Satu pemikiran menyebar menulari dan mengimbuhi pemikiran manusia lain. Maka, wajarlah pemikiran yang mendasari pembangunan gagasan kebangsaan di dalam negeri di awal abad ke-20 tidak terlepas dari kebangkitan budaya bernalar dan kemajuan ilmu pengetahuan di dunia kala itu.

Ada anggapan bahwa Keputusan Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928, yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda itu, tidak sebesar Enlightenment atau Pencerahan di Eropa. Alasannya, Sumpah Pemuda dianggap tidak berdampak seluas pencerahan ke pemikiran manusia.

Anggapan ini kurang tepat. Pertama, Sumpah Pemuda tahun 1928 merupakan sebuah kebangkitan pemikiran yang telah menyadarkan masyarakat di Garis Khatulistiwa ini atas keanggotaannya dalam sebuah bangsa yang diimajinasikan. Berkat Sumpah Pemuda itu, kumpulan manusia ini dapat menjawab pertanyaan esensial, "Where do I belong?" Lebih dalam lagi, saat gagasan bangsa Indonesia dicanangkan, saat itu pula Indonesia memiliki bangsa walau belum memiliki negara. Sangat luar biasa jika hari ini kita sanggup berembuk dan bernalar bersama sampai menyepakati rumusan kebangsaan sedewasa dan secerdas Sumpah Pemuda.

Kedua, dan ini yang lebih hakiki: peradaban di dunia hanya satu (Harari, 2018). Dengan demikian, pencerahan atau kemajuan pemikiran di satu masyarakat juga merupakan kemajuan peradaban umat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, wajar dan sudah seharusnya jika satu masyarakat memijak pada pemikiran yang telah dibentangkan masyarakat lain.

Sebuah bangsa tak dapat dinilai rendah hanya karena melandaskan bangunan kebangsaannya pada pemikiran yang terimbas pemikiran bangsa lain. Selain pemikiran murni mutlak hasil sendiri itu mustahil, manusia memang sudah selayaknya membuka akal dan berpijak pada karya pemikiran pendahulu dari bangsa mana saja.

Sebaliknya, tidak masuk akal jika setiap bangsa dituntut reinventing the wheel atau menciptakan ulang roda. Justru seharusnya menggunakan temuan roda sebelumnya oleh bangsa lain untuk kemudian menciptakan sepeda, mobil, dan robot. Revolusi pertanian, revolusi sains, revolusi industri, dan tentunya revolusi pemikiran merupakan bagian terpadu dari peradaban manusia.

Oleh karena itu, Pencerahan di Benua Eropa merupakan bagian tak terpisahkan dari peradaban seluruh umat manusia. Pemikiran satu manusia di satu tempat merupakan kemajuan dan berkat bagi seluruh umat manusia di mana pun. Tidak ada tembok cukup tebal, terbuat dari ras, keyakinan, atau geografi, yang mampu menyegregasi pemikiran manusia. Relevan di sini dikutip sebuah metafora populer yang disampaikan ulang oleh fisikawan Newton pada 1675, "Jika saya dapat memandang lebih jauh, ini dimungkinkan karena (saya) memijak pada pundak para raksasa."

Metafora yang aslinya dari filsuf Bernard dari Chartres (Perancis) pada abad ke-12 itu mengingatkan bahwa manusia dapat melihat lebih jauh dan mengetahui lebih banyak hari ini belum tentu karena penglihatannya lebih tajam atau akalnya lebih tinggi daripada pendahulunya. Namun, ini karena pemikirannya terangkat ke posisi lebih tinggi berkat  tumpukan pengetahuan karya para pendahulu. Satu langkah kemajuan, sekecil apa pun, jika diimbuhkan pada pemikiran umat manusia sebelumnya akan bermakna besar bagi seluruh peradaban umat manusia. Maka, pengimbuh pengetahuan berjasa sama besar dengan pencetus awal. Semua bangsa berdiri sama tinggi dan memiliki tanggung jawab sama besar dalam merawat peradaban.

Sejak dahulu, apalagi sekarang, setiap manusia perlu menyadari bahwa dirinya merupakan warga masyarakat, warga negara, sekaligus warga dunia. Oleh karena itu, bukan tempatnya untuk mengompetisikan atau mempertandingkan antara Pencerahan dan Sumpah Pemuda. Lebih tepat jika kesadaran kebangkitan berbangsa, secara umum, di Benua Asia dan Afrika kala itu dipandang sebagai sebuah episode dalam kisah peradaban umat manusia. Bernalar ialah sebuah upaya bersama umat manusia menerangi jalan peradabannya.

Identitas

Sebuah musik tidak melibatkan bunyi semata, tetapi juga memfungsikan kesenyapan. Pesan berbunyi digaungkan dan diharmoniskan dengan pesan nir-bunyi. Keduanya saling melengkapi. Demikian pula dalam setiap tulisan: selalu ada pesan tak tertulis yang tak kalah penting hendak disampaikan. Bagaimana dengan Sumpah Pemuda?

Sembilan puluh tahun lalu, para pelajar itu bertemu, berdebat, sampai bersepakat menuliskan gagasan sebuah bangsa modern. Dan, melalui keputusan Sumpah Pemuda itu, tiga identitas keindonesiaan yang dirumuskan bukan yang lahiriah. Tiga identitas itu bukan sesuatu yang disematkan dan disandang individu saat lahir, tetapi identitas yang dirangkul siapa saja dengan kesadaran. Penggagas bangsa ini telah mengimajinasikan identitas keindonesiaan yang cair.

Sementara di sisi lain, identitas lahiriah yang sifatnya kaku seperti suku, ras, dan keyakinan justru absen dalam tiga butir tadi. Boleh jadi ini pesan nir-bunyinya bahwa keindonesiaan yang digagas saat itu dan diangankan mengakar ke masa depan mendasarkan pada identitas cair, bukan identitas lahiriah. Memang, identitas lahiriah dan perbedaannya tidak juga untuk dinihilkan, tetapi untuk diakui dan dirayakan. Namun, tentu bukan juga angan-angan para pendiri bangsa untuk membesar-besarkan identitas lahiriah sampai mengeraskan perkutuban yang memecah kebersatuan masyarakat.

Pada kongres tanggal 28 Oktober 1928 itu, lagu "Indonesia Raya" pertama kali dikumandangkan. Lagu dengan tiga stanza, kebangsaan, geografi, dan kejiwaan, juga semakin menyahihkan imajinasi bangsa berdasar identitas cair. Namun, dalam perjalanan 90 tahun ini, teladan kepiawaian bernalar serta kedewasaan berbangsa para pendiri bangsa kenyataannya kerap kalah dan tersisihkan.

Perlu melambat

Sejarah mencatat, masyarakat Jerman yang kuat budaya bernalarnya sampai melahirkan Immanuel Kant, Albert Einstein, dan pemikir besar lain, tetapi juga mengangkat Adolf Hitler secara demokratis sebagai pemimpin tertingginya. Bahkan, belum lama ini, dalam referendum Brexit, masyarakat Inggris dapat membuat keputusan drastis keluar dari Uni Eropa dalam waktu relatif singkat.

Muncul keraguan bahwa keputusan kenegaraan melalui pemungutan suara atau penentuan pendapat seperti di atas telah melalui telaah nalar yang saksama. Dapat jadi impulsi lebih berperan ketimbang nalar dalam pemungutan suara atau penentuan pendapat seperti di atas.

Jadi, guna meningkatkan peran nalar, sudah pasti dibutuhkan peningkatan kecakapan bernalar warga. Terkait hal ini, pendidikan masih yang paling berperan strategis meningkatkan kecakapan bernalar. Namun, dalam buku Enlightenment 2.0 (Heath, 2014), Joseph Heath menawarkan siasat berbeda. Berikut ini argumennya.

Nalar seperti perkakas pilihan terakhir manusia dalam menghadapi suatu masalah. Manusia lebih sering menggunakan impulsi dan intuisi dahulu, baru jika gagal akan dikeluarkan perkakas nalarnya. Sementara nalar sendiri baru berfungsi sungguh-sungguh saat manusia dipaksa untuk mengaktifkannya. Artinya, saat mengikuti pemungutan suara atau penentuan pendapat, masyarakat belum tentu telah mengaktifkan nalarnya. Demikian pula saat menetapkan undang-undang, manusia dapat mendasarkan pilihannya pada dorongan membenarkan keyakinan sendiri atau memuaskan kelompok semata, bukan nalar.

Padahal, agar demokrasi modern dapat berfungsi, nalar merupakan prasyarat. Bahkan, setiap warga perlu diasumsikan dapat bernalar agar "suara satu pakar politik, misalnya, sama nilainya dengan satu orang biasa", baru masuk akal. Demikian juga, "suara rakyat merupakan suara Tuhan", baru masuk akal saat tiap warga mampu bernalar aktif. Jika asumsi tadi tidak dijamin, cara negara menetapkan keputusan penting melalui pemungutan suara atau pengumpulan pendapat berisiko besar.

Sejalan dengan itu, pada negara yang sistem kenegaraannya "efisien", tahapan pembuatan, pengusulan, sampai pengesahan konstitusi berjalan begitu cepat. Ini mengakibatkan sebenarnya nalar tidak selalu sempat mengunyah rancangan konstitusi dengan saksama.

Sebaliknya, pada sistem kenegaraan yang redundant atau bertumpang tindih, pengambilan keputusan untuk menetapkan dan mengubah konstitusi membutuhkan tahapan panjang sekaligus waktu lama.

Membatasi ketergesa-gesaan

Mungkin melawan intuisi, bahwa sistem negara yang lamban kadang justru menguntungkan, karena dengan proses yang panjang dan agak berbelit justru mendukung nalar yang memang butuh waktu. Dampak baiknya, keputusan penting akan melalui proses bernalar yang memadai dan telaah yang mendalam.

Situasi ini memang dilematis. Sementara kehidupan hari ini memuja kecepatan, nalar membutuhkan kelambatan. Sebaliknya, ketergesa-gesaan berisiko menghasilkan penetapan keputusan atau konstitusi yang kadang melawan nalar sampai bertentangan dengan gagasan kebangsaan. Dapat terjadi, khususnya, disahkan sebuah aturan yang justru menyokong pengelompokan dan pengucilan masyarakat berdasar identitas lahiriah.

Bahkan, pada beberapa institusi pendidikan yang seharusnya senantiasa menjuarakan identitas cair yang luwes seperti di Sumpah Pemuda, mungkin tanpa disadari, pengelompokan pelajar berdasar keyakinan justru yang dikedepankan. Padahal, seharusnya sudah jelas, pengelompokan dan pengucilan berdasar identitas lahiriah merupakan bahan bakar beroktan tinggi bagi mesin politik tribalisme.

Perkutuban politik di beberapa negara hari ini juga sudah dirasa membahayakan kebangsaannya. Bahkan, sampai muncul keengganan berhubungan dan tinggal berdekatan dengan yang punya pilihan politik berbeda (Chua, 2018). Nalar mulai tersisihkan dalam kehidupan.

Oleh karena itu, guna menuju ke suatu dunia yang lebih waras, Heath mengusulkan untuk menambahkan waktu dalam penetapan hal-hal yang penting dan sifatnya prinsip. Ini akan membesarkan kesempatan nalar untuk berperan dalam kegiatan bernegara dan bermasyarakat.

Dengan memanfaatkan waktu untuk bernalar dan membatasi ketergesa-gesaan, keberlanjutan kecerahan nalar yang diteladankan pendiri bangsa 90 tahun silam dapat diwujudkan.