Mahkamah Konstitusi bergeming, tetap berpendirian bahwa ambang batas pencalonan presiden ("presidential threshold") tidak bertentangan dengan konstitusi ("Kompas", 26/10/2018). Keputusan ini sudah bisa ditebak karena MK mengetok "judicial review" soal ambang batas pencalonan presiden setelah Komisi Pemilihan Umum mengesahkan dua pasangan calon presiden/wakil presiden.
Keputusan MK yang menyebut bahwa Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak bertentangan dengan konstitusi serta mendorong terwujudnya sistem presidensial yang kuat dan penyederhanaan partai politik adalah keputusan yang "meluas". Mengapa saya menyebut "meluas", karena argumentasi penguatan sistem presidensial dari tingginya ambang batas pencalonan presiden bertentangan dengan argumentasi pemilu serentak yang sesungguhnya meniscayakan ketiadaan ambang batas pencalonan.
Hubungan antara ambang batas pencalonan presiden dan penyederhanaan partai politik juga bisa dianggap sebagai tafsir yang tidak utuh. Ambang batas pencalonan presiden bukanlah rumus untuk penyederhanaan partai politik, melainkan lebih sekadar upaya awal untuk "memudahkan" bangunan koalisi partai-partai politik dalam pemilu dan memudahkan presiden terpilih membentuk pemerintahan.
"Koalisi kartel" vs "koalisi abstain"
Keputusan MK tersebut akan berdampak pada pola atau kecenderungan koalisi partai politik di Indonesia saat ini dan mungkin pada pemilu-pemilu selanjutnya. Skema presidensial dalam pemilu melalui syarat ambang batas pencalonan calon presiden/wakil presiden 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara sah nasional menyebabkan hampir tidak ada satu pun partai hasil Pemilu 2014—mungkin juga pada pemilu mendatang—dapat mengusung calon presiden/wakil presiden sendirian.
Mengapa demikian? Sebab, berdasarkan hasil pemilu di era reformasi selama empat kali pemilu, terbukti tidak ada satu partai pun yang bisa mencalonkan calon presiden tanpa koalisi karena rata-rata suara partai hanya di bawah 25 persen suara sah nasional. Dalam konteks itulah, Cheibub mengusulkan agar pengaturan sistem pemilu yang mendorong bentuk koalisi secara lebih baik sebagai jalan tengahnya. Sayang, sistem pemilu kita—sistem pemilu serentak—hampir tidak mengoreksi "kesalahan" itu.
Lalu, apa dampak dari keputusan MK yang tetap bersikukuh bahwa ambang batas pencalonan presiden sebagai cara untuk mendorong penguatan sistem presidensial di Indonesia? Kemungkinan pertama bahwa format koalisi kita dalam pencalonan calon presiden/wakil presiden akan selalu berhadap-hadapan (head to head). Pola ini sudah "terbukti" terjadi pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Koalisi berhadap-hadapan ini disebabkan perolehan suara partai menyebar dan tidak ada partai mayoritas minimal yang menjadi pemenang pemilu.
Artinya, penerapan ambang batas pencalonan presiden yang tinggi berpeluang mendorong pola koalisi politik yang mirip dalam praktik demokrasi presidensial ala Amerika Serikat. Ruang koalisi yang terbentuk akan mengarah pada koalisi pemerintahan dan koalisi oposisi.
Bedanya, koalisi politik di Amerika Serikat tidak mengarah semata-mata pada mindset office-seeking karena koalisi mempertimbangkan aspek ideologis, bukan semata-mata pragmatis. Dalam kasus Indonesia, pola koalisi berhadap-hadapan nyaris kehilangan pertimbangan ideologis, bahkan platform partai pun tidak dilirik. Pertimbangannya lebih pada peluang untuk menang dan memerintah kembali.
Dalam dimensi itu, koalisi politik pada Pemilu 2019 secara teori mirip sebagai koalisi turah (oversized coalition). Saya menyebutnya sebagai koalisi kartel (cartel coalition) karena koalisi yang dibangun hampir menafikan peran ideologi partai dan adanya sikap permisif partai dalam pembentukan koalisi. Koalisi kartel adalah sebuah koalisi besar, di mana partai yang kuat (paling besar suaranya) menghimpun hampir 70 persen partai yang ada untuk bergabung dalam koalisi yang dibentuknya, tanpa mempertimbangkan ideologi dan platform partai.
Akibatnya, partai-partai yang "tersisa" dari koalisi kartel itu nyaris kesulitan membangun koalisi karena mereka kesulitan memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden yang tinggi. Kondisi demikian dapat membuka peluang kemungkinan kedua apabila terjadi koalisi kartel yang berhasil menghimpun lebih dari 90 persen dari jumlah partai yang ada, tidak menutup kemungkinan akan tercipta calon tunggal. Sebab, syarat 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara sah nasional minimal membutuhkan dua atau tiga partai untuk bergabung.
Apabila terjadi koalisi kartel sebagai dasar dalam membangun skema koalisi yang menghimpun sebanyak-banyaknya partai politik dan partai yang tersisa tidak bisa memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden, ke mana partai ini akan berlabuh? UU No 7/2017 Pasal 235 Ayat (5) menyebut hanya partai atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tidak mengajukan bakal pasangan calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya. Sementara bagi parpol atau gabungan parpol yang tidak memenuhi syarat tersebut besar kemungkinan mereka akan "abstain". Bisa jadi dalam sejarah pemilu presiden kita mendatang akan muncul koalisi abstain, koalisi dari partai yang tidak memenuhi syarat.
Kalau yang terjadi demikian, demokrasi kita akan menjadi taruhan. Ada kemunduran yang akan dialami oleh demokrasi karena demokrasi meniscayakan perlunya oposisi sebagai bagian dari checks and balances untuk mengawasi pemerintahan. Di sinilah hakim-hakim MK tidak bijak dalam memberikan keputusan. Paling tidak kita berharap MK dapat mengoreksi persoalan ambang batas pencalonan presiden melalui keputusannya. Kalaupun ambang batas tersebut diperlukan, syaratnya tidak seberat itu, misalnya syarat ambang batas pencalonan presiden hanya 10 persen dari suara sah nasional atau 15 persen dari perolehan kursi DPR. Alasannya sederhana, MK bisa menutup peluang terjadinya koalisi besar yang menghimpun semua partai sehingga tidak ada calon alternatif. Koreksi MK terhadap besaran syarat ambang batas pencalonan presiden bisa memberikan hukum baru agar format koalisi kita tidak merusak demokrasi.
Harapan terhadap koreksi yang akan diberikan oleh MK dengan cara mengoreksi syarat ambang batas pencalonan presiden sebenarnya juga dapat membuka kemungkinan ketiga bahwa koalisi tidak berhadap-hadapan, menutup peluang calon tunggal, serta memunculkan calon alternatif sehingga koalisi lebih cenderung dinamis dan tidak statis seperti saat ini. Sayangnya, harapan itu sirna karena MK tidak memberikan penafsiran baru atas judicial review mengenai ambang batas pencalonan presiden yang diajukan oleh beberapa pihak.
Mengubah koalisi antagonis
Pola dan kecenderungan koalisi di atas memberi pesan bahwa dalam sistem presidensial, yang dikombinasikan dengan multipartai dan sistem pemilu proporsional terbuka kita saat ini, cenderung mendorong format koalisi yang "antagonis". Mereka berhadap-hadapan sejak pencalonan, pada saat pemilu, hingga pasca-pemilu. Kasus kompetisi yang tidak sehat antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) adalah bukti nyata yang tidak bisa kita tampik.
Padahal, ada skema lain yang bisa diwujudkan, yaitu skema koalisi, di mana oposisi tidak berhadap-hadapan (adversarial) dengan petahana. Untuk itu, dibutuhkan politik jalan tengah, di mana ada kemungkinan koalisi yang bisa memberikan alternatif pilihan sehingga koalisi akan lebih dinamis, tetapi tidak konfliktual.
Masalah yang kita hadapi saat ini dan ke depan terletak pada penerapan ambang batas pencalonan presiden. Elite-elite partai dan para politisi diharapkan dapat mempertimbangkan bahwa ambang batas pencalonan presiden yang tinggi sebenarnya merusak format koalisi yang ideal. Ambang batas yang tinggi akan menyebabkan pragmatisme koalisi dan koalisi yang demikian bukanlah skema koalisi yang kita harapkan. Oleh karena itu, sebagai pembelajaran politik yang sudah hampir sekian kali terjadi, melalui wakil-wakil kita di parlemen ke depan, kita berharap mereka dapat menemukan formula syarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang tepat agar kualitas demokrasi kita jauh lebih baik dan pemerintahan yang dibangun adalah pemerintahan yang sesuai dengan harapan rakyat.
Menurut hemat penulis, kalaupun kombinasi sistem multipartai-presidensial-proporsional terbuka membutuhkan ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden, bisa dilakukan simulasi untuk mencari syarat yang ideal. Syarat yang ideal itu ialah mendorong formula pemilu presiden kita sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yaitu pilpres yang menghasilkan calon presiden yang menang 50 persen + 1 (mayority), bukan calon presiden yang menang suara terbanyak (plurality).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar