hingga tragedi manusia yang dihasilkan oleh teknologi itu sendiri. Saya tidak memberi ilustrasi tentang bagaimana dan efek dari disrupsi ini. Untuk apa ilustrasi bagi mereka yang miskin imajinasinya.

Apa yang paling utama dari uraian ini sebenarnya adalah realitas fenomenal kelima. Realitas yang dibangun juga (sesungguhnya) di atas disrupsi, khususnya di bidang sosial, politik, dan ekonomi internasional.

Situasi ini terjadi ketika dunia harus menghadapi kenyataan pahit akan kian langkanya sumber daya, bertumbuh pesatnya jumlah manusia yang harus dihidupi, kian kompleksnya persoalan dari personal hingga global, perubahan iklim, dan sebagainya.

Persaingan, sebagai sumbu dasar dari kerja ekonomi, juga politik dan posisi sosial pun kian meningkat suhu juga cara dan metodenya. Dengan tujuan hanya satu: kalahkan dia. Apa pun caranya!

Dalam situasi inilah muncul seorang tokoh, white-man, konservatif bahkan cenderung ultra-kanan, pengusaha kaya, super high-profile, termasuk banyak dituduh sebagai peleceh-perempuan, bernama: Donald J Trump, kini Presiden Amerika Serikat (AS). Banyak dari kita tentu sudah paham tentang cara kerja, slogan-slogan imajinatifnya, kontroversi, kekasaran retoris, hingga nepotismenya.

Apa yang paling meminta concern atau perhatian serius kita, ketika Trump menyebut berbagai format kerja sama atau kesepakatan multilateral sebagai "ideologi" dan "rezim" yang kemudian ia menolak ada atau terlibat di dalamnya. Ia lebih senang dengan kerja sama atau kesepakatan bilateral.

Saya kira jelas apa yang diinginkan Trump. Ia tidak mau porsi penghasilan (PDB) dunia yang selama ini ia (AS) dominasi diambil pihak lain: musuh-rekayasa-milenialnya: China! Dalam persaingan (baca: perang dominasi) untuk itu, skema-skema internasional, seperti dalam PBB, WTO, hingga Arbitrase atau Mahkamah Internasional, hanya akan memberinya hambatan karena harus menenggang kepentingan banyak pihak lainnya.

Dalam realitas yang sama, bahkan ambisi yang serupa, China tumbuh perkasa secara ekonomis dan memberinya kekuatan untuk menciptakan kuasa di sisi dunia lain. Apa yang dilakukan Rusia, China, India, Turki, hingga Brasil atau Vietnam saya kira bergerak di arah yang sama.

Termasuk Jepang, terutama apabila amendemen untuk memperkuat pertahanannya dapat di-gol-kan oleh Shinzo Abe. Makin banyak negara berjuang keras memperkuat kekuatan domestiknya hanya untuk memperkuat posisi tawar dalam skema bilateral yang dikembangkan oleh Trump dan AS.

Apa yang kurang diperhitungkan, keputusan taktis Trump menolak rezim dan ideologi global, akan menggiring dunia memasuki satu zaman baru di mana kita tidak peduli tetangga—apa pun juga siapa pun—agar tujuan kita menambah harta tercapai.

Dengannya kita akan masuk semacam sebuah rimba (baru), di mana aturan main bersama tidak berlaku lagi, dan yang terjadi adalah "aku lawan kau", satu lawan satu, colosseum of gladiators, survival of the fittest.

Dapat segera dibayangkan, masa depan seperti apa yang tercipta dalam rimba-baru tersebut. Dipastikan banyak negeri atau negeri yang akan segera takluk dan terkooptasi secara harfiah. Kolonisasi, bentuk awal kolonialisme purba, mendapat bentuknya yang baru.

Maka, sangatlah visioner dan imajinatif, saat Presiden Jokowi melukiskan situasi- situasi di atas dalam bahasa yang tidak banal, vulgar, apalagi kasar, sebagaimana banyak dilakukan oleh sebagian pemimpin besar dunia saat ini, Trump di antaranya tentu saja.

Bahasa dan retorika literer yang digunakan oleh Jokowi menjadi tamparan moral-kultural bagi kian memupusnya hati nurani, empati, dan keluhuran (tugas) dari seorang pemimpin.

Menunjukkan ia salah satu negarawan terbaik, dan bukan sekadar eksekutif pemimpin usaha menengah bernama: Indonesia.  Persoalannya, apakah mereka yang di sekelilingnya, yang memuji maupun memaki, mafhum pesan moral di balik itu semua?