KOMPAS/HANDINING

Anton Sanjoyo, wartawan senior Kompas

Pernahkan Anda menyadari bahwa kita hidup di negara dengan masyarakat yang malas bergerak, enggan melakukan aktivitas fisik sehingga dalam jangka menengah-panjang bangsa Indonesia akan mengalami darurat kesehatan secara umum?

Coba tengok aktivitas Anda dan masyarakat secara umum. Pernahkah Anda memperhatikan begitu padatnya jalanan, terutama di perkotaan oleh kendaraan bermotor? Coba lihat betapa orang-orang berebut parkir di lokasi yang berdekatan dengan pintu masuk di mal-mal atau pusat perbelanjaan hanya karena mereka malas berjalan kaki? Berapa kali dalam sepekan dan berapa lama Anda melakukan aktivitas fisik ringan sampai sedang?

Jika Anda sudah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, sekarang coba tengok fenomena ini. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan ilmuwan kesehatan di Universitas Stanford, Amerika Serikat, Indonesia adalah negara dengan penduduk yang paling malas berjalan kaki. Studi yang diungkap oleh jurnal kesehatan Nature pada 2017 memperlihatkan, orang Indonesia rata-rata hanya berjalan 3.513 langkah per hari, jauh di bawah negara-negara di seluruh dunia.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Sejumlah siswa berjalan di trotoar Jalan Merdeka, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (7/3). Pemerintah Kota Bandung mengampanyekan gerakan berjalan kaki ke sekolah untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.

Penelitian Universitas Stanford menggunakan data lebih dari 700.000 orang yang dikumpulkan dari 111 negara dengan fokus pada aktivitas perorangan secara berkelanjutan. Penelitian ini juga mengungkapkan kota-kota, yang sangat ramah terhadap pejalan kaki dengan melimpahnya moda transportasi massal dan jalur pedestrian, rata-rata mempunyai angka jalan kaki yang tinggi. New York dan Hong Kong adalah salah satu contoh kota yang masyarakatnya punya catatan jalan kaki paling tinggi.

Hong Kong yang merupakan bekas koloni Inggris memegang rekor negara dengan masyarakat paling aktif jalan kaki dengan rata-rata 6.880 langkah per hari, sementara Rusia berada di peringkat kedua dengan angka 5.969 langkah per hari. Indonesia berada di kelompok terbawah dengan aktivitas jalan kaki terendah bersama dengan Arab Saudi (3.807), Malaysia (3.963), Filipina (4.008) dan Afrika Selatan (4.105).

Dalam penjabaran lebih lanjut mengenai penelitian ini, jurnal Naturemengungkapkan, pemerintah di negara-negara yang diteliti sebenarnya bisa memanfaatkan data-data penelitian ini untuk meningkatkan taraf kesehatan dan kehidupan masyarakatnya. Kata kuncinya adalah "ketidaksetaraan aktivitas". Tim Althoff, salah satu peneliti, mengatakan, semakin besar ketidaksetaraan aktivitas, semakin tinggi tingkat obesitas di suatu negara. Semakin tinggi tingkat obesitas, semakin rentan masyarakatnya terkena berbagai macam penyakit.

"Sebagai contoh, Swedia merupakan salah satu negara dengan celah terkecil dalam ketidaksetaraan aktivitas… juga merupakan negara dengan tingkat obesitas paling rendah," papar Althoff seperti dikutip laman BBC.

Para peneliti juga mengaku terkejut saat menemukan bahwa ketidaksetaraan aktivitas dipicu oleh perbedaan jender, pria dan perempuan. Di negara seperti Jepang—dengan tingkat obesitas dan ketidaksetaraan rendah—pria dan perempuan menunjukkan tingkat yang sama. Namun, di negara seperti Amerika Serikat dan Arab Saudi di mana tingkat ketidaksetaraan tinggi, kaum perempuan melewatkan waktunya dengan tidak beraktivitas.

Penelitian WHO

Temuan para peneliti Universitas Stanford ternyata satu garis lurus dengan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis September 2018. Laporan yang ditulis lengkap oleh BBC ini menyebutkan lebih dari seperempat penduduk Bumi atau sekitar 1,4 miliar jiwa tidak melakukan aktivitas atau latihan fisik yang cukup yang berdampak langsung pada risiko terkena penyakit. Angka ini terus meningkat sejak 2001. WHO mengingatkan, ketidakaktifan ini meningkatkan risiko aneka problem kesehatan, seperti sakit jantung, diabetes tipe 2, dan beberapa jenis kanker.

Negara-negara kaya dengan tingkat pendapatan masyarakat yang rata-rata tinggi seperti Inggris Raya adalah termasuk mereka dengan aktivitas rendah. Kelompok perempuan juga ditemukan kurang aktif hampir merata di seluruh dunia, kecuali di dua wilayah Asia.

Penelitian WHO ini mengoleksi data aktivitas dari survei di 358 basis populasi di 168 negara dan mencakup 1,9 juta jiwa. WHO menemukan, di negara-negara kaya (high income), termasuk Inggris Raya dan Amerika Serikat, proporsi individu tidak aktif telah meningkat dari 32 persen pada 2001 menjadi 37 persen pada 2016, sementara proporsi negara-negara pendapatan rendah (low income) stabil 16 persen di rentang yang sama.

Mereka yang dikategorikan kurang aktif adalah individu yang melakukan kurang dari 150 menit latihan fisik moderat—atau 75 menit latihan intensitas tinggi/berat—per pekan.

Para ahli menyatakan transisi di negara-negara yang lebih makmur terhadap berbagai pekerjaan yang tidak membutuhkan banyak aktivitas fisik dan meningkatnya hobi masyarakat bersamaan dengan meningkatkan penggunaan kendaraan bermotor bisa menjelaskan mengapa terjadi fenomena peningkatan tingkat ketidakaktifan masyarakat.

Di negara-negara dengan pendapatan rendah, orang cenderung lebih aktif dalam pekerjaan, lebih banyak berjalan kaki atau menggunakan transportasi publik.

Para pembuat laporan untuk WHO ini memperingatkan, jika angka ketidakaktifan terus bertahan dengan kecenderungan periode 2001-2016, target badan dunia ini untuk mengurangi ketidakaktifan global hingga 10 persen pada 2025 akan mengalami kegagalan besar.

Jika melihat data yang dirilis WHO melalui penelitian The Lancet Global Health, Indonesia termasuk negara yang cukup aktif dengan tingkat ketidakaktifan di level 15-30 persen pada rata-rata orang dewasa. Angka ini cukup menggembirakan mengingat dari sumber penelitian lain yang dilansir jurnal Nature, rata-rata orang Indonesia paling malas berjalan kaki.

Uganda merupakan negara dengan penduduk dewasa paling aktif di dunia dengan tingkat orang dewasa yang tidak aktif hanya 5,5 persen. Sementara negara petro dollar Kuwait memegang rekor tingkat tidak aktif tertinggi dengan 67 persen orang dewasa.

Yang agak mengejutkan adalah Brasil, negara yang terkenal dengan tarian Samba dan kiblat sepak bola dunia dengan belasan ribu pemain profesional mereka melanglang buana di liga-liga seluruh dunia. Negara peraih lima kali gelar juara dunia tersebut terbilang cukup tinggi untuk ketidakaktifan di kalangan orang dewasa, yakni 47 persen.

Tentang Uganda, negara di benua Afrika tersebut, 70 persen penduduknya, terutama di pedesaan, bekerja di sektor pertanian yang membutuhkan tingkat aktivitas fisik tinggi. Abiasali Nsereko (68 tahun) misalnya, seorang petani di wilayah Luweero, sebelah utara ibu kota Kampala mengatakan, dia mulai bekerja di ladangnya pada pukul 05.00.

"Saya menghabiskan waktu selama delapan jam sehari dalam enam hari sepekan," kata Nsereko kepada BBC. "Jika saya berhenti bekerja, kemungkinan besar saya akan jatuh sakit. Pada usia saya sekarang, saya nyaris tak punya satu pun penyakit di badan saya," lanjut Nsereko membanggakan kesehatannya yang prima.

Namun, selain jutaan petani di Uganda seperti Nsereko, kecenderungan menonjol di kota-kota besar seperti Kampala adalah makin banyaknya orang dewasa yang melakukan aktivitas fisik di jalanan dan ruang-ruang publik. Meski jalur pedestrian dan taman-taman kota sangat minim di kota-kota besar Uganda, kecenderungan aktivitas fisik tersebut meningkat secara signifikan.

Di kota-kota besar juga tumbuh subur kelompok-kelompok kebugaran seperti yang terlihat di sekitar Stadion Nasional Mandela di Namboole.

Pada 7 Juli lalu, Presiden Yoweri Museveni mendeklarasikan Hari Nasional Aktivitas Fisik yang memberi sinyal kuat bahwa Uganda ingin mempertahankan diri sebagai negara yang masyarakatnya paling aktif di dunia. Hari nasional itu rencananya akan diperingati setiap tahun dengan berbagai kegiatan.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Warga berolahraga di kawasan stadion Gelora Bung Karno di Senayan, Jakarta, Minggu (18/2/2018).

Jika melirik Uganda, Indonesia sebenarnya sudah jauh lebih maju dalam hal kecenderungan peningkatan aktivitas fisik masyakarat. Sejak zaman Presiden Soeharto, Indonesia telah mempunyai Hari Olahraga Nasional atau Haornas. Dalam satu dekade terakhir, masyarakat Indonesia, terutama di perkotaan, menjalankan gaya hidup sehat dengan banyak sekali melakukan aktivitas fisik di luar ruang. Kegiatan lari dan bersepeda kini bahkan menjadi tren gaya hidup yang sangat disukai dari usia remaja sampai manula.

Namun, dalam Indeks Kesehatan Dunia, Indonesia masih tergolong rendah dan berada di peringkat 101 dari 149 negara. Pada laporan yang dirilis The Legatum Prosperity Index (2017) yang mengukur indikator kesehatan fisik, mental, infrastruktur kesehatan dan pencegahan penyakit, Indonesia masih tertinggal oleh sesama negara ASEAN, seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, bahkan Laos.