Di tengah-tengah kondisi ketidakpastian ekonomi global saat ini, khususnya akibat perang dagang AS-China dan memasuki era Revolusi Teknologi 4.0 yang secara gradual telah mengubah perilaku ekonomi masyarakat, upaya pemerintah memacu pertumbuhan ekonomi domestik lebih dari 5 persen akan menghadapi tantangan yang lebih kompleks dan tidak mudah.

Diperlukan strategi atau terobosan baru untuk menghadapi era baru ini. Salah satu strategi pembangunan yang dapat menjadi andalan adalah sektor pariwisata. Hasil studi penulis (Ridhwan dkk, 2017) telah mengompilasi sejumlah studi di beberapa negara dan menyimpulkan bahwa pariwisata dapat menjadi sumber pertumbuhan baru yang relatif lebih resilien terhadap guncangan (shocks), termasuk di era ketidakpastian ekonomi global saat ini.

Relevansi pariwisata juga disebabkan oleh tren belanja kaum milenial saat ini yang menempatkan pengeluaran untuk melakukan perjalanan wisata (traveling) sebagai salah satu porsi belanja utama dan ini dipermudah dengan semakin majunya teknologi digital. Meskipun kita saat ini memasuki era revolusi industri baru, karena karakteristik pariwisata yang sangat lokalistik (faktor lokal spesifik: keindahan alam, budaya yang unik, dan keramahan penduduk), sektor ini tidak dapat direplikasi oleh faktor teknologi (otomasi/robotisasi).

Selain itu, sektor ini juga dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang inklusif (menyerap tenaga kerja dan mengurangi kemiskinan) karena akan mendorong tumbuhnya usaha/industri berbasis lokal, seperti industri kerajinan, kuliner, sewa kendaraan, dan hostel. Terlebih lagi, pentingnya pengembangan pariwisata karena sektor ini yang relatif "siap jual" sehingga dapat memberikan pemasukan devisa relatif cepat (quick yielding), terutama dalam kondisi defisit transaksi berjalan saat ini yang menjadi salah satu faktor pemberi tekanan pada nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Namun, meski potensi pariwisata sangat besar, ruang untuk perbaikan kinerja dan peningkatan daya saingnya juga masih luas. Berdasarkan data dari Travel and Tourism Competitiveness Index (2017) oleh World Economic Forum (WEF), Indonesia mengalami peningkatan daya saing yang cukup mengesankan ke peringkat ke-42, dari sebelumnya peringkat ke-50. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan negara yang sedang bertumbuh (emerging economies) lainnya, seperti Malaysia (peringkat ke-26), Thailand (34), India (40), dan China (15), kita masih relatif tertinggal.

Sejalan dengan itu, data World Travel and Tourism Council (WTTC) menunjukkan bahwa total kontribusi pariwisata Indonesia baru mencapai 5,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2017, sementara Thailand 21,2 persen dan Malaysia 13,4 persen. Sementara pemasokan devisa yang tercatat untuk Indonesia mencapai 14,4 miliar dollar AS, masih tertinggal dibandingkan dengan Thailand 59,6 miliar dollar AS dan Malaysia 18,5 miliar dollar AS.

Tiga kelemahan

Memperhatikan hasil Travel and Tourism Competitiveness Index oleh WEF tersebut, terdapat tiga faktor utama yang menjadi catatan bagi pariwisata Tanah Air, khususnya untuk indeks daya saing terendah, yaitu ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi, infrastruktur jasa pariwisata, serta masalah kesehatan dan higiene.

Menambahkan hasil asesmen oleh WEF tersebut, hasil studi penulis dkk (2017) juga mencatat beberapa faktor yang juga menjadi permasalahan penting terkait daya saing pariwisata domestik, yang umumnya berbasis di daerah-daerah (local-based factors). Pertama, faktor kelembagaan, khususnya di daerah. Kedua, faktor keamanan (rawan tindak kejahatan dan ketidakjujuran dalam bertransaksi/scamming). Ketiga, masih rendahnya kesadaran (awareness) atau rasa ikut memiliki (ownership) masyarakat terhadap pariwisata. Ketiga faktor ini jika disimplikasi sebetulnya mengakar pada permasalahan kelembagaan di daerah yang masih perlu diperbaiki.

Sejatinya, di rezim pemerintahan saat ini melalui kementerian terkait sudah sangat serius (berkomitmen tinggi) dalam memajukan industri pariwisata selama beberapa tahun terakhir ini sebagaimana dituangkan dalam Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (2010-2025). Strategi pengembangan pariwisata yang didesain mencakup perwilayahan (kawasan strategis), pembangunan daerah tujuan wisata/DTW (menciptakan "10 Bali Baru", mulai dari Toba di Sumatera Utara hingga Morotai di Maluku Utara), aksesibilitas (sarana, prasarana, dan transportasi), serta pemberdayaan masyarakat (sadar wisata). Lalu, strategi promosi (branding, advertising, dan selling), termasuk penyelenggaraan event-event internasional; meeting, incentives, conference, exhibitions (MICE); serta wisata halal.

Namun, strategi dan langkah-langkah kebijakan yang telah disusun oleh pemerintah pusat secara intensif dan ekstensif tersebut, kunci suksesnya sangat dipengaruhi atau tergantung pada kondisi/karakteristik dan respons setiap daerah (provinsi, kota, dan kabupaten).

Komitmen daerah

Untuk itu, keterlibatan daerah secara serius dan komitmen untuk menjadikan pariwisata sebagai sektor ekonomi andalan akan sangat menentukan untuk menjadikan Indonesia lebih kompetitif sebagai destinasi utama turis kelas dunia. Berikut ini dapat disarikan beberapa rekomendasi dalam rangka formulasi strategi quick-wins yang terutama menekankan peranan daerah sebagai ujung tombak memajukan pariwisata nasional.

Pertama terkait dengan faktor kelembagaan, baik formal maupun informal di daerah. Faktor kelembagaan formal ini terutama berkaitan dengan instansi daerah yang menangani kepariwisataan, baik langsung maupun tidak langsung. Dari informasi lapangan, baru sebagian kecil daerah yang telah menyampaikan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah hingga tahun 2018 ini.

Beberapa masalah utama yang mencuat adalah terkait dengan koordinasi antardaerah kabupaten/kota dalam pengelolaan daerah wisata yang berbatasan, isu masalah hutan lindung, belum dibahas di legislatif, dan isu masalah lingkungan.  Selain perlunya peningkatan kapasitas dan kapabilitas instansi/dinas yang menangani, faktor kepemimpinan (leadership) juga akan sangat menentukan dalam menjadikan pariwisata sebagai tulang punggung (backbone) perekonomian daerah.

Dalam hal ini, Banyuwangi menjadi contoh yang dapat diteladani bagi pemimpin daerah lain karena telah berhasil mentransformasi persepsi daerah dari daerah dengan mitos klenik menjadi daerah wisata yang memesona.  Sementara faktor kelembagaan informal lebih terkait dengan sosial kemasyarakatan, terutama terkait dengan budaya, norma, dan tradisi. Menanamkan budaya sadar wisata kepada masyarakat tentu akan sangat lama/sulit jika hanya sekadar sosialisasi atau diskusi sehingga sangat memerlukan role model atau kepemimpinan yang kredibel dan fokus untuk pengembangan pariwisata daerah.

Masalah keamanan dapat diperkuat dengan melibatkan seluruh elemen warga/komunitas yang ada di daerah wisata tersebut, selain keberadaan aparat hukum (polisi wisata). Faktor yang sangat krusial juga terkait dengan masalah kebersihan (sanitasi), seperti kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya dan menjaga kebersihan di toilet publik, selain dengan cara persuasif, juga dapat diterapkan dengan pemberian sanksi sosial misalnya.

Strategi kedua terkait dengan faktor pembiayaan dan investasi. Selama ini terkesan bahwa daerah sangat tergantung pada pembiayaan dan investasi dari pusat dan luar negeri.  Padahal, upaya/langkah untuk mendorong pariwisata juga dapat memanfaatkan dana yang tersedia di daerah, baik melalui APBD maupun APBN (dana desa). Dalam hal APBD, alokasi anggaran betul-betul digunakan untuk promosi pariwisata yang targeted/fokus, efisien, dan strategik.

Pemanfaatan media sosial yang ada (Instagram, Facebook, Twitter) dapat lebih diberdayakan untuk promosi pariwisata, tanpa perlu mubazir untuk melakukan kunjungan ke luar negeri. Sementara kreativitas pemanfaatan dana desa untuk pariwisata seperti yang dilakukan Desa Pujon di Malang, Jawa Timur), sukses mengembangkan wisata agro. Kreativitas dan inovasi sederhana seperti ini seharusnya juga dapat diikuti daerah lain, terutama yang punya potensi wisata, tanpa harus banyak menunggu/menggantungkan dari pemerintah pusat.

Strategi ketiga adalah peningkatan interkonektivitas pariwisata antardaerah, misalnya turis asing (wisman) yang masuk ke Bali juga ditawarkan atau dipromosikan untuk melanjutkan perjalanannya ke daerah lain di Nusantara. Selain dapat menambah durasi tinggal wisman, paket wisata terintegrasi seperti ini juga akan membawa dampak positif bagi daerah lain. Hal yang sama juga dapat diikuti Manado, Sulawesi Utara, yang punya penerbangan langsung dari China, yaitu dapat bekerja sama dengan daerah lain di kawasan timur Indonesia (KTI) agar turis tersebut juga dapat melihat keindahan Raja Ampat di Papua, cantiknya alam bawah laut Wakatobi di Sulawesi Utara, dan lain-lain. Dalam hal ini, Manado dapat dipertimbangkan sebagai new hub wisata di KTI, selain Bali.

Sinergi semua pihak

Selanjutnya, peran daerah yang sangat vital dalam pariwisata ini adalah terkait dengan kehumasan (public relations) karena daerahlah yang tahu persis dan harus bisa merespons dengan cepat apa yang terjadi di daerahnya. Hal ini terutama mengingat bisnis tourism berkaitan erat dengan image (persepsi).  Terlebih lagi di era digital saat ini, informasi yang tidak lengkap atau menyesatkan (hoaks) dapat mudah tersebar ke mana-mana hingga ke luar negeri ditambah lagi dalam kondisi persaingan pasar yang semakin kompetitif antarnegara.

Sebagai contoh, sejumlah turis asing membatalkan kunjungan ke Manado akibat beredarnya informasi (hoaks) tentang dahsyatnya letusan Gunung Soputan. Padahal, sebetulnya, letusan gunung relatif kecil dan tidak berbahaya. Belajar dari kasus seperti di Manado ini, penguatan humas pariwisata, khususnya keberadaan tim siber, tentu akan sangat bermanfaat dalam mempromosikan sekaligus memproteksi dari ancaman informasi yang dapat merusak citra pariwisata daerah.

Akhir kata, kunci sukses pariwisata adalah sinergitas yang kuat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Reformasi struktural di sektor pariwisata perlu secara intensif dan konsisten dilaksanakan. Sebaliknya, jika tidak all-out meningkatkan daya saing pariwisata kita ini, lagi-lagi kita hanya akan menjadi target pasar oleh produk asing.