KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pekerja menyelesaikan proyek pembangunan rumah susun di Kompleks Rumah Susun Daan Mogot, Jakarta, Senin (5/11/2018). Selain untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal di perkotaan, saat ini rumah susun atau hunian vertikal merupakan bagian pemerataan pembangunan. 

Mendekati tahun politik 2019, tampak ada gejala penguatan pengarusutamaan pemerataan atau keadilan sosial. Lima kabar berikut menunjukkan gejala itu.

Pertama, di depan para kader Nasdem (2/9/2018), KH Ma'ruf Amin mengaku satu dari dua alasan bersedia jadi cawapres adalah membantu Jokowi mewujudkan pemerataan. Kedua, tagline pasangan Prabowo-Sandi untuk Pilpres 2019 adalah "Bersama Parbowo-Sandi Indonesia Adil Makmur". Ketiga, pada HUT ke-50 (25/9/2018), Kamar Dagang dan Industri (Kadin) memberikan penghargaan Tokoh Pemerataan Pembangunan kepada Presiden Jokowi.

Keempat, di HUT ke-20, (15/9/18), FMKI Jawa Tengah menggelar seminar di Semarang bertajuk "Implementasi Sila V Pancasila: Realita dan Tantangannya". Kelima, saat dilantik jadi anggota Dewan Pengarah UKP-PIP tahun lalu (7/6/2017), tokoh Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif merasa tertantang untuk menerapkan nilai-nilai luhur Pancasila ke seluruh masyarakat, terutama yang terkandung dalam sila ke-5.

Pengarusutamaan pemerataan bukan tidak ada sebelumnya. Beberapa produk legislasi dan  instrumen pemerataan pembangunan daerah, pendidikan, kesehatan, pertanahan sudah ada sebelumnya. Beberapa contohnya, ketentuan 20 persen anggaran negara untuk pendidikan, dibangunnya puskesmas di mana-mana di era Orde Baru, UU Dana Desa, BPJS, Kartu Sehat, Kartu Pintar, beasiswa Bidikmisi, penyerahan sertifikat tanah, dan pembangunan infrastruktur di sudut-sudut negeri kita. Akibatnya, pada empat tahun terakhir indeks gini kita cukup membaik dari di atas 0,4 pada 2014 menjadi di bawah 0,4 saat ini.

Pengarusutamaan pemerataan itu pasti disambut hangat oleh rakyat karena dua sebab. Pertama, soal pemerataan dan keadilan sosial—sebagai nilai yang harus diperjuangkan—sudah terpatri dalam konstitusi kita. Kita hafal, ada lima tujuan dasar kita mendirikan negara: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Dari lima tujuan itu, adil yang paling susah dilaksanakan dan diperjuangkan, dan belum sungguh- sungguh kita wujudkan. Empat tujuan lain relatif bisa kita capai.

Kedua, soal pemerataan dan keadilan sosial terus-menerus penting karena baik pada tingkat global, nasional, maupun lokal terdapat kecenderungan menuju ke kesenjangan, yang makin lama makin lebar. Tak hanya di negara- negara berkembang, juga di negara maju. Upaya pemerataan pada dasarnya lebih pada soal politik, tidak semata-mata soal ekonomi. Sebab, dengan politik ekonomi, ketimpangan bisa dijinakkan.

Makin senjang

Pada umumnya, pertumbuhan ekonomi karena kemajuan teknologi, globalisasi, dan reformasi berorientasi pasar hampir selalu disertai peningkatan kesenjangan. Beberapa ahli meyakini gejala peningkatan kesenjangan itu.

Dalam Inequality in Asia and Pacific (2014), Ravi Kanbur dkk membuktikan pertumbuhan ekonomi terjadi di Asia dan Pasifik, tetapi pertumbuhan itu juga menyebabkan peningkatan ketimpangan. Kendati China, India, dan Indonesia menikmati pertumbuhan di atas rata-rata, kesenjangannya melebar.

Padahal, seperti dinyatakan Wilkinson dan Pickett dalam The Spirit Level: Why Equality is Better for Everyone (2010), ketidakadilan—bukan kemiskinan—yang lebih menimbulkan problem-problem sosial-ekonomi-politik. Di antara negara-negara maju, diukur dengan perbandingan 20 persen terkaya dan 20 persen termiskin, ditemukan lima negara terbaik: Jepang, Finlandia, Norwegia, Swedia, dan Denmark. Sementara lima negara terjelek pemerataannya adalah Singapura, AS, Portugal, Inggris, dan Australia.

Di AS, menurut Stiglitz, The Price of Inequality (2012), ketidakmerataan cenderung membesar karena sistem ekonomi dan sistem politik gagal membendung kerakusan kelompok kecil dalam masyarakat, bahkan malah memfasilitasi proses ke kesenjangan itu. Wajar jika di Amerika Serikat muncul gerakan Occupy Wall Street oleh 99 persen melawan kelompok 1 persen. Sistem politik dan ekonomi di AS tidak mampu menjinakkan gejala kerakusan, justru makin memperlebar jurang ketimpangan.

Kecenderungan kesenjangan secara global ditunjukkan Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century (2013), bahwa kepemilikan modal cenderung makin lama makin terakumulasi secara tidak proporsional. Untuk menghentikan akumulasi kepemilikan modal itu, Piketty menyarankan kebijakan pajak progresif yang tegas, kuat, dan bersifat global.

Namun, selalu ada perkecualian. Seperti ditulis Wilkinson dan Pickett, beberapa negara bisa berhasil mencegah kecenderungan kesenjangan itu karena politik ekonomi dan komitmen sungguh-sungguh mewujudkan negara kesejahteraan (welfare states).

Cara Indonesia

Mengingat soal pemerataan adalah soal politik kita, dan mengatasi kesenjangan adalah strategis bagi negara-bangsa kita, kita mesti serius dan
sungguh-sungguh mempertimbangkan beberapa hal dalam pengarusutamaan persamaan ini.

Pertama, tekad pengarusutamaan pemerataan harus diperkokoh dengan kebijakan dan aturan yang kuat. Semakin tinggi tingkat keputusannya, makin kuat kebijakan dan aturan itu menggerakkan sumber daya untuk mewujudkannya. Pemerataan sudah kuat di konstitusi kita, maka diperlukan produk legislatif di bawahnya, seperti UU dan keppres. Mereka yang ada di kotak kebijakan, terutama di legislatif dan eksekutif, mesti lebih sungguh- sungguh berkomitmen mengarusutamakan pemerataan ini.

Kedua, kita mesti terus-menerus menjadikan pemerataan dan negara kesejahteraan sebagai wacana utama dan dominan. Dalam wacana itu, kita mesti lebih terbiasa mengenali tolok-tolok ukur keberhasilan pembangunan yang beraspek pemerataan. Misalnya, indeks gini, indeks Robinhood, indeks Palma, dan lain-lain. Dengan indikator-indikator itu, kita menilai keberhasilan pembangunan dari adanya gerak menuju ke pemerataan. Jika digunakan indeks gini, pembangunan berhasil apabila dari tahun ke tahun indeks gini bergerak turun, dan pembangunan gagal apabila bergerak naik.

Ketiga, kita mesti lebih aktif belajar dari negara lain yang punya praktik-praktik terbaik dalam pemerataan ekonomi. Misalnya, tidak lagi mesti ke AS atau Australia atau Inggris, tetapi ke negara-negara yang layak dijuluki negara sejahtera, seperti Jepang dan negara-negara Skandinavia.

Untuk informasi, pada Agustus 1925, Bung Hatta bersama Bung Samsi sengaja studi banding beberapa minggu ke Denmark, Swedia, dan Norwegia. Kemudian pada 4 Februari 1929, Hatta menulis surat kepada Bung Karno, meminta Bung Karno datang ke Belanda. "Gunakan saja alasan bahwa keberangkatan itu untuk studi tentang Serikat Buruh dan Koperasi," tulis Hatta.

Keempat, menjadikan pengarusutamaan pemerataan menjadi strategic culture kita. Budayawan dan ahli seni mesti lebih giat dan aktif menggelorakan nilai-nilai keadilan sosial dan pemerataan ini. Menghidupkan lagi pemerataan ini tentu tak terlalu sulit karena semangat keadilan dan gotong royong sudah kuat di alam pikir masyarakat kita pada umumnya. Semangatnya adalah menjadikan pemerataan sebagai ideopraksis, ideologi yang dipraktikkan atau ideologi yang hidup (living ideology).

Kelima, setelah belajar dari mana-mana, kita mesti menggunakan kecerdasan kita untuk memilih dan memutuskan cara kita sendiri, yaitu cara Indonesia, dalam mengatasi persoalan kesenjangan. Sebagai contoh, KH Ma'ruf Amin bersikap bahwa pemerataan tidak memperlemah yang sudah kuat, tetapi melindungi dan memperkuat yang lemah. Yang kuat dan yang lemah tidak saling konfrontasi dan saling menghancurkan, tetapi saling bantu. Itulah cara Indonesia (Indonesian way), moderasi yang didasari nilai gotong royong.