Kekayaan budaya Indonesia—yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote—bukan hanya telah mengakar dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, melainkan juga kekuatan besar yang dimiliki bangsa ini. Paling tidak hal itu tecermin dari kegiatan pencatatan yang telah dan sedang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selama beberapa tahun terakhir. Warisan budaya tak benda/nirbenda (intangible) telah dicatat berjumlah 7.893 dan registrasi nasional cagar budaya berjumlah 68.970. Padahal, masih ribuan warisan budaya tak benda dan cagar budaya yang belum tercatat.
Kita pun baru saja membuat takjub dunia saat pembukaan Asian Games 2018 yang sukses menampilkan pertunjukan seni dan budaya mengenai kekayaan dan keragaman budaya Indonesia. Pengakuan dunia internasional juga telah diberikan pada delapan elemen budaya Indonesia yang ditetapkan sebagai Daftar Warisan Budaya Tak Benda Dunia oleh UNESCO, di antaranya wayang dan keris (2008), batik (2009), angklung (2010), tari saman (2011), noken Papua (2012), dan pinisi (2017).
Oleh karena itu, menjadi tidak berlebihan apabila Direktur Jenderal UNESCO Fransesco Bandarin menyebut Indonesia sebagai negara adidaya budaya saat ia bertemu dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada Sidang Umum UNESCO di Paris tahun 2017. Presiden Joko Widodo bahkan mengatakan bahwa kekuatan budaya merupakan kekuatan utama dalam membangun negara. Kebudayaan disebutnya sebagai DNA-nya Indonesia dan merupakan potensi yang harus dioptimalkan agar dapat bersaing dengan negara lain.
Budaya dan pembangunan
Sudah sejak lama budaya dipandang sebagai dimensi sosial pembangunan keberlanjutan. Kebudayaan bahkan telah dimasukkan sebagai salah satu agenda penting dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Selain itu, UNESCO juga menekankan peran sentral budaya dalam pembangunan masa depan. Kebudayaan dalam pembangunan dipahami sebagai proses mengintegrasikan kesejahteraan dan keadilan serta mengeliminasi kesenjangan.
Amartya Sen, ekonom peraih Nobel Bidang Ekonomi tahun 1998, bahkan telah sejak lama mengingatkan: jika hanya menggunakan kacamata ekonomi untuk mengukur keberhasilan pembangunan, hal itu merupakan sebuah kesalahan dan salah arah. Ia menekankan bahwa pembangunan harus merealisasikan indikator kebebasan sebagai faktor substansi dan peningkatan kualitas serta memperhatikan nilai-nilai budaya.
Sejumlah negara, seperti China, Iran, India, Jepang, dan Korea Selatan, telah berhasil melakukan semacam "transendensi" kebudayaan mereka—dan itu melaju begitu pesat—dalam dunia global. Tentu saja hal itu berdampak nyata pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut.
China memperluas jaringan televisi internasional mereka, menjadi tuan rumah berbagai kegiatan budaya, dan membuat kerja sama perfilman, antara lain dengan studio film Hollywood, AS. Jepang berhasil memenangi kompetisi pasar global dengan melakukan negosiasi yang baik antara kekayaan tradisional dan teknologi. Jepang mengandalkan kosupure atau budaya cosplay (kostum), anime (animasi), manga (komik), dan film yang telah menarik perhatian dunia.
Korea Selatan menjadi negara yang memiliki andil besar sebagai penyaji hiburan masyarakat global, yang berawal dari industri hiburan K-pop dan K-drama. Suksesi negara tersebut dalam industri hiburan membawa dampak positif bagi industri mode, teknologi, dan otomotif. Begitu pun India yang memanfaatkan industri film Bollywood, diaspora sebagai instrumen dalam diplomasi kebudayaan, dan sejumlah kegiatan yang berperan penting dalam promosi kebudayaan.
Indonesia? Menjadi ironis ketika membandingkan Indonesia dengan negara-negara tersebut di atas. Padahal, dari aspek kekayaan budaya, Indonesia tak kalah dan bahkan dalam beberapa aspek boleh dibilang lebih unggul.
Mengapa? Di negeri ini masih sangat terasa bahwa ukuran keberhasilan pembangunan lebih menggunakan paradigma ekonomi dan politik. Kebudayaan dianggap belum dapat memberikan peranan penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, kebudayaan dianggap hanya membebani keuangan negara. Alokasi dana untuk bidang kebudayaan pun sangat kecil. Warisan budaya kurang diperhatikan, "dirampas", dan malah justru lebih berkembang di negara lain.
Dengan disahkannya UU No 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, ke depan, paradigma pembangunan bangsa mestilah digeser. Di dalam UU ini kebudayaan daerah didorong agar dikembangkan menjadi haluan pembangunan nasional yang diimplementasikan di seluruh daerah. Pemerintah daerah harus menaruh perhatian dalam memajukan kebudayaan, di mana nantinya akan dialokasikan dana alokasi khusus (DAK) untuk bidang kebudayaan.
Untuk itu, strategi kebudayaan yang disusun melalui pokok pikiran kebudayaan daerah (PPKD) berperan penting dalam implementasi di lapangan. Strategi kebudayaan ini disusun pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan masyarakat—melalui para ahli kemudian jadi dokumen dasar untuk penyusunan rencana induk pemajuan kebudayaan (RIPK). RIPK berisikan pembagian kerja lebih dari 18 kementerian/lembaga yang mengurusi bidang kebudayaan.
Pengarusutamaan kebudayaan dalam pembangunan nasional dipandang sangat strategis dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Sebab, UU ini membawa semangat baru dalam upaya perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan nasional dari, oleh, dan untuk daerah.
Komodifikasi budaya
Menjaga, melestarikan, dan mewariskan elemen-elemen budaya yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia adalah suatu kewajiban dan mendesak. Sanksi akan diberikan oleh UNESCO jika hal tersebut tidak dilakukan, yaitu dicabutnya hak paten apabila aktivitas pemajuan kebudayaan itu di masyarakat terhenti. Selain itu, secara berkala, Indonesia juga harus memberikan laporan mengenai kondisi keterawatan warisan-warisan tersebut.
Upaya pelestarian tas rajut noken, misalnya, tidak cukup hanya dilakukan orang Papua. Mereka yang ada di wilayah lain juga perlu diberi kesempatan mempelajari cara membuat noken agar karya budaya ini tidak punah dan mendapat penilaian positif dari UNESCO. Upaya pelestarian juga bisa dilakukan dengan komodifikasi budaya, yakni transaksi jual-beli benda budaya melalui proses industri. Dalam kaitan ini, budaya yang semula sebagai subyek pengetahuan, kebijakan, dan kearifan lokal masyarakat pendukungnya berubah menjadi obyek berupa benda yang harus diperjualbelikan melalui proses produksi budaya (Agus Maladi Irianto, 2016).
Melalui komodifikasi ini, elemen-elemen dari warisan budaya tak benda diberdayakan dengan menghasilkan produk-produk industri kreatif berbasis budaya, lalu dikemas dengan berbagai bentuk yang menarik dan unik sehingga bernilai ekonomi. Hal ini bisa dimulai, misalnya, melalui upaya melestarikan noken dengan membantu perajin tradisional mengembangkan usahanya di Papua dan di luar Papua. Lalu pemerintah mendorong atau menganjurkan para pelaku usaha pariwisata, seperti hotel, mal, rumah makan, biro perjalanan, kereta api, pelabuhan, dan maskapai penerbangan, menggunakan produk-produk industri berbasis budaya.
Jika produk-produk industri kreatif berbasis budaya terus digunakan dan ditingkatkan sebagai identitas bangsa yang diaplikasikan dalam kehidupan keseharian, lalu dipromosikan kepada dunia, hal itu membuka peluang bagi Indonesia menjadi negara adidaya budaya. Indonesia pun akan lebih berperan dalam peradaban dunia sekaligus membangun bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar