Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018, tidak menegaskan partai politik bisa mengganti kadernya yang menjadi pimpinan parlemen. Pasal 87 UU itu menegaskan, pimpinan DPR bisa diganti jika meninggal, mengundurkan diri, atau diberhentikan oleh partainya. Jika mengacu pada kasus yang menjeratnya, Taufik baru bisa diberhentikan dari jabatannya jika putusan terhadap kasusnya sudah berkekuatan hukum tetap.
Taufik saat ini masih berstatus tersangka kasus korupsi dugaan menerima imbalan uang Rp 3,65 miliar dalam mengurus dana alokasi khusus pada APBN Perubahan 2016 untuk Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Namun, jika sungguh-sungguh berniat mencopot Taufik, pimpinan PAN bisa memakai ketentuan lain dalam UU MD3, yakni menunggu tiga bulan dan menyimpulkan Taufik tak bisa melaksanakan tugas tanpa keterangan. PAN bisa menarik keanggotaan Taufik dari DPR atau mengusulkan pemberhentian sesuai UU. Langkah ini berpotensi menimbulkan kegaduhan politik, setidak-tidaknya dalam tubuh PAN.
Seperti diberitakan harian ini, pimpinan Dewan menyarankan PAN tak perlu mengganti Taufik. Tugasnya bisa dirangkap oleh pimpinan DPR lain. Namun, pimpinan PAN menilai, kondisi itu tak akan efektif (Kompas, 7/11/2018). Di tahun politik ini, PAN tentu mengamankan kepentingannya di parlemen dengan tetap menempatkan wakilnya di pimpinan Dewan.
Sekarang kembali pada Taufik untuk tetap mempertahankan jabatannya meski tak bisa efektif karena ditahan atau menyerahkan pada kebijakan partai yang menugasinya. Jika mengikuti saran pimpinan DPR yang lain, ia masih bisa bertahan sebagai pimpinan Dewan sampai ada putusan hukum yang berkekuatan. Perjalanan kasus itu bisa panjang. Namun, ia bisa juga memberikan teladan kepada masyarakat mengenai penyelenggara negara yang menjunjung tinggi etika dan moralitas.
Sudah banyak pejabat negara di negeri ini yang terus bertahan dari jabatannya meski berstatus tersangka atau terbelit masalah hukum dengan berlindung pada celah aturan yang tidak mengharuskannya diganti atau mundur. Andi Alfian Malarangeng dan Idrus Marham adalah contoh sedikit penyelenggara negara yang langsung mengundurkan diri sebagai pejabat ketika ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Langkah mereka saat itu dipuji masyarakat. Rakyat merindukan hadirnya pemimpin yang beretika, berbudi bawa laksana (satu kata dan perbuatan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar