Masa depan bangsa amat bergantung pada keseriusan negara menyiapkan generasi penerus, dalam hal ini menciptakan generasi unggul. Persaingan antarnegara makin kompetitif. Negara yang mampu mencetak generasi unggul akan mendominasi, sedangkan yang kalah bersaing akan tertinggal.
Tentu kita tak ingin jadi penonton persaingan kemajuan negara-negara lain jika tidak ingin disebut sebagai negara konsumtif. Kita harus masuk dalam kompetisi tersebut.
Bagaimana caranya, tentu kita harus menyiapkan anak-anak yang berkualitas sejak dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya dengan pemenuhan kebutuhan gizi sehingga mereka dapat lahir dan tumbuh sehat, kuat, dan cerdas.
Pertanyaannya, sudahkah anak Indonesia sejahtera dan terlindungi? Sudah puaskah kita? Saya harap kita tidak puas karena bangsa RI harus terus maju.
Tak kurang dari 22 undang-undang (UU) di negeri ini mengatur perihal anak. Mulai dari UU Nomor 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak hingga UU No 17/2016 tentang Perppu No 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UU.
Banyaknya deretan UU itu tak diimbangi dengan kemantapan pada tingkat teknis. Nyatanya, di negeri ini, ukuran untuk mengetahui kesejahteraan anak terus berubah.
Baru pada 2015 dirilis ukuran baku yang dikenal dengan Indeks Komposit Kesejahteraan Anak (IKKA) sebagai rujukan dalam menyusun rencana kerja dan program untuk mencapai kesejahteraan anak. IKKA menggunakan lima dimensi dalam melakukan pengukuran, yakni kelangsungan hidup, perlindungan, tumbuh kembang, partisipasi, dan identitas.
Tak dapat dinafikan, dalam menyusun sebuah program pembangunan perlindungan anak, satu hal yang paling penting adalah memiliki ukuran yang menggambarkan secara komposit tentang bagaimana perkembangan pembangunan anak dari masa ke masa secara nasional. Mengacu pada UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa pembangunan perlindungan anak ditujukan untuk memenuhi hak-hak anak Indonesia, mencakup hak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan serta mendapat perlindungan dari berbagai tindak kekerasan, perdagangan anak, eksploitasi, dan diskriminasi. Artinya, pemenuhan hak-hak anak mencakup berbagai bidang pembangunan.
Tak ayal, dibutuhkan keseriusan pemerintah pusat bersinergi dengan pemerintah daerah dalam menyusun program-program pembangunan agar kesejahteraan anak menjadi prioritas.
IKKA dapat dijadikan referensi dalam merumuskan strategi jitu agar pemenuhan hak dan perlindungan anak secara optimal sehingga kualitas hidup anak Indonesia dapat terpetakan. Apakah itu terkait kelahiran, pemenuhan gizi, pendidikan, termasuk hak-hak mana yang belum terpenuhi dan kebijakan yang berpihak pada anak.
Sebagai senator dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), saya patut berbangga karena—berdasarkan data IKKA—wilayah dengan indeks kesejahteraan anak paling tinggi adalah DIY. Total nilai 84,68 dengan rincian dimensi kelangsungan hidup sebesar 73,74, dimensi perlindungan 87,80, dimensi tumbuh kembang 76,76, dimensi partisipasi 89,63, dan dimensi identitas sebesar 95,45.
Adapun urutan terendah adalah Papua dengan total nilai 52,36. DIY berada di atas Kepulauan Bangka Belitung (80,05) dan DKI Jakarta (78,70). Data IKKA nasional menunjukkan bahwa nilai kesejahteraan anak secara nasional baru mencapai 70,37, dengan rata-rata dimensi kelangsungan hidup 77,28, dimensi perlindungan 75,53, dimensi tumbuh kembang 67,26, dimensi partisipasi 51,29, dan dimensi identitas sebesar 80,51.
"Stunting" di Indonesia
Mengapa saya mengangkat topik kesejahteraan anak? Belum lama ini saya membaca berita di beberapa media yang mengangkat persoalan stunting, yaitu kondisi anak mengalami gangguan pertumbuhan tubuh alias kerdil.
Terakhir, awal Desember 2018, masih ada satu kasus gizi buruk dan 224 kasus stunting di Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, meski angka itu sudah menurun dari tahun sebelumnya. Artinya, gizi buruk dan stunting masih menjadi suatu persoalan yang belum usai di Indonesia.
Stunting ini bukan persoalan biasa karena ini menyangkut masa depan negara. Stunting bisa menjadi gambaran indikator keberhasilan kesejahteraan, pendidikan, dan pendapatan masyarakat.
Dampaknya sangat luas, sebut saja dampak terhadap ekonomi, kecerdasan, kualitas, dan dimensi bangsa yang berefek pada masa depan anak. Bonus demografi yang dimiliki RI tentu akan sia-sia jika stunting tidak dapat teratasi dengan baik.
Data WHO menunjukkan, 37 persen anak balita Indonesia mengalami gizi buruk. Lebih kurang 9 juta anak Indonesia mengalami stunting. Artinya, 4 dari 10 anak di Indonesia dipastikan mengalami stunting.
Angka tersebut lebih tinggi daripada ambang yang ditetapkan WHO sebesar 20 persen. Ironisnya, prevalensi stunting pada anak balita Indonesia ini terbesar kedua di Asia Tenggara, di bawah Laos yang 44 persen, serta nomor empat di dunia dengan stunting tertinggi.
Sebenarnya apa, sih, stunting itu? Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai kebutuhan gizi. Stunting dimulai dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua tahun.
Stunting merupakan kondisi anak mengalami gangguan pertumbuhan sehingga menyebabkan lebih pendek ketimbang teman-teman seusianya. Persoalan stunting tidak hanya terkait gizi buruk usia anak, tetapi juga mengikat pada kecerdasan, kerentanan penyakit, hingga berakibat pada produktivitas saat dewasa.
Menurut Unicef, penyebab stunting ada dua, yaitu langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung meliputi asupan makanan dan keadaan kesehatan. Sementara penyebab tak langsung meliputi ketersediaan dan pola konsumsi rumah tangga, pola pengasuhan anak, sanitasi lingkungan, dan pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Faktor-faktor tersebut ditentukan oleh sumber daya manusia, ekonomi, dan organisasi melalui faktor pendidikan. Penyebab paling mendasar tumbuh kembang anak adalah masalah politik, ideologi, dan sosial ekonomi yang dilandasi oleh potensi sumber daya yang ada.
Belakangan pemerintah menggiatkan berbagai program untuk mengatasi persoalan serius ini. Program itu mulai dari literasi tentang kesehatan, pendidikan, infrastruktur, pasokan makanan, gerakan makan ikan, perbaikan sanitasi, MCK (mandi, cuci, kakus), dan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas).
Namun, berbagai program tersebut tak dapat berhasil jika tak ada keterlibatan banyak pihak. Jika kita telaah tugas kementerian/lembaga (K/L) yang ada, dibutuhkan koordinasi hingga 22 K/L. Selain itu, kesiapan pemda-pemda pun harus ditagih.
Perlu dipahami juga, masalah stunting bukan hanya masalah individu, melainkan juga masalah keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam jangka panjang, stunting dapat menimbulkan kerugian ekonomi 2-3 persen dari produk domestik bruto (PDB) per tahun. Jika PDB kita Rp 13.000 triliun, potensi kerugian akibat stunting dapat mencapai Rp 390 triliun per tahun.
Peran negara
Stunting tidak bisa diatasi hanya dengan metode insidental, tetapi harus sistematis dan kontinu. Pertama, pentingnya sosialisasi dari pemangku kepentingan mengajak masyarakat untuk cerdas mengonsumsi pangan melalui edukasi literasi gizi, menerapkan pola gizi seimbang, menjalani gaya hidup aktif, serta rutin mengonsumsi susu sebagai pelengkap.
Terkait literasi, amat disayangkan, tingkat literasi kita menduduki posisi kedua terbawah (60 dari 61 negara) di dunia menurut World's Most Literate Nations. Ketika memiliki literasi gizi yang baik, kita akan cermat menghitung kebutuhan gizi.
Bukan hanya stunting, saat kebutuhan gizi tidak terpenuhi secara seimbang, hal itu akan berdampak pada kesehatan seseorang jangka panjang. Intinya, tak perlu mahal, tetapi terpenuhi nilai gizi dasar dan takaran tepat.
Kedua, pemenuhan gizi remaja putri. Status gizi remaja putri berkaitan erat dengan kesehatan dan keselamatan janin saat hamil dan melahirkan. Pemenuhan gizi tidak hanya pada anak, tetapi juga pada kecukupan gizi ibu selama hamil. Kurangnya asupan gizi dalam waktu cukup lama sebagai dampak dari pemberian makanan yang tidak sesuai kebutuhan gizi, terutama dalam periode emas seribu hari pertama kehidupan (HPK).
Seribu HPK dihitung sejak 9 bulan anak dalam kandungan ibu hingga dua tahun kehidupannya. Itulah periode emas kualitas hidup manusia.
Ketiga, pada masa melahirkan. Pentingnya pemenuhan gizi dan khusus air susu ibu (ASI) secara penuh hingga dua tahun. Pemberian ASI sangat penting karena ASI merupakan makanan utama bayi. Dengan ASI, bayi akan tumbuh lebih baik sebagai manusia yang sehat, bersifat lemah lembut, dan mempunyai IQ yang tinggi. Kualitas dan jumlah makanan yang dikonsumsi ibu sangat berpengaruh pada jumlah ASI yang dihasilkan.
Agar tercapai hal tersebut, ibu menyusui harus mengonsumsi makanan yang bergizi, beragam, dan bervariasi sesuai kebutuhan dan berdasarkan angka kecukupannya. Sulit dihindari jika hal ini terkorelasi dengan keadaan ekonomi keluarga.
Keempat, perlunya secara reguler memantau pertumbuhan anak balita di posyandu sebagai upaya strategis mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan. Kelima, perilaku hidup sehat dan bersih, baik diri maupun lingkungan, juga menjadi faktor krusial mencegah stunting.
Bagi pemimpin pusat dan daerah, mereka harus tahu betul bahwa masa depan negara ini ditentukan pada pencetakan generasi berkualitas. Kesejahteraan anak bukan persoalan sepele. Buktinya, konstitusi saja menyebut kata "anak" sampai dua kali, yakni pada Pasal 28B Ayat (2): "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi", serta Pasal 34 (1): "Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara".
Peningkatan kesejahteraan anak harus jadi program prioritas pemerintah pusat dan daerah. Hal ini mengingat tugas mulia ini berkaitan dengan upaya di bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan, dan penyantunan. Tanggung jawab ini tidak bisa hanya diserahkan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Kesehatan. Artinya, negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan hak anak sebagai bagian dari hak asasi manusia tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, serta kondisi fisik dan/atau mental.
Pemenuhan gizi anak juga ada di tangan ayah, tak hanya ibu. Seorang ayah harus peduli pada kebutuhan nutrisi istri dan anaknya, termasuk perkembangan fisik, spiritual, psikis istri sejak hamil, melahirkan, serta tumbuh kembang anak.
Sekali lagi, soal stunting bukan persoalan biasa jika kita ingin menikmati bonus demografi secara optimal. Dan, ini harus dimulai dari political will pemimpin negara dan daerah, bukan hanya presiden. Perlu perhatian serius semua pihak untuk menanggulanginya agar Indonesia dapat bersaing atau bahkan unggul dari banyak negara.
Seperti perjuangan selama ini terhadap kemajuan perempuan dan kaum termarjinalkan, pada perlindungan dan kesejahteraan anak pun saya memiliki concern tinggi, baik sebelum maupun ketika di dalam parlemen. Dan, saya berkomitmen untuk itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar