ARSIP PRIBADI

Samsuridjal Djauzi

 

Suami saya berumur 57 tahun. Sebulan lalu, dia mengalami serangan jantung mendadak di kantor. Untung teman-temannya cepat membawa ia ke rumah sakit terdekat dan ia tertolong. Dia dirawat 10 hari di rumah sakit. Ia mendapat pemeriksaan rekaman jantung dan laboratorium dan hasilnya memang infark miokard akut.

Suami saya juga harus dikateter jantung dan segera mendapat obat untuk melarutkan sumbatan darah pada pembuluh darah koroner. Dia harus dirawat di ruang perawatan intensif dua hari dan setelah itu pindah ke ruang biasa.

Selama di ruang perawatan intensif tampak dia mengalami depresi, malas bicara, dan cenderung tidur. Saya yang mengunjungi berusaha untuk memberikan semangat.

Ketika pindah ke ruang biasa, suami saya terlihat lebih tenang, tetapi hanya bicara jika ditanya. Kalaupun bicara banyak menyinggung masalah kematian, banyak pesan sekiranya dia meninggal nanti. Saya mengajak kedua anak kami yang berumur 20 dan 17 tahun dan dia banyak memberikan nasihat kepada mereka berdua jika sekiranya dia meninggal.

Sebenarnya suami saya termasuk orang yang periang dan optimistis. Mungkin serangan jantung kali ini amat memengaruhi emosinya sehingga dia mengalami depresi.

Saya mencoba menghubungi dokter yang merawat dan mendapat penjelasan tentang penyakit suami saya. Menurut dokter, suami saya beruntung karena datang dalam keadaan dini sehingga keberhasilan terapi lebih besar.

Dokter merencanakan program rehabilitasi agar suami saya dapat kembali bekerja. Menurut dokter, terapi rehabilitasi untuk penderita serangan jantung yang dalam keadaan baik dimulai lebih dini. Kabar baik ini saya sampaikan kepada suami saya. Namun, kelihatannya dia masih pesimistis dan amat khawatir dengan keadaan jantungnya.

Suami saya memegang tanggung jawab yang cukup penting di kantornya. Melihat keadaannya sekarang, saya khawatir dia tak akan mampu memegang tanggung jawab tersebut. Saya mulai memikirkan agar suami saya mengajukan diri untuk pensiun dini.

Ketika dokter mengizinkan dia pulang dari rumah sakit, dia mulai kelihatan bersemangat. Di rumah dia menjalani fisioterapi dan mulai beraktivitas. Dia juga merencanakan untuk sedikit demi sedikit mulai bekerja, tetapi saya belum mengizinkan.

Saya perhatikan emosinya masih labil. Sebentar semangat, tetapi kemudian timbul rasa cemas. Dia mulai merasakan bahwa jantungnya berdetak tidak normal dan minta dibawa ke rumah sakit. Malam hari kami bawa dia ke rumah sakit, ternyata pada pemeriksaan jantung dan juga rekaman jantung semua baik. Tekanan darahnya juga normal.

Dia mulai lega, tetapi pagi hari mulai muncul keluhan lain. Dia merasa badannya lemah dan kurang nafsu makan. Dia malas melaksanakan fisioterapi dan berjalan cepat seperti yang dianjurkan dokter. Jika semula suami saya kelihatan depresi, sekarang yang menonjol adalah rasa cemasnya.

Mohon penjelasan dokter, apakah depresi dan kecemasan pada penderita jantung memang biasa didapatkan? Bagaimana cara mengatasinya? Apakah rasa cemas ini dapat memengaruhi pemulihan jantung suami saya? Mungkinkah suami saya akan dapat bekerja kembali seperti semula dengan tanggung jawab yang cukup besar? Terima kasih atas penjelasan dokter.

M di B

Serangan jantung dapat merupakan pengalaman traumatis dan dapat menimbulkan stres emosional. Menurut penelitian, sekitar 75 persen penderita yang dirawat di ruang perawatan jantung intensif mengalami kecemasan (ansietas) dan sekitar 58 persen mengalami depresi.

Jadi, kecemasan dan depresi merupakan reaksi yang wajar. Namun, dengan berjalannya waktu, rasa cemas atau depresi itu akan berkurang dan menghilang.

Sebagian penderita dapat saja mengalami kecemasan berkepanjangan. Jika hal ini terjadi, diperlukan pertolongan tenaga kesehatan profesional untuk membantu mengurangi kecemasan tersebut.

Meski diperlihatkan data perbaikan penyakitnya, penderita yang mengalami kecemasan masih tetap merasa khawatir. Stres emosionalnya harus dikurangi dengan psikoterapi, dan jika perlu, penambahan obat untuk mengurangi kecemasan.

Apa yang terjadi jika penderita dalam kecemasan terus-menerus? Beberapa penelitian menunjukkan perbaikan keadaan jantung mungkin akan menjadi lambat. Jadi hal itu tidak menguntungkan bagi kesembuhan penderita.

Selain pertolongan tenaga kesehatan profesional, dukungan keluarga dan dukungan spiritual juga biasanya membantu. Pemahaman mengenai konsep bersyukur dalam agama dapat membantu penderita menerima kenyataan bahwa dia sedang sakit dalam proses terapi untuk mengharapkan kesembuhan.

Setiap perbaikan keadaan dalam proses terapi patut disyukuri sehingga penderita lebih bersemangat dalam menjalani terapi, termasuk latihan fisioterapi. Kita berdoa semoga keadaan cemas ini dapat teratasi sehingga pemulihan keadaan jantung dan keadaan kesehatan pada umumnya berjalan dengan baik.

Dalam proses pemulihan, dokter akan menilai pemulihan fisik dan juga emosional pasien. Berdasarkan penilaian tersebut, direncanakan bagaimana rencana selanjutnya untuk penderita.

Apakah pasien sudah siap untuk bekerja pada jabatan semula atau harus dipindah ke jabatan yang kurang kesibukan dan ketegangannya. Cukup banyak pasien yang pernah menjalani serangan jantung kembali ke posisi semula dan mampu berfungsi dengan baik. Namun, sebagian memang harus dipindahkan ke pekerjaan lain.

Selain itu, perlu diperhatikan oleh pasien dan keluarga bahwa serangan jantung terjadi karena berbagai risiko yang berkaitan dengan kebiasaan hidup. Faktor risiko seperti darah tinggi, obesitas, diabetes melitus, kadar lemak tinggi, kurang olahraga, dan keadaan emosi perlu dikendalikan sehingga tidak menjadi pencetus serangan jantung ulangan. Ini berarti pasien dan keluarga harus bertekad untuk memulai hidup baru, hidup yang sehat dan bersih.

Perhatikan berat badan, tekanan darah, serta kadar gula dan lemak. Olahraga
secara teratur kalau mungkin lima kali seminggu masing-masing selama 30 menit.

Rencanakan rekreasi untuk keluar dari ketegangan kerja sehari-hari. Sedapat mungkin kegiatan ini dilakukan bersama keluarga untuk meningkatkan kehangatan dan komunikasi dalam keluarga.

Gaya hidup modern yang serba sibuk, kesempatan makan di luar rumah, serta kurang waktu untuk berolahraga telah meningkatkan kejadian penyakit jantung koroner sehingga penyakit jantung dan pembuluh darah telah menjadi penyebab kematian nomor satu di negeri kita. Kesempatan setelah serangan jantung ini dapat dijadikan momen untuk mengubah gaya hidup baik pasien maupun juga anggota keluarga lain.

Pada sebagian besar rumah tangga biasanya kita akan mendapatkan berbagai peralatan elektronik, seperti televisi, lemari pendingin, mesin cuci, dan alat pengatur suhu udara (AC).

Namun, banyak anggota keluarga yang tak mempunyai alat penimbang berat badan, pengukur tekanan darah, pengukur suhu, serta perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K). Ini menunjukkan rendahnya kepedulian keluarga kita terhadap kesehatan.