KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)

Pekerja berlumuran minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) saat bongkar muat di Kapal Kencana 89 di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu.

Menko Kemaritiman mengusulkan penggunaan CPO (minyak kelapa sawit mentah) 20 persen dalam bahan bakar fosil dengan sasaran perbaikan nilai tukar dan memperkuat rupiah. Namun, ada peran minyak nabati lebih luas bagi pengurangan pemanasan global, menjadikan CPO khususnya alat pengurangan polusi global berupa karbon dioksida.  Selain itu, minyak nabati juga bagian dari bahan nutrisi global, komponen dari global food security, yang tidak lain adalah barang publik global. Ini menjadikan posisi CPO bersifat ganda: sebagai barang kebutuhan konsumsi privat sekaligus barang publik global.

Data proyeksi produksi dan konsumsi beberapa produk minyak nabati untuk bahan makanan dan bukan makanan menunjukkan perubahan kontribusi vital antar produk. Perkiraan OECD/FAO menggandengkan pertumbuhan penduduk dunia hingga tahun 2050 dengan perkembangan minyak nabati.

Ternyata  beberapa sumber minyak nabati vital terhenti pertumbuhannya pada produksi tahun 2015, sedangkan untuk kedelai dan CPO masih akan naik. Dari tingkat produktivitasnya, CPO adalah yang tertinggi dari semua penghasil minyak nabati vital itu. Produktivitas CPO per hektar lahan per tahun adalah 5,58 kali produktivitas bunga matahari dan 9,84 kali untuk kacang kedelai. Berarti dalam hal ini CPO adalah minyak nabati terbaik.

Uni Eropa (UE) menganjurkan minyak nabati untuk mengganti 10 persen dari minyak fosil pada 2020. Dengan demikian, tim studi mereka mendorong isu tersebut menjadi bagian dari barang publik sektor pertanian.

Kebijakan pertanian UE telah lama menggunakan subsidi ekspor produk pertanian. WTO menuntut penghapusan subsidi ekspor dan isu barang publik membuka peluang UE untuk mengubahnya menjadi kebijakan pendukung kepentingan global dari sektor pertanian. Sebab, sumber energi terbarukan hasil pertanian mendukung usaha mitigasi pemanasan global, UE dengan cerdas memanfaatkannya seperti disebut di atas tadi. Hal ini menjadi landasan baru bagi pengukuhan kebijakan publik dalam sektor pertanian, yang sekaligus untuk mempertahankan vitalitas sektor pertanian seperti yang dikehendaki subsidi ekspor produk pertanian UE.

Bukankah dengan demikian isu CPO sebagai produk negara tropis seperti Indonesia dapat menggunakan argumen sama tentang peran CPO menjadi barang publik global bagi penurunan pemanasan global? Ini hendaknya jadi alat diplomasi perdagangan baru dari negara-negara penghasil CPO di dunia.

Menjadi barang publik

Dalam dokumen kebijakan pertanian UE disebut adanya fungsi-fungsi publik sektor pertanian, seperti mendukung lingkungan hidup global yang sehat, ketersediaan air untuk pertanian, kesuburan tanah, dan penyediaan pangan global. Walaupun lahan pertanian umumnya milik privat, tanah itu dianggap memiliki fungsi publik lain seperti dinyatakan di atas.

Kelompok yang menjadi perhatian utama mereka ialah wilayah UE. Alasan ini serupa dengan pemberian subsidi ekspor hasil pertanian demi kelanjutan sektor pertanian UE, yang menjamin ketersediaan pangan, baik lokal maupun global. Namun, jika subsidi sebelumnya langsung dibayarkan kepada petani yang melakukan ekspor, sekarang jadi bagian dari anggaran pemerintah.

CPO berfungsi bagi pemenuhan kebutuhan pangan manusia yang sepintas terlihat sebagai kebutuhan privat, tetapi sekaligus menjadi sumber energi terbarukan secara global. Secara agregat, kebutuhan pangan yang bersifat privat berubah jadi kebutuhan kolektif global dilihat dari kecukupan ketersediaannya. Dalam hal inilah UE memanfaatkan kebijakan pertanian yang bersifat publik yang dikaitkan pada isu pangan global.

Dalam produk CPO, fungsi kebutuhan privat dari bahan makanan secara agregat berubah menjadi barang publik global, menjaga globalfood security. Penggunaan CPO menjadi pengganti dari sebagian bahan bakar fosil telah langsung mengurangi pemanasan global yang memang berfungsi sebagai barang kebutuhan global.

Secara materiil subsidi ekspor produk pertanian UE bertentangan dengan kriteria perdagangan internasional. Kawasan itu dengan kreatif melakukan transformasi kebijakan ekspor menjadi instrumen kebijakan lingkungan hidup dan jaminan pangan global yang bersifat publik. Dalam hal ini, kiranya isu CPO kembali dapat dilihat analog, di mana produk tersebut memenuhi kebutuhan pangan dunia dan juga sebagai sumber energi terbarukan pendukung mitigasi pemanasan global.

Selain itu, masih ada keuntungan lain, di mana kebutuhan luas lahan per ton minyak sawit jauh lebih rendah dibandingkan dengan minyak nabati lain. Hal ini sangat besar artinya bagi negara kawasan UE yang telah mengalami kelangkaan lahan. Batas kapasitas memproduksi minyak nabati alternatif telah tercapai, sedangkan kebutuhan minyak nabati masih akan terus meningkat sampai tahun 2050, yang dapat dipenuhi oleh CPO dari hutan tropis. Namun, perlu disediakan luas hutan tropis minimal untuk keanekaragaman hayati.

Dalam konteks itu, perlu pertimbangan seimbang dalam menghadapi penentang CPO, baik terkait adanya kecurigaan kandungannya yang dianggap tidak sehat, masalah tenaga kerja anak-anak, pengolahan lahan yang tidak sesuai ketentuan lingkungan hidup, maupun upah buruh rendah. Satu hal dari transformasi kebijakan ekspor produk pertanian UE ialah mengubahnya menjadi kebijakan publik global, tetap dapat mencapai tujuan semula meski dengan instrumen yang berbeda, tetapi berterima dalam kriteria WTO.

Telah terlihat bahwa CPO berperan ganda sebagai barang kebutuhan privat dan sebagai barang kebutuhan publik global. Ini yang masih terabaikan.