Sangat tepat bagi mereka yang tidak setuju sebutan politisi sontoloyo atau politisi genderuwo karena label tersebut dirasakan "kurang nendang". Julukan paling cocok mungkin "politisi nggragas", predator yang siap memangsa semua sumber daya dan kekayaan negara.
Bahkan, moral dan ideologi bangsa siap dimangsa. Korupsi kolosal dan sistemik adalah bentuk paling nyata perilaku politisi nggragas. Ibaratnya, toksin korupsi telah melumuri dan masuk melalui liang renik (pori-pori) tubuh politik sampai di tempat paling tersembunyi. Daya hancur korupsi dapat meluluhlantakkan negara.
Sejarah memberikan banyak bukti negara yang semula digdaya menjadi sirna dimangsa politisi jenis ini. Buku Herry Priyono, Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi (2018), memberikan wawasan dengan gamblang, teliti, dan seabrek bukti tentang daya rusak korupsi sejak zaman kuno sampai kini.
Daya terjang mereka mengakibatkan sekitar lima bulan menjelang Pemilu dan Pilpres 2019, atmosfer jagat politik kering kerontang dengan gagasan. Hampir setiap desahan napas ruang publik diguyur ungkapan yang membakar emosi dan menguras energi publik.
Kampanye nihil niat mendidik masyarakat menjadi cerdas karena para politisi sibuk berebut kursi sembari membayangkan kenikmatan kekuasaan. Ruang warga dibiarkan bersimbah limbah politik identitas.
Sementara itu, produsen hoaks semakin lama semakin canggih dan masif karena konsumennya semakin berjubel sejalan tingkat kerakusan kekuasaan. Politisi jenis ini tidak segan-segan memproduksi habis-habisan hoaks dengan mengeksploitasi naluri primitif manusia.
Muara kekusutan politik antara lain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUUVI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang (PUU) Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Inti amar putusannya adalah menganulir nomor urut kandidat yang merupakan otoritas parpol dan menegaskan pemberlakuan pemilu dengan suara terbanyak.
Dengan demikian, nomor "peci" dan nomor "sepatu" tidak berlaku. Pokoknya, medan politik menjadi pertarungan bebas adu kuat para kader politik untuk mendapatkan suara terbanyak.
Perlu dicatat, kewenangan MK terbatas membatalkan pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, tidak mempunyai otoritas membuat putusan di luar yang dituntut. Akibatnya, mengabaikan sistem distrik (the winner takes all) yang inheren dengan sistem presidensial.
Mengingat regulasi Pemilu 2019 sudah menyimpang dari pakem akibat putusan MK yang parsial, Pemilu 2019 kehilangan kiblatnya karena tanpa paradigma jelas.
Namun, yang mengherankan, elite parpol tidak melakukan revisi undang-undang Pemilu 2014 dan 2019 meskipun mereka amat paham kontestasi politik akan menjadi ajang pembantaian sesama kader partai dan sesama mitra koalisinya.
Elite parpol tak punya komitmen membangun lembaga politik. Mereka hanya menyibukkan diri dengan perburuan kekuasaan. Energi mereka terkuras berlomba-lomba berebut jabatan publik.
Alih-alih merevisi undang-undang yang sesat, sebagian malah tega menjual ilusi efektivitas palsu pemerintahan Orde Baru yang telah puluhan tahun membungkam ruang publik, memproduksi robot dan pion politik sehingga rezim tersebut mampu memonopoli kekuasaan, bahkan kebenaran. Negara menjadi institusi tunggal yang dapat menentukan apa yang benar dan yang salah.
Perilaku rakus politisi nggragas harus dihentikan. Para elite parpol harus berlomba adu cepat bergegas memproduksi "politisi penggagas". Caranya dengan tekun dan sistematis menanamkan nilai-nilai mulia dan gagasan partai kepada para kadernya.
Melatih kader-kader sehingga menjadi kampiun dalam menerapkan gagasan menjadi kebijakan publik dan menggembleng mereka agar kedap terhadap godaan kekuasaan.
Jika tidak dilakukan, parpol hanya akan menjadi arena petualangan para politisi nggragas yang akan mengerdilkan, bahkan tega, memangsa partainya sendiri. Skema pemilu legislatif dengan suara terbanyak juga segera harus direvisi.
Rutenya adalah mendesain pilpres dan pemilu sedemikian rupa sehingga menghasilkan sistem pemerintahan presidensial kompatibel dengan sistem multipartai.
Membiarkan rute pertarungan politik tanpa gagasan tidak akan membuahkan koalisi pasangan capres-cawapres yang solid karena koalisi parpol harus duel dengan sesama anggota koalisi untuk merebutkan kursi agar mencapai ambang batas parlemen 4 persen. Karena itu, dampak skema ekor jas pemilu serentak tidak akan mencapai tujuan utama, yaitu sistem presidensial yang efektif.
Meskipun ambang batas berhasil menciutkan jumlah parpol, tidak otomatis memberikan kontribusi terhadap penguatan sistem presidensial. Bahkan, partai semakin oligarkis jika berkurangnya jumlah partai tidak disertai upaya meningkatkan kualitas parpol, antara lain mengembangkan demokrasi internal partai, menerapkan prinsip meritokrasi, serta mengelola dana partai yang transparan dan akuntabel.
Tegasnya, reformasi parpol adalah keniscayaan politik yang harus segera dilaksanakan. Parpol yang menang adu cepat mencetak politisi penggagas yang berkualitas negarawan hampir dapat dipastikan akan unggul dalam Pemilu dan Pilpres 2024. Jika ranah kompetisi politik sarat dengan gagasan mulia, siapa pun juaranya, Indonesia-lah pemenangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar