DIDIE SW

Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas.

Di setiap tahapan pencapaian manusia selalu ada saja upaya untuk membegal keberhasilan itu. Kemajuan teknologi digital kini tengah mengalami masalah itu. Perusahaan-perusahaan teknologi diganggu oleh para pembegal.

Setelah Facebook dan Twitter, kini Instagram terpaksa harus menangani fenomena kepalsuan dari mulai akun palsu, komentar palsu, dan tanda suka (like) palsu yang muncul di banyak akun media sosial itu. Kepalsuan yang meresahkan banyak pihak.

Beberapa waktu lalu perusahaan raksasa Unilever sudah memperingatkan kepada mereka yang termasuk dalam orang berpengaruh (influencer) yang digunakan oleh perusahaan itu dalam pemasaran agar tidak menggunakan jasa tanda suka, komentar, dan penambahan pengikut palsu.

Mereka sudah mengidentifikasi beberapa akun, termasuk yang menggunakan jasa komentar palsu, dan akan memberhentikan penggunaan mereka apabila masih menggunakan jasa mesin pembuat kepalsuan itu.

Koran New York Times juga melaporkan, ada fenomena pemilik akun Instagram dengan pengikut sekitar 1.000 orang berupaya mendapatkan produk promosi atau barang gratis dari sejumlah perusahaan dengan menawarkan iklan di akun media sosial mereka.

GETTY IMAGES NORTH AMERICA / AFP/FUSTIN SULLIVAN

Instagram

Koran ini menyebut fenomena itu sebagai fenomena "nanoinfluencer" yaitu orang dengan pengikut sekitar 1.000 orang yang digunakan oleh perusahaan untuk mempromosikan produknya di media sosial. Tak jarang demi mencapai angka 1.000 pengikut pun menggunakan jasa kepalsuan.

Koran itu juga pernah melaporkan perusahaan yang menyediakan jasa menambah pengikut untuk beberapa artis, politisi, dan orang-orang yang membutuhkan popularitas. Sedemikian perlunya mereka dengan jumlah pengikut sehingga perusahaan itu laris diorder untuk menambah pengikut sejumlah akun media sosial kalangan tertentu.

Facebook pernah menemukan juga sejumlah akun-akun palsu yang digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Mereka mengetahui bahwa pembayar iklan di media sosial itu berasal dari satu agensi. Beberapa diketahui berpusat di luar negeri. Mereka berusaha mencegah penyalahgunaan media sosial untuk kepentingan politik tertentu karena beberapa analis sudah menyebut mereka sebagai perusak demokrasi.

Facebook pernah menemukan juga sejumlah akun-akun palsu yang digunakan untuk kepentingan politik tertentu

Pilihan politik seseorang tidak bergantung pada pemikiran yang matang namun karena diserang dengan berbagai materi di media sosial. Setidaknya mesin mampu mengarahkan mereka untuk memilih kandidat tertentu berdasarkan algoritma.

Awal pekan ini Instagram mengumumkan akan melawan berbagai jenis kepalsuan itu. Akun-akun yang terindikasi memproduksi tanda suka, komentar, dan menjadi pengikut palsu akan dimatikan. Mereka diketahui merupakan pihak ketiga yang menawarkan jasa untuk menambah tanda suka, komentar, dan pengikut.

Instagram juga akan mengidentifikasi akun-akun yang menggunakan jasa mereka. Perusahaan teknologi ini telah membuat mesin pembelajar (machine learning) yang diperkuat dengan perangkat moderasi yang mampu mengidentifikasi tanda suka, komentar, dan pengikut palsu. Mereka akan membuat semua itu dari akun-akun yang resmi.

Ketika melakukan moderasi, Instagram akan memperingatkan akun-akun yang menggunakan jasa mesin kepalsuan itu untuk meningkatkan popularitas dengan memberi notifikasi bahwa semua kepalsuan itu akan dibuang. Pemilik akun juga akan disarankan mengganti kata kunci ketika penjual jasa kepalsuan itu kemungkinan menyerempet keamanan akun pemiliknya.

LIONEL BONAVENTURE AND NICOLAS ASFOURI / AFP

Beragam media sosial

Instagram melihat ketika media sosial ini makin populer maka banyak pihak yang melakukan aksi aji mumpung sehingga mempekerjakan pihak ketiga dalam hal ini para pembuat mesin kepalsuan itu untuk meningkatkan aktifitas akun tertentu sehingga menarik perusahaan untuk bekerjasama.

Instagram tak mau main-main lagi dengan berbagai kecurangan. Induknya yaitu Facebook telah cukup belajar  dari kasus Cambridge Analytica. Untuk itu Instagram kembali menekankan bahwa mereka akan terus mempertahankan integritas dalam bisnis periklanan mereka.

Instagram tak mau main-main lagi dengan berbagai kecurangan. Induknya yaitu Facebook telah cukup belajar  dari kasus Cambridge Analytica