Di subjudul tertulis, "Lima mahasiswa tewas, 253 luka-luka". Harian ini menulis, penembakan membabi buta oleh aparat militer berlangsung saat penutupan Sidang Istimewa MPR. Rangkaian penembakan berlangsung sejak pukul 15.40 sampai tengah malam. Darah tercecer di kawasan Semanggi.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Peringatan 20 Tahun Tragedi Semanggi I – Para mahasiswa yang tergabung dalam Senat mAhasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Atmajaya menggelar aksi Peringatan 20 tahun Reformasi 20 Tahun Tragedi Semanggi I di depan Istana Negara, Jakarta, Selasa (13/11/2018). Dalam aksi ini, mereka menuntut pemerintah mengusut tuntas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada Tragedi Semanggi I di 13 November 1998 yang menewaskan BR Norma Irmawan atau Wawan yang tewas ditembak saat menolong kawannya terluka pada peristiwa tersebut.

Kini, situasi Semanggi telah berubah. Jembatan baru yang dibangun Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama kian menjadikan Semanggi sebagai ikon Ibu Kota. Namun, di tengah kemegahan Semanggi, 20 tahun lalu, berceceran darah mahasiswa yang ditembak militer. Meski peristiwa itu sudah terjadi 20 tahun lalu, Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, serta pembunuhan aktivis HAM Munir tetaplah menjadi sejarah gelap hak asasi manusia Indonesia.

Sejarah Indonesia lalu dan Indonesia kontemporer memang diwarnai dengan pelanggaran HAM. Ada peristiwa tahun 1965, Tanjung Priok, Lampung, penculikan aktivis, dan kerusuhan Mei di Jakarta. Itu semua terkubur dalam kegelapan, dan tidak ada niat menghadirkan keadilan serta membuka kasus itu secara transparan.

Dalam sejarah Indonesia kontemporer, pelanggaran hak sipil, hak beribadah, dan berpendapat masih sering terdengar. Penyelesaian pelanggaran HAM lalu masihlah menjadi pekerjaan rumah. Masalah itu akan menyandera perjalanan bangsa ke depan. Korban atau keluarga korban tetaplah selamanya menjadi korban yang tak mendapatkan keadilan. Sementara orang yang diduga harus ikut bertanggung jawab menikmati kekuasaan.

Kita tak beruntung tak punya tokoh seperti Nelson Mandela dan Uskup Desmond Tutu di Afrika Selatan. Keduanya bisa menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu semasa rezim apartheid melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Selanjutnya, Afrika Selatan bisa melangkah ke depan.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Peringatan 20 Tahun Tragedi Semanggi I – Para mahasiswa yang tergabung dalam Senat mAhasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Atmajaya menggelar aksi Peringatan 20 tahun Reformasi 20 Tahun Tragedi Semanggi I di depan Istana Negara, Jakarta, Selasa (13/11/2018). Dalam aksi ini, mereka menuntut pemerintah mengusut tuntas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada Tragedi Semanggi I di 13 November 1998 yang menewaskan BR Norma Irmawan atau Wawan yang tewas ditembak saat menolong kawannya terluka pada peristiwa tersebut.

Sementara Indonesia terus saja berkutat pada problem masa lalu yang tak kunjung terselesaikan. Isu pelanggaran HAM hanyalah menjadi isu politik jelang kontestasi pemilu. Namun, setelah kekuasaan diperoleh, korban pelanggaran HAM tetap sebagai korban. Di sinilah ketidakadilan.

Tampilnya Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla membawa angin segar bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Ekspektasi publik tinggi dengan visi dan misi Presiden Jokowi- Jusuf Kalla yang dalam Nawacita-nya menjanjikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan. Namun, empat tahun berlalu, janji penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tetap sebatas teks.