Konon dalam sebuah komunitas pertapa yang mengisolasi diri dalam hutan, pemimpin komunitas itu, yang dianggap paling suci, pada suatu pagi memanggil salah satu murid kesayangannya. Ketika dipanggil, tetap berdiam diri saja.

Kedua kali dipanggil tetap berdiam diri sampai dipanggil ketiga kalinya dalam nada lebih keras, si murid tetap membisu. Sang pemimpin meminta muridnya yang lain menyeret dia ke hadapannya. Murid yang salah itu dijatuhi hukuman kerja keras membersihkan seluruh asrama seorang diri.

Beberapa hari kemudian, si murid bandel itu dipanggil dan ditanyai alasan menolak panggilannya sampai tiga kali. Si murid menjawab bahwa ketika dia dipanggil, ia sedang berdoa dan bertahan menyelesaikan doanya. Sang ketua, orang suci itu, tiba-tiba mengakui kesalahannya.

Si murid dipaksa menginjak-injak dirinya sekuat tenaga sebagai penebusan atas kesalahannya. Itulah pengakuan dosa atau pengakuan kesalahan seorang pertapa yang suci hatinya.

Kebalikannya pada orang-orang jahat, meski seluruh dunia melihat perbuatan jahatnya, ia tetap bersikeras tidak mengakui telah berbuat jahat. Ia selalu pintar mengelak perbuatan jahatnya, bahkan mengubah perbuatan jahatnya sebagai perbuatan baik.

Seorang ayah menelantarkan  dan sering menyiksa anak-anaknya. Anak-anaknya itu bertahan dan kelak mereka berhasil jadi orang sukses, kata si ayah: coba kalau dulu bapak tidak menyiksa dan menelantarkan kalian, kalian tak akan menjadi orang berpangkat seperti sekarang! Kalian pantas berterima kasih atas perlakuan bapakmu dulu.

Manusia itu pada dasarnya  diciptakan baik. Kalau manusia itu pada dasarnya jahat, sia-sia anjuran agar manusia senantiasa menyempurnakan diri. Setiap kejahatan selalu bertentangan dengan penciptaan.

Kejahatan senantiasa mencemari, merusak, dan mematikan penciptaan, yakni kehidupan ini. Dosa cerita pertapa suci di atas adalah kesombongan kepemimpinannya.

Kesombongan apa pun bersifat mematikan, yaitu menyakiti orang lain. Jarang orang sombong yang mau mengakui kejahatannya.

Mengaku salah atas dosa kebohongan yang sering kali kita jumpai. Ada dua jenis kebohongan, yakni mengatakan sesuatu yang tidak ada sebagai ada atau sebaliknya: menyatakan sesuatu yang ada sebagai tidak ada. Keduanya berdasarkan niat jahat.

Anehnya, kebohongan juga dapat untuk niat baik, artinya untuk memperkuat, menumbuhkan, dan mengembangkan kehidupan. Itulah kebohongan putih yang biasa kita lakukan untuk anak balita kita. Dengan demikian, bobot kebohongan paling ringan adalah bohong putih tadi.

Bobot kebohongan lebih berat ketika pengakuan salah dilakukan setelah banyak orang mengetahui kejahatannya. Itulah yang terjadi dalam sidang-sidang pengadilan. Kebohongan paling berat jika si pembohong sama sekali tidak mau mengakui kesalahannya, bahkan menyamakan kebohongannya dengan kebenaran.

Tidak ada manusia sempurna, bahkan orang yang dianggap suci dan mulia selalu merasa bersalah tiap hari, seperti kisah pertapa kita di atas. Kita harus meragukan mereka yang menilai dirinya sendiri sempurna sembari menyalahkan yang lain.

Tidak perlu menghubungkan kejahatan dengan setan, misalnya, karena manusia itu sendiri penuh kemungkinan-kemungkinan jahat. Meski manusia itu tak pernah sempurna, ia masih punya harga kalau berusaha menyempurnakan diri semampunya.

Godaan-godaan jahat senantiasa ada di sekeliling kita. Ia datang begitu cepat memasuki pikiran kita dan begitu cepat pula kita lakukan. Kita sendiri sering terkejut mengalaminya. Tidak menyangka kejahatan masuk seperti ular dan setelah di dalam ia tidak mau keluar.

Itulah sebabnya manusia sulit untuk mengaku salah. Meskipun orang sudah mengetahui perbuatan jahat kita, mulut ini tetap menyangkal. Akibatnya, kita semakin terperosok dalam estafet kebohongan-kebohongan yang semakin panjang. Dosa melahirkan dosa kalau tidak lekas-lekas diakui.

Hanya anak-anak kecil yang masih polos itulah yang mampu menertawakan kebohongan-kebohongan dan kejahatan kita. Seorang anak balita ketika diajak ibunya ke pesta perkawinan tiba-tiba nyeletuk, bertanya nyaring, "Tante, kenapa Tante memakai baju mama?" Tentu saja si tante pucat malu menyaksikan beberapa tamu tersenyum memandang si anak.

Bagaimana pula pengarang Hans Christian Andersen menulis cerita "Baju Kaisar yang Baru" ketika orang-orang dewasa membungkam mulut mereka menyaksikan kebohongan kaisarnya beserta para penipunya dengan mengumumkan pakaian kebesarannya yang tak terlihat, padahal kaisar telanjang bulat? Seperti anak-anak balita itu sendiri, baik laki maupun perempuan, tidak malu-malu telanjang bulat disaksikan orangtua dan saudara-saudaranya, mirip kisah manusia pertama yang baru malu bertelanjang bulat ketika habis berdosa?