Secara umum, asumsi makroekonomi dinilai kalangan ekonom realistis dan kredibel. Pertumbuhan ekonomi ditetapkan 5,3 persen, inflasi 3,5 persen, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS Rp 15.000, harga minyak ICP 70 dollar AS per barel, dan lifting minyak 775.000 barel per hari. Pendapatan negara ditetapkan Rp 2.165,1 triliun dan belanja negara Rp 2.461,1 triliun sehingga defisit APBN Rp 296 triliun atau 1,84 persen dari PDB.
Sebagaimana janji Presiden Joko Widodo, berbeda dengan sebelumnya yang fokus pada investasi infrastruktur, APBN 2019 difokuskan pada peningkatan SDM melalui alokasi anggaran Rp 385 triliun untuk program penguatan perlindungan sosial.
Pada satu sisi, kita melihat kehati-hatian, tetapi di sisi lain tertangkap dilema yang dihadapi pemerintah. Target defisit fiskal dan pembiayaan utang yang amat konservatif pada 2019 menunjukkan upaya pemerintah untuk terus memperbaiki manajemen utang, kemandirian dan kesehatan APBN, sekaligus merespons kritik terkait meningkatnya rasio dan beban utang.
Namun, bagi sebagian ekonom, ruang fiskal itu dinilai tak cukup ekspansif untuk menghadapi tantangan 2019 yang sangat besar, baik tantangan terkait ketidakpastian global maupun tahun politik, yang sebenarnya justru menuntut adanya terobosan besar pemerintah untuk bisa memacu ekonomi, khususnya menggenjot konsumsi domestik sebagai motor penting pertumbuhan, selain investasi, pada saat ekspor sulit dipacu. Pembiayaan utang pada APBN 2019 adalah terendah dalam lima tahun terakhir. Target kenaikan penerimaan pajak 15,4 persen juga menuntut Direktorat Jenderal Pajak bekerja jauh lebih keras dan inovatif di tengah situasi ekonomi yang masih lesu.
Dilihat dari profil APBN, APBN 2019 tidak terlihat terlalu populis pada 2019 sebagai tahun politik. Hal ini tecermin dari tidak adanya penambahan subsidi dan anggaran bantuan sosial dalam jumlah masif. Yang terjadi, subsidi dipangkas. Hal lain, alokasi belanja infrastruktur masih tetap besar di tengah tekanan untuk menekan belanja pemerintah, khususnya dalam valas.
Dengan situasi global yang masih belum akan kondusif, menggenjot ekonomi domestik dengan mendorong permintaan dan perbaikan iklim investasi menjadi keharusan. Optimisme dampak tahun politik terhadap ekonomi masih tergantung sejauh mana belanja politik mendongkrak permintaan dalam negeri. Kita juga harus mengantisipasi kemungkinan investor dan pelaku usaha yang cenderung wait and see di tahun politik.
Tantangan kita adalah bagaimana APBN yang hanya menyumbang 15 persen PDB bisa menjadi instrumen fiskal yang efektif dalam memberikan insentif dan stimulus bagi pertumbuhan secara keseluruhan. Peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja negara menjadi penting. Selain alokasi ke sektor produktif untuk menggenjot pertumbuhan dan memperbesar kapasitas perekonomian nasional, APBN juga harus mampu menjadi instrumen pemerataan. Mendorong peran pemerintah daerah lewat perbaikan mekanisme transfer ke daerah harus terus dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar