Setelah sekitar sembilan tahun berstatus sebagai jalan tol, pemerintah akhirnya memutuskan Jembatan Suramadu menjadi jalan umum.
Itu artinya, semua kendaraan yang melewati jembatan yang menghubungkan Surabaya dengan Bangkalan (Madura) itu tidak lagi dikenai tarif. Keputusan ini diambil, salah satunya, agar kehadiran Jembatan Suramadu mampu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat Madura.
Seperti dikatakan Presiden Joko Widodo, kehadiran Jembatan Suramadu selama ini kurang berdampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Madura. Hal ini tecermin dari masih besarnya angka kemiskinan di empat kabupaten di Madura; Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep, yakni 16-23 persen. Bahkan, empat kabupaten tersebut dianggap sebagai penyumbang terbesar kemiskinan yang ada di Jawa Timur.
Pertanyaan pentingnya adalah bisakah perubahan status Jembatan Suramadu dari jalan tol menjadi jalan umum menggerakkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Madura? Mampukah Suramadu menjadi "Jembatan Harapan" bagi masyarakat Madura?
Dua wajah kemiskinan
Oscar Lewis (dalam Parsudi Suparlan, 1995) meyakini, kemiskinan dan keterbelakangan lahir karena penderitaan ekonomi yang berlangsung lama. Sementara kebudayaan kemiskinan dan keterbelakangan lahir dalam masyarakat yang memiliki karakter: 1) sistem perekonomian terlalu berorientasi pada keuntungan; 2) tingginya tingkat/angka pengangguran dan setengah dari pengangguran tersebut adalah tenaga tak terampil; 3) rendahnya upah atau gaji yang diperoleh pekerja; 4) tidak berhasilnya orang yang berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi sosial, ekonomi, dan politik secara sukarela; 5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral; serta 6) kuatnya nilai-nilai pada kelas berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal atau kesempatan untuk terus meningkat dalam status sosial.
Meski penjelasan Lewis bukanlah jawaban terakhir dari sebuah perdebatan panjang tentang kemiskinan, Lewis menyadarkan kita bahwa kemiskinan sesungguhnya lahir dari persoalan kultural dan struktural yang ada dalam masyarakat. Persoalan ini pula yang terjadi pada masyarakat Madura sesungguhnya yang berakar pada permasalahan kultural sekaligus struktural.
Budaya patron-klien, patriarki, dan budaya menikah dini adalah hal-hal kontributif dalam perspektif kebudayaan tentang keterbelakangan yang terjadi di Madura. Namun, dengan melihat etos masyarakat Madura—kebutuhan untuk maju, semangat untuk menuju hidup yang lebih baik—adalah hal-hal yang meyakinkan kita bahwa keterbelakangan yang diderita masyarakat Madura bukan masalah kultural semata.
Dengan demikian, selain faktor kultural, ada faktor struktural yang menjadikan adanya kemiskinan dan keterbelakangan di Madura. Perilaku elite pemerintah yang nepotis, koruptif, ketidakmerataan kesempatan, kebijakan pemerintah yang tidak memihak masyarakat, dan pendidikan yang belum merata merupakan hal-hal yang bisa menjelaskan ketidakadilan struktural yang terjadi di Madura selama ini.
Untuk keluar dari wajah kemiskinan masyarakat, Amartya Sen (2013) pernah menawarkan jalan dialog kebudayaan. Guru besar filsafat dan ekonomi di Universitas Harvard, AS, tersebut percaya bahwa dialog kebudayaan mampu memecahkan beragam persoalan yang dihadapi masyarakat (dunia), baik di bidang ekonomi (kemiskinan), politik, konflik, maupun bidang strategis lain.
Selain itu, menurut peraih Hadiah Nobel Bidang Ilmu Ekonomi tahun 1998 tersebut, kebudayaan juga bisa menjadi kekuatan dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Karena itu, mengesampingkan budaya dan kebudayaan dalam pembangunan (ekonomi) sesungguhnya menggerus potensi kesejahteraan yang dijanjikan ekonomi itu sendiri.
Pemahaman tersebut membawa kita pada satu tesis bahwa kebudayaan sebenarnya merupakan pengendapan nilai, pikir, agama, pandangan, sikap, teknologi, mata kehidupan, rasa, batin, dan jiwa masyarakat yang di dalamnya ada beragam potensi (ekonomi) yang mampu menggerakkan peradaban manusia. Karena itu, berbicara tentang kebudayaan dalam pusaran ekonomi, meminjam penjelasan Donny Gahral Adian, kebudayaan sesungguhnya sebait monolog yang bagi kebanyakan orang merupakan sesuatu yang tidak perlu diperbincangkan, melainkan dilakoni. Sebab, kebudayaan sesungguhnya orkestra kolektif menuju "tanah perjanjian" bernama peradaban.
Jika kebudayaan adalah pilihan untuk keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan, yang kita butuhkan adalah strategi kebudayaan yang tepat bagi masyarakat Madura. Keberanian untuk membuka diri tanpa harus menghilangkan kecerdasan lokal yang ada dalam masyarakat Madura merupakan strategi kebudayaan yang tepat. Tanpa keberanian membuka diri untuk berdialog dengan "dunia di sana", Madura akan ditinggalkan oleh zaman.
Tentu ketakutan kehilangan kearifan lokal dan hancurnya keotentikan masyarakat Madura adalah hal lumrah dalam proses dialog kebudayaan. Namun, kisah sukses Jepang, Korea (Selatan), dan China, yang berani membuka diri tetapi tetap berpegang pada nilai-nilai lokal, adalah cerita yang semestinya menjadi ilham bagi masyarakat Madura.
Keberanian membuka diri untuk berdialog dengan budaya di luar Madura tentu membutuhkan political will (niat baik) dari pemerintah setempat. Niat baik pemerintah ini bukan saja ditunjukkan dalam bentuk kebijakan yang memberi ruang dan berpihak kepada masyarakat Madura, melainlan juga keberanian untuk transparan, tidak koruptif, manipulatif, dan nepotisme. Hal ini kunci dari strategi kebudayaan agar Madura bisa keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Perubahan status itu
Dengan menggunakan pendekatan lanskap pemikiran tersebut, perubahan status Jembatan Suramadu dari jalan tol menjadi jalan umum sesungguhnya bagian ikhtiar pemerintah dalam menyusun strategi kebudayaan untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan di Madura. Tentu keberanian pemerintah itu mestinya ditopang keberanian masyarakat Madura untuk berdialog dengan kebudayaan dan nilai-nilai yang berkembang di luar mereka. Pendidikan modern, kesetaraan, keterbukaan, dan egalitarian adalah nilai-nilai yang seharusnya dihadirkan dalam kehidupan masyarakat Madura masa kini, tanpa harus menghilangkan kecerdasan lokal yang mereka miliki.
Selain itu, keberanian pemerintah lokal untuk bisa transparan dalam mengelola birokrasi pemerintahan, tidak koruptif, manipulatif, dan nepotisme adalah hal utama dalam penerapan strategi kebudayaan dalam pengentasan rakyat dari kemiskinan di Madura. Tanpa itu semua, perubahan status Jembatan Suramadu dari jalan tol menjadi jalan umum tidak bermakna apa-apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar