KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Warga melintas di depan spanduk bertuliskan "Stop Korupsi & Gratifikasi", Kamis (13/9/2018), di Jalan MH Thamrin, Jakarta. Keberadaan spanduk itu diharapkan bisa membangun sikap dan kesadaran untuk tak korupsi dan menerima suap.

Data Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Oktober 2018 menunjukkan, pengusaha mendominasi posisi di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dari total 560 anggota DPR RI periode 2014-2019, sebanyak 293 orang adalah pengusaha. Mereka tersebar di komisi yang berkaitan dengan bidang usaha yang digelutinya. Sebanyak 67,3 persen Komisi V dan 72,9 persen Komisi VI adalah pengusaha (Kompas, 10 November 2018).

Media ini memberitakan, pada Pemilihan Umum 2019, 94 persen anggota DPR petahana maju kembali. Ada kecenderungan, perilaku buruk elite politik tidak akan berubah atau dengan kata lain, korupsi diperkirakan masih akan terjadi di ruang politik nasional di masa-masa yang akan datang.

Dari aspek motif dan pola, korupsi dilakukan dengan beragam cara dan rupa. Hal yang paling dominan ialah motif penyuapan dan jual beli jabatan. Selama ini, politisi yang melakukan korupsi menempati posisi strategis di beberapa komisi di DPR.

Pola korupsi diperkirakan akan terus berulang mengikuti cara lama, yakni permainan anggaran, suap dan jual beli jabatan. Pola ini dilakukan oleh semua anggota DPR yang telah ditangkap melalui berbagai operasi KPK, termasuk operasi tangkap tangan (OTT).

Manajer Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mengatakan, pola permainan anggaran ditemukan dalam praktik korupsi. Pola ini bahkan terus berulang oleh orang yang sama atau orang lain. Mekanisme anggaran dimainkan dalam satu wilayah maupun lintas wilayah (Kompas, 2 November 2018).

Ekonomisasi parpol

Dalam The Priority of Democracy : Political Consequences of Pragmatism, Knight and Johnson (2011) menyebut partai politik (parpol) masa kini lebih cenderung menampakkan inkonsistensi peran politiknya. Beberapa inkonsistensi peran terutama dalam soal-soal berikut ini, yakni pertukaran ekonomi (economic exchange), distribusi kekayaan (distribution of the franchise), politik konstitusional (constitutional politics), mekanisme pengambilan keputusan (democratic decision making), dan hak milik dan sumber daya utama (property rights and common pool resources).

Pragmatisme ekonomi masuk dengan sangat vulgar di ruang politik.

Empat fenomena itu menyatu dalam satu visi besar, yaitu ekonomisasi parpol. Pragmatisme ekonomi masuk dengan sangat vulgar di ruang politik. Sebab, yang berperan dalam mengambil kebijakan politik ialah pimpinan perusahaan. Mereka sekaligus menjadi anggota DPR.

Dalam The Corruption An Economic and Social Analysis, Andrei, Roşca dan Matei (2009) mengatakan, korupsi yang dilakukan oleh aktor negara, elite politik dan parpol masuk dalam kategori kekerasan negara terhadap masyarakat.

Di sana, korupsi dianggap alat untuk tujuan organisasi, melayani tujuan organisasi dan mengejar keuntungan. Dengan demikian, menurut studi ekonomi politik, korupsi dijalankan untuk tiga tujuan organisasi itu.

Batasan normatif

Fakta marak dan banalnya praktik korupsi yang dilakukan elite politik menunjukkan bahwa, di Indonesia, politik merupakan alat untuk melayani kepentingan elite. Tugas pengambilan kebijakan untuk kepentingan bersama menjadi sungguh diabaikan.

Dalam konteks itu, untuk satu dan dua kasus, parpol di Indonesia adalah lembaga pencari rente untuk tujuan diri dan lembaga partai. Korupsi uang negara, suap, penggelapan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan barang, dan gratifikasi merupakan modus utama korupsi yang melibatkan elit partai tersebut.

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Animasi Karikatur KPK – Pengunjung melihat dan menonton animasi karikatur pemberantasan korupsi di layar monitor yang dipasang di lobi utama gedung Komisi pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (20/3/2018). Layar monitor berisi sejumlah gambar animasi karikatur yang menginformasikan pesan untuk tidak melakukan gratifikasi suap dan korupsi.

Di situ, korupsi telah melampaui modus konvensional pencurian uang negara dalam bentuknya secara fisik. Korupsi telah bermetamorfosis ke dalam bentuk-bentuk yang sangat canggih, rumit dan sulit dipahami. Cara dan modus perilaku koruptif pun terlampau banyak dan amat sistematis. Korupsi seperti piramida yang sangat rumit diselami tetapi gampang terlihat di permukaan.

Elite politik gagal atau tidak berhasil membumikan nilai politik kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tiga analisis yang bisa diajukan di sini. Pertama, elite politik gagal atau tidak berhasil membumikan nilai politik kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang terjadi, politik dipakai sebagai lembaga pemburu rente.

Kedua, elite politik bisa saja menjadi aktor-pelaku korupsi di negara ini. Karena itu maka korupsi yang dilakukan oleh elite kekuasaan sedapat mungkin dikonstruksi untuk diterima dan mesti dianggap wajar.

Ketiga, elite politik pelaku korupsi merupakan manusia yang kental mempraktikkan watak buruk. Dia bisa memangsa manusia lain. Dengan demikian, apa pun nilai yang ditanamkan dalam diri elite tidak akan mempan karena secara esensial karakter seperti itu sudah terbangun mulai dari lingkungan sosial sejak kecil.

Kaderisassi

Pemikiran di atas memberikan arahan khas bahwa sistem politik kita harus segera diperiksa kembali. Masukan, proses, dan hasil politik mesti dirancang ulang agar celah korupsi bisa diminimalisasi.

Banyak hal yang dapat dilakukan. Di proses awal, rekrutmen politik harus benar-benar diperhatikan. Itu berarti, sistem kaderisasi parpol dituntut untuk menghasilkan politisi yang berintegritas.

Transparasi menjadi nilai yang harus dibumikan dalam proses politik. Di bagian keluaran, sistem politik harus benar-benar menjamin agar keputusan atau kebijakan politik benar-benar diarahkan untuk kepentingan masyarakat banyak.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Pelatihan e-LHKPN – Spesialis Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan bimbingan teknis pengisian LHKPN secara elektronik kepada para Hakim Agung dan stafnya di Hotel Redtop, Jakarta, Selasa (13/3/2018). Kegiatan tersebut menjadi bagian dalam mendukung peningkatan transparansi, integritas dan akuntabilitas badan peradilan.

Dalam konteks demikian, pemikiran Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada menarik diikuti. Calon yang ingin menjadi anggota DPR harus melepaskan jabatan di beberapa perusahaan. 

Selain itu, setiap yang ingin dicalonkan oleh parpol, harus memenuhi beberapa standar, misalnya standar proses dan kualitas. Dalam standar proses, seseorang dapat dicalonkan menjadi anggota legislatif lewat proses kandidasi jika telah menjadi anggota partai dalam kurun lima atau sepuluh tahun.

Dalam standar kualitas, seseorang boleh dicalonkan oleh parpol jika memiliki rekam jejak yang baik dalam politik. Partai mengajukan nama calon untuk dinilai oleh lembaga independen. Setelah itu baru diusulkan ke KPU.

Di titik yang lain, transparansi seperti yang diamanatkan oleh UU, tidak hanya berlaku bagi lembaga publik tertentu tetapi juga partai politik. Promosi transparansi dalam lembaga politik bertujuan agar semua proses politik terang benderang diketahui publik.