Permohonan tersebut menguji ketentuan Pasal 60A PKPU No 26/2018 mengenai larangan terhadap bakal calon anggota DPD yang berasal dari pengurus parpol, baik pada level daerah maupun pusat.
Masih hangat di ingatan kita, sebelumnya MA juga mengeluarkan putusan yang kontroversial ketika mengabulkan permohonan uji materi PKPU No 20/2018 terkait larangan bagi bekas narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif.
Suatu putusan yang dirasa di luar nalar dan logika hukum kita, tetapi biarkanlah putusan itu menjadi pertanggungjawaban masing-masing hakim di hadapan Tuhan.
Meminjam istilah Saldi Isra (2009), yang menyebut Mahkamah Agung sebagai "Mahkamah Ajaib", istilah yang disematkan kepada MA tersebut merupakan luapan rasa kekesalan dan kekecewaan terhadap cara berhukum MA yang selalu menimbulkan polemik.
Dalam mengadili dan memutus suatu perkara, MA terkadang menyimpang, bahkan keluar dari koridor logika dan kaidah hukum. Hal ini ternyata tidak bergeser jauh sampai saat ini, yang mana MA dalam memberikan suatu putusan justru menjadi "makin ajaib".
Putusan MA yang mengabulkan permohonan uji materi tersebut secara tidak langsung semakin memperburuk wajah demokrasi parlemen Indonesia di tengah krisis kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan dan parpol karena banyaknya anggota parlemen yang terjerat korupsi.
Bukannya MA memperkuat putusan MK terdahulu, tetapi malah mengingkarinya. Alih-alih memberikan putusan hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan dan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat, justru makin jauh dari harapan.
Putusan "ajaib" MA tersebut bukanlah sesuatu hal baru. Hal ini karena beberapa kali MA dalam memutus suatu uji materi peraturan perundang-undangan di bawah UU seakan-akan menjadi lembaga banding (melakukan koreksi) terhadap putusan- putusan MK.
Misalnya, putusan MK terdahulu sudah menyatakan bahwa calon anggota DPD tidak berasal dari unsur pengurus partai politik, tetapi MA justru mengeluarkan putusan sebaliknya.
Apabila cara berhukum seperti ini terus kita pertahankan, hal itu malah akan merusak tatanan hukum yang kita bangun. Oleh karena itu, gagasan penyatuatapan pengujian peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting agar, ke depan, tidak lagi terjadi inkonsistensi putusan antara MA dan MK.
Selain itu, putusan MA tersebut juga memberikan dampak negatif terhadap tumbuhnya demokrasi parlemen kita karena terlalu memberikan peran yang lebih besar kepada partai politik dengan dibolehkannya pengurus parpol menjadi calon anggota DPD.
Demokrasi parlemen
Kehadiran lembaga parlemen dalam suatu sistem ketatanegaraan tak dapat dilepaskan dari semangat demokrasi. Sebab, lembaga parlemen merupakan salah satu syarat mutlak dari demokrasi karena menyangkut keterwakilan rakyat di parlemen.
Salah satu tugas parlemen dalam menjalankan prinsip kedaulatan rakyat adalah turut serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, lembaga parlemen merupakan sesuatu yang sangat fundamental dalam suatu negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis.
Dalam konsep negara kesatuan, keterwakilan daerah di tingkat nasional merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Di mana keterwakilan daerah di tingkat pusat diperankan lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Salah satu agenda amandemen konstitusi Indonesia adalah gagasan pembentukan DPD sebagai salah satu gagasan restrukturisasi sistem parlemen Indonesia menjadi dua kamar, yaitu Kongres (DPR) dan Senat (DPD).
Namun, bangunan gagasan tersebut masih menyisakan berbagai persoalan, mulai dari segi kewenangan dan kedudukan DPD secara kelembagaan hingga masalah prasyarat untuk menjadi bakal calon anggota.
DPD sebagai lembaga perwakilan daerah memiliki beberapa kewenangan, yaitu (1) dapat mengajukan rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah kepada DPR; (2) hubungan pusat dan daerah; (3) pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; (4) pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta (5) yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Jadi, pada dasarnya kewenangan yang dimiliki DPD adalah hal-hal menyangkut kepentingan pemerintahan daerah.
Pasca-amandemen konstitusi, salah satu persoalan yang belum tertata rapi adalah mengenai prasyarat bagi calon anggota DPD dalam pemilu.
Sebelumnya, KPU telah mengatur hal itu dalam Peraturan KPU No 26/2018, yang mensyaratkan calon anggota DPD bukanlah seorang pengurus atau anggota partai politik.
Berbicara dalam konteks pemilu, perlu diketahui bahwa siapa saja yang menjadi peserta pemilu di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945, bahwa "Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, presiden dan wakil presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah".
Dari ketentuan tersebut, kita dapat melihat bahwa peserta pemilu Indonesia pada hakikatnya diikuti dua subyek badan hukum, yaitu peserta pemilu dari unsur partai politik dan calon perseorangan.
DPD sebagai salah satu subyek hukum peserta pemilu diatur dalam Pasal 22C Ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan "Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum". Artinya, peserta pemilu dalam sistem pemilihan kita diikuti dua subyek hukum: DPD dan partai politik.
DPD sebagai peserta pemilu memiliki prasyarat yang mengharuskan calon anggota DPD adalah calon perseorangan. Hal ini diatur dalam Pasal 22E Ayat (4) UUD 1945 bahwa "Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan".
Maka, secara expressive verbis, ketentuan tersebut sudah sangat tegas mengatur bahwa syarat untuk menjadi calon anggota DPD haruslah perseorangan (nonparpol). Artinya, subyek hukum peserta pemilu DPD adalah perseorangan, bukan subyek hukum badan atau lembaga.
Syarat nonpartai bagi calon anggota DPD dimaksudkan agar para anggota senator dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara independen dalam mengawal kepentingan daerahnya. Namun, praktik demokrasi pemilihan calon anggota DPD yang kita praktikkan selama ini telah menjadikan DPD tidak lagi independen karena mayoritas calon anggota DPD berlatar belakang pengurus partai politik.
Selain itu, pemilu anggota DPD juga dapat dikatakan tidak lagi berjalan secara adil antara calon anggota DPD (murni) perseorangan dan calon anggota DPD yang berasal dari pengurus parpol.
Hal ini karena dari segi basis kekuatan politik, tentunya calon anggota DPD dari pengurus parpol lebih memiliki peluang besar menang daripada calon perseorangan. Apalagi jika calon anggota DPD adalah pimpinan partai politik, maka dapat dipastikan ia akan terpilih menjadi senator.
Maka, publik sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sebaiknya menolak dengan tegas calon anggota DPD yang berbau partai politik. Mari kita kembalikan DPD ke muruahnya sebagai perwakilan daerah, bukan perwakilan parpol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar