Pada 3 Oktober 2018, DPR RI telah menyampaikan Rancangan Undang- Undang tentang Badan Usaha Milik Negara kepada Presiden Joko Widodo. Penyampaian tersebut sebagai awal dari langkah berikutnya, yaitu untuk dibicarakan bersama-sama dengan Presiden untuk kemudian dapat menghasilkan persetujuan bersama.
RUU ini masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2018 yang berarti 60 hari sesudah diterimanya rancangan tersebut, Presiden sudah harus menunjuk menteri yang menangani pembahasan itu lebih lanjut bersama DPR.
Secara substantif, terhadap undang-undang (UU) yang mengatur mengenai BUMN memang sudah seharusnya dilakukan penyesuaian-penyesuaian agar BUMN dapat mengikuti kemajuan-kemajuan yang terjadi dalam kegiatan bisnis dan perekonomian.
Diharapkan perubahan pengaturan terhadap BUMN dapat menjadikan BUMN bergerak lebih dinamis sehingga bisa bersaing dengan para kompetitor di ranah bisnisnya tanpa harus tersangkut dengan ketentuan-ketentuan yang membatasi atau menimbulkan risiko bagi pengurusnya ketika mereka dipacu untuk dapat bergerak lebih dinamis dalam rangka membesarkan perusahaan.
Substansi-substansi baru RUU BUMN
Secara garis besar terdapat materi-materi baru yang diatur pada RUU BUMN ini yang mana sebelumnya beberapa ketentuan tersebut selama ini diatur dalam ranah yang lebih teknis di dalam peraturan menteri BUMN. Di antara hal tersebut adalah pengaturan mengenai anak perusahaan, sinergi BUMN, pengelolaan dan pendayagunaan aset BUMN (termasuk pelepasan dan pemindahtanganannya), kewajiban pelaksanaan pembinaan dan kerja sama dengan usaha mikro, kecil, dan menengah melalui program kemitraan serta pembinaan masyarakat melalui program bina lingkungan.
Pada dasarnya substansi-substansi baru itu masih mensyaratkan adanya pengaturan lebih lanjut melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tetapi memberikan dasar kuat bahwa kegiatan tersebut memiliki dasar hukum pada undang-undang.
Dengan penempatan pada rancangan undang-undang tersebut, maka akan memberikan kedudukan hukum yang lebih kuat pada persoalan-persoalan tersebut, yang mana sebelumnya sering kali permasalahan hukum yang menjerat BUMN berasal dari adanya kesalahan dalam pelaksanaan hal tersebut.
Sebagai contoh adalah permasalahan sinergi BUMN yang kerap kali menimbulkan masalah pada pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di BUMN. Tentu, dengan ditempatkannya persoalan sinergi BUMN ke dalam undang-undang akan memberikan dasar yang sangat kuat bagi pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dengan menunjuk langsung sesama BUMN sehingga sepanjang penunjukan langsung tersebut sesuai dengan peraturan pelaksanaannya, tindakan tersebut tidaklah termasuk ke dalam perbuatan yang melawan hukum atau menyelundupkan hukum.
Contoh lainnya adalah mengenai pelepasan dan pemindahtanganan aset yang juga diatur di dalam RUU ini. Diharapkan, pengaturan tersebut dapat memberikan dasar yang kuat bagi direksi untuk melakukan pemindahtanganan aset oleh karena mekanisme dan otorisasinya diatur di dalam undang-undang.
Selain hal itu, pengaturan-pengaturan mengenai organ-organ korporasi juga telah diatur dengan lebih mendetail, di antaranya kriteria mengenai direksi dan komisaris, serta beberapa ketentuan mengenai wewenang menteri sebagai wakil pemerintah.
Perluasan makna BUMN dan pembatasan di anak perusahaan
RUU BUMN membuat perluasan terhadap definisi BUMN, sebagaimana dinyatakan bahwa pada Pasal 1 Angka 1 yang menjelaskan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki negara, baik melalui penyertaan langsung maupun tidak langsung yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta yang berasal dari non-APBN, yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan pengelolaannya.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka akan terjadi pergeseran (shifting) besar- besaran dari perusahaan-perusahaan yang sebelumnya merupakan anak-anak perusahaan BUMN, bahkan terafiliasi dengan BUMN (yang mana negara ataupun BUMN bukan merupakan pengendali) menjadi berstatus BUMN.
Akibat pergeseran ini adalah adanya perpindahan rezim pengaturan pada anak-anak perusahaan dan perusahaan terafiliasi tersebut dari yang awalnya hanya terkait dengan mekanisme korporasi biasa beralih menjadi tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum BUMN.
Hal ini tentu bertentangan dengan salah satu tujuan dari proyek holding-isasi BUMN yang telah dilakukan pada beberapa kelompok usaha BUMN yang seharusnya membuat BUMN yang menjadi anak menjadi lebih dinamis oleh karena tidak sepenuhnya terikat dengan rezim hukum BUMN. Hal ini tentu kurang memihak kepada iklim investasi dan kegiatan bisnis dari anak perusahaan dan perusahaan afiliasi BUMN karena akan
turut terikat kepada regulasi terkait BUMN.
RUU BUMN melarang anak perusahaan membentuk anak perusahaan baru, baik melalui penyertaan modal pada badan usaha yang sudah ada maupun dengan melakukan penyertaan modal pada badan usaha yang akan didirikan. Hal ini merupakan pembatasan kepada anak perusahaan untuk memiliki anak perusahaan di bawahnya sehingga pembentukan anak perusahaan hanya menjadi wilayah kewenangan BUMN induk.
Ketentuan ini menimbulkan disparitas antara kondisi riil BUMN saat ini, yang mana terdapat BUMN yang memiliki cucu, bahkan cicit perusahaan. Selain daripada itu, pembentukan anak perusahaan harus memperoleh persetujuan dari DPR terlebih dahulu. Dengan adanya pembatasan-pembatasan ini dikhawatirkan akan berdampak membatasi ruang gerak BUMN secara strategis dalam melakukan ekspansi bisnis melalui anak-anak perusahaannya.
Pembatasan privatisasi BUMN
RUU BUMN memberikan pengaturan mengenai privatisasi BUMN dengan menambahkan kriteria terhadap BUMN yang dapat dilakukan privatisasi. BUMN yang diprivatisasi dibatasi harus merupakan BUMN yang bergerak di industri atau sektor usaha kompetitif yang merugi dan membebani keuangan negara; dan/atau BUMN yang bergerak pada industri atau sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah dan BUMN tersebut tidak menguasai hajat hidup orang banyak.
Ketentuan ini mengarahkan bahwa privatisasi hanya dapat dilakukan kepada perusahaan yang buruk dalam kinerjanya, adapun terhadap perusahaan yang berada pada lingkup bisnis yang dinamis dan cepat mengalami perubahan privatisasi dapat dilakukan sepanjang bidang usaha tersebut tidak terkait dengan hajat hidup orang banyak.
Ketentuan tersebut, meskipun bernada sangat mengedepankan kepentingan nasional, di sisi lain dapat membatasi ekspansi dari bisnis BUMN. Dalam hal tertentu, BUMN tentu dapat memerlukan tambahan-tambahan modal yang tidak selalu berasal dari APBN, tetapi juga melibatkan partisipasi swasta ataupun publik dengan menjadi perusahaan terbuka, yang mana hal ini masuk ke dalam lingkup privatisasi.
Dengan demikian, hanya BUMN yang merugi dan perusahaan digital yang tidak strategis yang dapat menghimpun dana dalam bentuk penyertaan modal dari pihak swasta ataupun publik.
Perluasan wewenang DPR
Salah satu hal yang benar-benar terasa signifikan di dalam RUU BUMN yang disampaikan DPR adalah penguatan dan perluasan wewenang DPR dalam melakukan pengawasan kepada BUMN. RUU BUMN mengatur adanya kewenangan DPR dalam beberapa urusan BUMN, seperti pembentukan anak perusahaan, pelepasan atau pemindahtanganan aset BUMN sebagaimana dimaksud yang berdampak luas pada keuangan negara, pelepasan dan pemindahtanganan aset BUMN berupa tanah yang bernilai lebih dari Rp 100 miliar dan pemilihan direktur utama BUMN. Penguatan DPR (legislative heavy) ini tidak sejalan dengan fungsi utama DPR dalam bidang legislasi, penganggaran (budgeting), dan pengawasan karena DPR terlalu jauh masuk ke ranah eksekutif (pengelolaan).
RUU BUMN juga mengatur lebih ketat terkait proses aksi korporasi, yang mana dalam prosedurnya tidak hanya melalui pengkajian bersama antara menteri BUMN dan menteri keuangan, tetapi juga harus diusulkan kepada Presiden untuk kemudian usulan tersebut diajukan kepada DPR RI untuk mendapatkan persetujuan. Setelah mendapatkan persetujuan, tindakan korporasi tersebut harus ditetapkan dalam peraturan pemerintah untuk kemudian dilaksanakan menteri BUMN sehingga dengan demikian tindakan korporasi tersebut telah berlaku sejak ditetapkan.
Pada dasarnya alur proses tersebut sedikit menyimpang dari alur proses pembentukan peraturan pemerintah karena dalam pembentukan peraturan pemerintah sesungguhnya tidak melibatkan peran DPR RI ataupun persetujuan DPR RI terlebih dahulu. Karena berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, DPR tak memiliki peran dalam pembentukan peraturan pemerintah. Dengan demikian, perlu ditinjau kembali mengenai kesesuaian ketentuan tersebut dengan norma perundang-undangan yang ada pada undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Hal-hal itu menggeser paradigma dari bisnis BUMN yang seharusnya dijalankan berdasarkan business judgement rules menjadi government judgement rules. Adanya persetujuan DPR juga berpotensi memperlambat laju aktivitas bisnis BUMN, yang mana hal ini dapat menghilangkan tujuan pendirian BUMN dengan karakteristiknya untuk mengejar keuntungan, oleh karena setiap proses persetujuan tentu tidak terlepas dari proses musyawarah yang akan memakan waktu. Sejatinya BUMN didudukkan sebagai entitas yang dituntut mencari keuntungan dengan maksimal sehingga negara dapat memanfaatkan kontribusinya untuk melakukan pembangunan nasional.
Beberapa ketentuan di dalam RUU BUMN mengandung hal-hal positif yang akan dapat dirasakan manfaatnya dalam rangka memperkuat landasan hukum pada beberapa kegiatan-kegiatan BUMN, seperti permasalahan sinergi BUMN, pengelolaan aset, pelepasan dan pemindahtanganan aset, serta program kemitraan dan bina lingkungan.
Namun, di sisi lain RUU BUMN ini mengandung ketentuan-ketentuan yang memberikan pembatasan pada wewenang dan bisnis BUMN serta adanya pemberian wewenang kepada DPR untuk terlibat dalam beberapa urusan yang penting dalam pengelolaan BUMN.
Pembatasan ruang gerak BUMN dan penambahan keterlibatan DPR dalam pengelolaan BUMN tersebut menjadikan RUU ini terkesan tidak mengikuti tren perkembangan bisnis saat ini yang membutuhkan kecepatan dan cenderung mengarah ke era masa lalu yang sangat birokratis serta bertentangan pula dengan konsep holding-isasi yang telah dilakukan di mana pada dasarnya bertujuan untuk memperkuat aspek korporasi dan meminimalkan birokrasi pada proses bisnis BUMN. Dengan demikian, RUU BUMN ini lebih terasa sebagai sebuah langkah mundur bagi pengaturan pengelolaan BUMN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar