KOMPAS/KARINA ISNA IRAWAN

Tas berisi belanjaan yang sudah dipesan secara daring akan dikirim dari RT-Mart ke lokasi pembeli berjarak radius 3 KM di Shanghai, China, Minggu (11/11/2018). Alibaba Group mempromosikan konsep ritel baru yang memadukan pengalaman belanja secara daring dan luring di beberapa lokasi belanja, seperti di RT-Mart dan restoran robotik Freshippo (Hema).

Apalagi yang bisa diungkapkan kecuali decak kagum saat membaca sukses penjualan Hari Lajang 11 November oleh Alibaba kemarin.

Menurut Reuters, raksasa bisnis digital China, Alibaba Group Holding Ltd, meraup hasil penjualan 30,7 miliar dollar AS.

Kita dibuat tercengang oleh laporan harian ini bahwa penjualan oleh Alibaba mencapai 1 miliar dollar (Rp 14,8 triliun) hanya dalam tempo 1 menit 25 detik sejak belanja melalui daring ini dibuka pada tengah malam.

Ini tentu menambah lagi kekaguman kita pada Alibaba Group yang didirikan oleh Jack Ma yang akhir-akhir ini lebih banyak tampil sebagai motivator-inspirator dibanding sebagai pemimpin bisnis terkemuka legendaris dunia.

Prestasi Alibaba ini mengalahkan penjualan di AS pada musim libur Black Friday dan Cyber Monday jika digabung.

Penjualan tahun ini mengalahkan transaksi tahun lalu, 168 miliar yuan (sekitar 24,2 miliar dollar) dalam tempo di bawah 16 jam. Meski membukukan rekor penjualan, tingkat pertumbuhan tahunan menurun dari 39 persen ke 27 persen, tingkat paling rendah dalam sejarah ajang yang sudah berlangsung 10 tahun.

Penurunan itu terjadi justru ketika perusahaan sedang berupaya mengatasi penjualan yang melemah di tengah terjadinya ketegangan dalam hubungan dagang antara China dan AS.

Lepas dari penurunan angka pertumbuhan, kita tetap terkesan dengan sukses penyelenggaraan acara belanja 11-11 (November) oleh Alibaba ini. Kita bisa membayangkan kerumitan mempersiapkan acara penjualan yang melibatkan 180.000 merek dari sekitar 200 negara. Juga bagaimana sebelum tengah malam hari Minggu kemarin sudah ada 1 miliar paket yang dikirimkan.

Mungkin terdengar ajaib, tetapi di situlah Alibaba sudah berhasil menjawabnya. Jadi, kira-kira kita bisa membayangkan betapa siap dan andalnya mesin-mesin daring perusahaan ini dalam menerima dan memproses pembelian. Lalu, bagaimana ilmu logistiknya bisa menangani pengepakan dan pengiriman pesanan dalam jumlah miliaran dalam tempo begitu singkat.

Belajar dari sukses Alibaba ini, kita teringat perkembangan bisnis serupa di Tanah Air. Memang di sana-sini sudah ada kemajuan berarti. Namun, tentu masih perlu adanya tambahan ilmu, baik dalam e-commerce-nya maupun dalam logistiknya, yang harus dikuasai oleh perusahaan digital di Tanah Air.

Lebih kurang unsur-unsur lingkungan dan infrastruktur itulah yang masih harus kita perkuat. Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan mendorong dibukanya program studi ekonomi digital dan logistik di perguruan tinggi di Indonesia.

Hal itu mestinya bisa kita lakukan lebih cepat mengingat persaingan begitu sengit. Alibaba yang sukses saja harus menerima kenyataan, laju pertumbuhannya berkurang karena pesaing bermunculan. Di China, Alibaba menghadapi pesaing seperti JD.com Inc yang meluncurkan Festival "618" Juni lalu.