AFP/HAIDAR HAMDANI

Turis Iran menukar uang rial Iran di kota Najaf, Irak, Selasa (6/11/2018). Akibat nilai rial Iran yang melemah, harga barang di negara itu naik sehingga menyulitkan rakyat.

Sejak 5 November lalu, Amerika Serikat resmi memberlakukan lagi sanksinya pada Iran. Akankah dengan sanksi-sanksi itu AS bisa menekan Iran sesuai keinginan?

Jawaban atas pertanyaan tersebut memang baru akan terlihat setelah Iran menjalani sanksi-sanksi ekonomi yang disebut "sanksi terberat" AS yang pernah dijatuhkan terhadap "Negeri Mullah" itu. Sanksi ekonomi itu merupakan lanjutan sanksi AS tahap pertama 7 Agustus 2018 yang menyasar sektor otomotif, perdagangan emas dan logam mulia, serta mata uang rial Iran.

Sanksi tahap kedua, 5 November ini, jauh lebih keras dan bakal memberi dampak lebih berat pada Iran. Selain menarget lebih dari 700 individu, 50 bank Iran dan anak perusahaan mereka di dalam dan luar Iran, serta pengapalan dan maskapai penerbangan, sanksi itu juga menyasar sektor energi (minyak dan gas) Iran. Perdagangan di sektor komoditas pertanian, pangan, obat-obatan, dan perlengkapan medis dikecualikan AS dari daftar sanksinya.

Bagi Iran, pukulan akibat sanksi pada sektor energi bakal terasa berat. Ekspor minyak adalah sumber pendapatan utama mereka. Sejak AS memberlakukan kembali sanksi pada Iran, menyusul keputusan Presiden Donald Trump pada 8 Mei 2018 untuk keluar dari kesepakatan nuklir Iran—Rencana Aksi Komprehensif Bersama atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA)—tahun 2015, ekspor minyak Iran anjlok: semula lebih dari 2,5 juta barel per hari menjadi diperkirakan 1,5 juta barel per hari.

Delapan negara pengimpor lebih dari 80 persen minyak Iran, yaitu China, India, Korea Selatan, Jepang, Italia, Yunani, Taiwan, dan Turki, mendapat pengecualian dari sanksi AS dan bisa mengimpor minyak Iran—setidaknya hingga enam bulan ke depan. Pengecualian itu tak lepas dari kekhawatiran bakal meroketnya harga minyak dunia andai sanksi larangan ekspor minyak Iran itu langsung diterapkan total: tidak boleh ada impor minyak Iran.

Arab Saudi—salah satu mitra AS, selain Israel, dalam melawan Iran—beberapa kali mengatakan siap mengatasi kekurangan stok minyak dunia andai larangan impor minyak Iran diterapkan total, tetapi hal itu diragukan para ahli. Awal Oktober lalu saja, harga minyak mentah sempat menembus hampir 87 dollar AS per barel, harga tertinggi dalam empat tahun terakhir.

Saat memaparkan strategi AS menghadapi Iran melalui artikel di jurnal Foreign Affairs edisi November/Desember 2018, Menlu AS Mike Pompeo menyatakan keinginan Washington pada kasus Iran untuk mengulang "sukses" memaksa Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un ke meja perundingan. Setelah kekuatan ekonominya dilucuti melalui sanksi keras, demikian logika AS, Iran diharapkan mengikuti jejak Korut dan menyerah pada AS.

Sulit, skenario kasus Korut itu bakal terulang pada Iran. Bukan hanya bersifat unilateral, meski berimplikasi pada jatuhnya sanksi pada pihak ketiga yang bertransaksi dengan Iran, sanksi AS juga berlawanan dengan spirit multilateral dalam JCPOA, yang dikukuhkan Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 2231. Banyak negara masih mendukung spirit JCPOA, termasuk Eropa, Rusia, China, Turki, Jepang, India, dan lain-lain. Relasi dengan mereka bakal memberi napas bagi Iran di tengah sanksi AS.

Kompas, 8 November 2018

#tajukrencanakompas

#JCPOA