Kegiatan politik kita terlalu sering tak sejalan dengan fitrahnya sebagai upaya sadar menggalang kebersamaan. Alih-alih menggagas upaya menghadirkan kemaslahatan bersama, banyak politikus tak sungkan mengumbar prasangka seolah tak peduli bisa berakibat mengoyak kesesamaan kita; bisa mengoyak imajineri kolektif kita bersama sebagai sebuah bangsa.
Tidak heran Presiden Joko Widodo lalu menyeploskan "politik sontoloyo", yang lalu mengundang lintang pukang reaksi. Keprihatinan pada "politik adu domba, politik pecah belah, politik kebencian", yang baginya "sudah bukan zamannya", tampaknya berada di balik pewacanaan Presiden ini.
Tanpa perlu menuding para pihaknya, inilah wabah baku celoteh dalam politisasi komunikasi-sosial kita belakangan ini. Dengan mudah kita bisa menemui gejala ini pada berbagai agitasi dan pamflet demonstrasi, cericit di media sosial, bahkan kerap kali juga raungan debat televisi.
Sejak Pilpres 2014, memuncak pada Pilkada DKI 2017, dan makin menjadi-jadi sampai saat ini, banyak politikus seolah tak peduli enteng mulut mereka bisa memorakkan pilar-pilar ranah publik kita, bisa memorandakan bayangan kebersamaan kita sebagai bangsa.
Kesesamaan dan kebersamaan
Tentu kita bisa saja menampik keprihatinan itu dengan membanggakan warisan budaya gotong royong kita yang terkadang bak mendadak mencuat dari dalam bumi di masa-masa sulit. Bahkan, barangkali kita juga bisa saja mencoba menyergah tudingan itu secara normatif dengan mengkhotbahkan keterwarisan pluralisme kita lewat falsafah Bhinneka Tunggal Ika.
Betapa pun, sebaliknya, kecenderungan praksis politik kita mengabaikan upaya bersama dalam merawat kesesamaan belakangan ini kian kerap terjadi. Para politikus kerap tak sungkan merisikokan kesesamaan imajineri kolektif (baca: rumah kebersamaan) kita ketika bermanuver memperebutkan kekuasaan.
Bahkan, dalam pidato-pidato publik, ada yang membangkitkan kembali dikotomi pribumi-nonpribumi, ada yang mengobarkan kembali rasa-perasaan perbedaan agama, bahkan ada yang mewacanakan kembali isu pertentangan kelas. Berbagai perkara yang berpotensi membakar jalinan kesesamaan sebagai anak negeri, yang demikian bersusah payah diredam sedasawarsa awal Orde Reformasi, bahkan di era Orde Baru sekalipun, seperti dilepaskan kembali dari kotak pandoranya.
Dalam memperebutkan sasaran, mereka seperti tak peduli dampak potensialnya bisa membakar hangus rumah kesesamaan dan kebersamaan kita. Bahkan, mereka juga kerap seolah lebih memilih sama-sama tak mendapatkan sasaran ketimbang sasaran didapatkan seteru politik.
Jakob Oetama, sesepuh koran Kompas, sesungguhnya sejak jauh-jauh hari telah mengkhawatirkan gejala ini. Dalam beberapa kesempatan, beliau menyebut kecenderungan ini sebagai "geger wong ngoyak layangan" (riuh rendah orang mengejar layang-layang).
Gamblangnya, para politikus kita kerap bertingkah seperti bocah-bocah pengejar layangan putus. Ketimbang layangan didapatkan anak lain, lebih baik sama-sama tidak mendapatkan. Dalam keterceceran kecamuk perebutan, para bocah itu kerap lebih memilih beramai-ramai merobek layangan tersebut. Oleh karena itu, dalam perebutan layangan putus, kita lebih sering melihat layangan putus berakhir menjadi layangan robek.
Tidakkah dengan melepaskan kembali hantu-hantu artikulatif yang berpotensi meluluh-lantakkan bayangan kesesamaan dan kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa tersebut, kita lalu bersikap sama tak bertanggung jawabnya dengan para bocah pengejar layangan itu? Tidakkah ketimbang menempuh jalan "menang jadi abu kalah jadi arang" seperti itu lebih bertanggung jawab jika perebutan kekuasaan tetap kita pahami dalam koridor fitrah politik sebagai sebuah upaya memperjuangkan tataran masyarakat yang lebih baik seraya tetap merawat bayangan kesesamaan kita sebagai sebuah bangsa?
Gamblangnya, tidakkah berarti politik sejatinya senantiasa harus menyadari keterikatannya pada sebuah janji untuk meningkatkan kebersamaan dan merawat kesesamaan?
Kegusaran dan kepura-puraan
Memang pada masa lampau, konflik kepemimpinan dan perebutan kekuasaan lazim berlangsung dalam dalil mors tua vita mea (kematianmu kehidupanku).
Tak heran, tidak hanya sering menyulut perang terbuka, manajemen konflik dengan hukum rimba semacam ini bahkan cenderung berakhir dengan kehancuran menyeluruh bersama, termasuk bagi sang pemenang. Namun, seperti ditandaskan Presiden Jokowi, paradigma berpolitik semacam ini sudah ketinggalan zaman.
Politik tak perlu lagi mengikuti dalil perpecahan dan jurus pemecahbelahan karena pada galibnya, kita tak bisa memungkiri kesesamaan dan kebersamaan kita sebagai pengujung labuhannya. Dan, berada persis di sinilah rasionalitas di balik merebak luasnya akseptabilitas terhadap demokrasi sebagai sebuah sistem politik.
Demokrasi kian diterima menyeluruh di muka bumi ini bukan lantaran merupakan sebuah sistem yang sempurna dalam menyelenggarakan distribusi kekuasaan, melainkan sebuah sistem paling rasional dalam memanajemeni transisi kekuasaan.
Seperti diutarakan Elias Canetti (1973), demokrasi membuat perbedaan dan pertikaian kekuasaan tak lagi perlu berdarah-darah karena tak lagi dikelola lewat manajemen pengerahan tenaga melainkan manajemen pengerahan suara.
Seturut itulah, apabila politik perlu memiliki semacam batas normatif, pewujudan bonum commune communitatis semacam inilah kiranya batas-batas bagi perjuangan artikulasinya.
Bagaimana mungkin kebaikan sosial bersama semacam ini dapat terwujud lewat praksis politik yang dengan sadar memfitnah, menebar benci, memecah belah, ataupun mengadu domba? Bagaimana mungkin kebaikan sosial bersama semacam ini dapat tercipta lewat praksis politik yang dengan sengaja meminggirkan kesesamaan dari sekelompok anak bangsa ataupun membakar rumah kebersamaan kita sebagai bangsa?
Dengan demikian, jangan-jangan kegemparan reaksi terhadap ceplosan Presiden itu bukanlah lantaran kita semua tak menyadari merebaknya politik fitnah, kebencian, pecah belah, ataupun adu-domba yang banyak bergentayangan di sekeliling kita. Kegeraman, yang mengikuti kehebohan itu, sepertinya juga bukan pula lantaran para politikus tidak cukup paham betapa praktik politik semacam itu bukan hanya menakutkan, melainkan juga memalukan.
Seperti tafsir ulang Slavoj Zizek (1989; 1994) atas dongeng "Raja Telanjang" dari HC Andercen, segenap pihak tergemparkan bukan lantaran tidak pernah menyadari ketelanjangan sang raja. Kegemparan lebih terjadi lantaran keluguan pekik terbuka seorang bocah akan ketelanjangan sang raja seolah mendesakkan perlucutan kesadaran palsu akan realitas ketelanjangan yang selama ini coba "ditutup-tutupi" dengan semacam kepura-puraan massal.
Di sisi lain, jangan-jangan kegusaran banyak pihak terhadap ceplosan tersebut lebih lantaran keberhasilannya mengoyak selubung yang mereka ciptakan sendiri untuk menutupi praksis politik yang nyata mereka lakukan, tetapi malu mereka akui keberadaannya.
Barangkali di sini berlaku semacam mekanisme ideologis dalam pola sinisme Peter Sloterdijk (2001), yakni "mereka mengetahui dengan sangat baik yang mereka lakukan, tetapi tetap, mereka terus melakukannya".
Tepat di sinilah sengkarut paling mengkhawatirkan dari praksis politik yang menakutkan sekaligus memalukan ini. Mereka tahu persis jarak etikopolitis antara selubung ideologis dan praksis politik mereka senyatanya, tetapi mereka memilih terus berlindung dalam selubung kepura-puraan massal tersebut. Dalam rumusan Zizek, "Mereka melakukannya seakan-akan mereka tak mengetahuinya." Jadi, sepertinya, sih, mereka tahu, tetapi pura-pura tidak tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar